22. Anval

45.2K 4.4K 109
                                    

"Mas!" Abimana menoleh pada asal suara dan seketika tersenyum melihat siapa yang sore ini mendatanginya. "Seminggu hidup kayak anak jalanan. Gak pernah ada dirumah. Mentang-mentang lagi banyak yang cariin!"

Abimana terkekeh, "Bukan banyak yang cariin, tapi banyak pasien anak yang kena DBD dan diare, Luna, baik di RS Krida atau Golden Hospital. Dikedua rumah sakit ini, bangsal anak sedang penuh semua. Ini saja, Mas gak bisa putus kordinasi dengan dokter residen dan anak-anak koas stase anak," jelas Abimana seraya menunjukkan chat di ponselnya yang penuh dengan pesan dari beberapa dokter.

Luna mencebik, "Bukan berarti jadi jarang sarapan dan makan malam dirumah, kan?" Luna lantas menggenggam tangan sang kakak dan menariknya menuju taman tempat biasa mereka menghabiskan waktu saat Luna berkunjung. "Hari ini mau sampai jam berapa?" tanya gadis berkaca mata itu saat mereka duduk di salah satu bangku.

"Mungkin jam sembilan." Bima menjawab seraya membuka kotak berisi egg tart yang Luna beli dari toko roti favoritnya. "Ini untuk Mas makan sekarang, kan?" tanya Bima seraya mengambil satu egg tart lalu menggigitnya.

"Untuk kita makan berdua, Mas!" ralat Luna seraya tertawa kecil dan ikut mengambil bagiannya.

Hening. Abimana dan Luna menikmati tiap gigitan egg tart seraya tenggelam dalam segala sesuatu yang ada didalam pikiran mereka masing-masing.

"Mas..."

Abimana menoleh pada Luna. "Kenapa?"

"Waktu di Bandara, yang ngaku calon suami atasan Mas itu, Ethan Arnold bukan?" Anggukan, Luna terima dari Abimana. Ada senyum sendu menyertai anggukan itu. "Lalu kenapa Mas masih menyimpan rasa sama dia?"

"Mas tidak tau jika ... ada pria itu dalam hidupnya."

"Ethan Arnold ..., yang Luna tau, dia sekarang CEO properti milik keluarganya. Sebelumnya dia adalah petualang yang mengelilingi dunia lalu membuat vlog. Hidup dari jalan-jalan saja, sudah milyaran yang dia kantungi. Apalagi saat ini?"

Embusan nafas berat, Bima keluarkan dari dadanya yang kembali sesak. Sebenarnya sudah sesak sejak satu minggu lebih yang lalu. Sejak ia menunggu selama dua jam dalam ketidakpastian yang berujung kecewa. "Apa Mas kali ini salah lagi, Lun?"

Luna mengendikkan bahu, "Dari awal Luna sudah bilang gitu, sih."

"Mas harus apa, ya?" tanya Bima seraya mengambil satu lagi egg tart.

"Berhenti, jika menurut Luna. Mengambil calon istri orang bukanlah tindakan yang baik."

Abimana mengunyah perlahan, "Ini kegagalan yang keberapa ya, Lun?"

"Kegagalan bukan hal yang harus dihitung. Mereka ada untuk kita belajar. Semakin banyak belajar, maka kita akan semakin mampu memahami suatu masalah," tukas Luna seraya menatap matahari yang mulai menjingga. "Luna bukannya tidak menyukai dia. Luna hanya takut Mas terlalu berharap dan sakit pada akhirnya. Seperti ini, mungkin?"

"Mas belum sesakit itu, Luna. Hanya ... kecewa. Terlebih pada diri sendiri, sih."

Luna mengangguk berusaha memahami apa yang Masnya rasa. "Semangat bekerja, Mas! Ada banyak wanita yang mengharapkan Mas saat ini!"

"Siapa?" tanya Bima tak percaya.

"Itu, para ibu-ibu wali pasiennya Mas," jawab Luna dengan seringai menggoda.

Mereka tertawa berdua dipengunjung hari. Ditemani matahari yang hendak pamit pergi untuk menyinari belahan bumi yang lain.

Abimana, selalu merasa lega jika melihat tawa adiknya. Begitupun Luna, ia selalu berusaha untuk memberikan perhatian kepada sang kepala keluarga. Apalagi, seminggu ini kakaknya jarang ada dirumah karena harus bertanggung jawab pada dua rumah sakit bersamaan.

Pramitha's Make Up ( Sudah Terbit )Donde viven las historias. Descúbrelo ahora