24. Keputusan terbaik

53.8K 4.7K 88
                                    

"Mbak Mitha!" Pungki membuka pintu ruang kerja Pramitha dengan kasar. Wanita muda itu tampak pucat dan bingung menatap Mitha.

"Ada apa?" Mitha menolehkan fokusnya pada Pungki. Tak biasanya pungki terlihat ketakutan seperti saat ini.

"Ada baku hantam di bangsal anak." Pungki menjawab dengan lugas. Ia melihat ada keterkejutan di mata bossnya. "Antara Ethan Arnold dan ... Dokter Bima," lanjut sekretaris itu dengan suara yang semakin pelan.

Bagai disambar petir. Tubuh Pramitha menegang seketika mendengar berita yang Pungki sampaikan. Bagaimana bisa Bima dan Ethan ... baku hantam?

"Panggil komite medik, security, saksi, IT, Bima dan Ethan!" Ucap Pramitha tegas.

Pungki mengangguk lantas kembali ke mejanya untuk memanggil siapapun yang atasannya pinta. Tak berselang lama, ruang kerja Pramitha sudah ramai dengan beberapa pria yang wanita itu harap mampu memberikan titik terang pada masalah ini.

Keringat mulai mengalir dari dahi wanita itu. Matanya bahkan seperti hendak menangis. Jiwanya bergemuruh dengan emosi dan jika boleh ..., ia ingin berteriak saat ini juga. Staff IT Golden Hospital membuka rekaman CCTV lorong bangsal anak di monitor kerja Pramitha. Netra adik Pradipta itu dengan jelas menangkap gambaran kejadian dan tangannya seketika gemetar.

Ini bencana, batinnya pilu.

Sedang di sofa tamu ruang kerjanya, dua pria dengan kondisi mengenaskan duduk terdiam dengan kilatan mata penuh dendam dan amarah. Kedua pria itu duduk ditengah kepungan tiga security dan dua petinggi komite medik.

"Dokter Abimana Barata," panggil Pramitha setelah ia mengehela napas sesaat. "Anda harusnya tahu jika saat ini adalah jam tugas Anda sebagai profesional medis Golden Hospital." Mitha berucap dari singgasana kerjanya dengan tatapan tajam dan tegas.

Abimana mengangguk pelan.

"Lalu mengapa ada aktifitas anarkis yang saya lihat di rekaman cctv?"

"Dia mau membunuhku, Queen!"

"Tuan Ethan Arnold, saya akan memberikan anda waktu bicara, namun bukan sekarang." Pramitha mendesis lugas pada Ethan, lalu fokusnya kembali pada Bima. "Saya rasa Dokter Bima tahu, jika apa yang baru saja Anda lakukan, menyalahi kode etik dan kedisiplinan profesional medis?"

Abimana menelan ludahnya pelan, "Saya ... saya punya alasan mengapa melakukan tindakan itu. Saya harap Ibu Mitha bisa percaya dengan saya."

Pramitha mengangguk. Ada sendu terpancar dari manik matanya. "Saya percaya dengan apa yang saya lihat di monitor cctv, Dokter Bima."

"Saya mau visum dan saya mau kasus ini dibawa ke ranah hukum!" Ethan lagi-lagi menimpali.

Pramitha melirik jengah pada Ethan, "Silahkan keluar ruangan ini untuk mendapatkan pengobatan pada memar Anda. Jika memang visum dibutuhkan, silahkan lakukan." Ethan tersenyum pada Pramitha. "Saya pastikan, saya sendiri yang akan mengantar hasil visumnya pada Anda," jelas Pramitha yang membuat Ethan seketika merasa menang telak. 

Ethan melirik Bima dengan seringai kemenangan. "Kamu tau, Man, apa yang bisa kulakukan dengan karirmu setelah ini."

Emosi Abimana kembali naik. Ia beranjak dari duduknya, hendak menghajar kembali Ethan.

"Dokter Abimana!" Mitha berteriak. Abimana menoleh pada Mitha. "Setidaknya, jangan perlihatkan anarki Anda di depan saya." Wanita itu menggeleng pelan dengan tatapan tajam menghunus pediatriknya.

Abimana kembali duduk setelah mengembuskan napas kesal. Sedang si korban, berjalan keluar didampingi dua security.  Pramitha meminta seluruh orang diruangan ini untuk pergi kecuali dua pejabat komite medik dan Abimana Barata.

Pramitha's Make Up ( Sudah Terbit )Where stories live. Discover now