04 • Crazy Thing Called 'Cooperation'

102 30 5
                                    

"Sebenarnya

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

"Sebenarnya ... aku tidak bisa menentukan pilihan, jadi aku membawa Sera," ujar wanita itu ikut bangga memperkenalkan cucunya. "Aku akan percaya pada pilihannya."

Halmeoni mengangguk setuju, mempersilakan Sera menentukan pilihan, demi kelanjutan kerja sama ini. Akhirnya gadis itu menyapukan pandangan sekilas, mendapati wajah-wajah yang cukup tidak asing untuknya dan ia juga menyadari ketidakhadiran seseorang. Dia tau, ada satu orang yang belum berada di sini, seseorang yang kebetulan sudah cukup lama dikenalnya.

Namun sejurus kemudian, ketika pandangannya tidak sengaja bertabrakan dengan salah satu diantara mereka, mendadak jantungnya berdegup lebih kencang tanpa bisa dicegah. Sera menyadari, lelaki itu menatapnya dengan serius.

Park Jihoon, gumamnya dalam hati.

Tidak lama, kontak mata mereka kembali terputus. Kini ada segurat senyum tipis yang muncul di bibir gadis itu seraya berjalan anggun. Ia berpikir sejenak sebelum jari mungilnya mengarah kepada satu orang dan berkata, "Aku memilihnya."

Tiba-tiba hening.

Otomatis seluruh fokus bertumpu padanya. Orang yang ditunjuk semula tidak bereaksi apa-apa, masih menatap kosong. Seolah pikirannya sedang berada di dimensi lain, ia baru kembali setelah telinganya menangkap suara neneknya menyebut namanya dengan jelas. "Park Jihoon?"

"Ne?"

Suasana aneh mendadak menyelimuti. Dia telah dipaksa kembali ke realita. Wajahnya terkejut, seperti tertangkap basah. Setelah sang nenek menyebut namanya, seluruh orang yang berada di ruangan itu melemparinya dengan tatapan takjub, seolah ia objek bidikan yang utama.

"Kau yakin memilihnya, Sera?" tanya Halmeoni meyakinkan lagi.

Gadis itu tersenyum yakin seraya membalas, "Ya, aku memilihnya. Aku memilih Park Jihoon."

Sejurus kemudian suasana ruangan berubah drastis. Seolah sudah tidak tahan dibelenggu ketegangan, saudara sepupu itu tidak bisa lagi menahan semuanya. Mereka memeluk Jihoon begantian, seolah lelaki itu telah memenangkan undian milyaran won. Mereka bangga karena dia terpilih, sekaligus untuk memberinya semangat meskipun Jihoon sendiri masih tidak mengerti suasana macam apa yang tengah terjadi.

Sera ikut tersenyum lebar, meskipun ia masih bisa menangkap kebingungan yang tercetak jelas di gurat wajah Jihoon. Lelaki itu pasti masih bertanya-tanya di benaknya, tergambar dari tatapannya. Namun di luar itu semua, jauh di dalam hatinya, gadis itu merasa lega. Akhirnya waktu ini datang juga. Waktu dimana ia bisa memilih seorang Park Jihoon.

Ya, hanya dia.

Setelah beberapa saat, Sera akhirnya beralih dan kini tatapannya terpaku pada sosok di ambang pintu. Lelaki dengan setelan kemeja putih dan celana jeans biru itu tengah berusaha membaca situasi apa yang sedang terjadi. Akhirnya kedua netra tajam Lai Guanlin, terfokus pada Sera. Ada kegetiran di sana.

Sera semakin jelas merasakannya seiring langkah Guanlin yang semakin berat memasuki ruangan, mendekat ke arah Sera. Kontak mata keduanya belum berakhir, Sera menatapnya dengan pandangan yang sulit didefinisikan laki-laki itu. Perlahan Guanlin itu mendapatkan jawabannya sendiri, setelah menangkap atmosfer yang masih kental terasa.

Ia sudah terlambat.

Benar-benar terlambat.

"Guanlin-ah, sudah lama tidak bertemu," sapa Sera sehangat mungkin ketika keduanya sudah bertatapan sangat dekat, dia tersenyum ringan, berusaha mencairkan aura Guanlin yang dingin.

Namun setiap mendapati senyum ringan gadis itu, hati Guanlin justru semakin berat. Ada nyeri yang kembali menyeruak ke permukaan. Ia tidak tau pasti, namun ia tahu lagi-lagi keadaan tidak mendukungnya. "Sera-ya, apa ... yang sudah aku lewatkan?"

▪°▪°▪

Ruangan hall yang semula ramai itu kini kekurangan orang. Hanya tersisa Jihoon dan Halmeoni yang tengah duduk berhadapan dengan suasana tegang dan rumit. Jihoon sudah siap dengan ribuan pertanyaan yang bertengger di kepalanya sedangkan Halmeoni masih terasa berat untuk mengatakan hal yang sejujurnya.

Jihoon menerawang, menunggu neneknya itu menjelaskan situasi yang sebenarnya. Tapi sejak beberapa menit yang lalu mereka duduk bersama, hanya suara detik jam dinding yang terekam oleh telinga Jihoon. Pikirannya justru semakin dipenuhi oleh berbagai asumsi.

"Jihoon-ah." Akhirnya wanita itu angkat bicara, merobek belenggu hening yang mengelilingi mereka. Jihoon kini mengunci pandangan ke arahnya. "Aku tau kau pasti masih bingung dan tidak mengerti. Tapi, Sera memang tidak salah memilih."

Wanita dengan kalung mutiara putih itu menunduk, rambut pendeknya yang belum sepenuhnya berubah warna kini menutupi sebagian wajahnya. "Sekarang, hanya kau satu-satunya harapan The Wanone."

Jihoon menghela napas. Berusaha tenang agar nada bicaranya masih tetap stabil. "Halmeoni, sebenarnya aku masih tidak tau apa yang kau rencanakan untuk menyelamatkan The Wanone. Tapi tolong, katakan semuanya ... sejujur-jujurnya."

Ada air mata yang tidak dapat dibendung lagi oleh wanita itu. Namun ia segera menghapusnya, tidak ingin Jihoon menyadari itu. "Kau tahu, kan? Perusahaan itu sangat penting bagi kehidupan anak dan cucuku. Aku tidak mau mereka harus menderita karena The Wanone jatuh. Di saat yang tepat, aku kembali dipertemukan oleh teman lamaku dulu. Akhirnya aku sepakat bekerja sama dengannya."

"Nyonya Han SooHee?"

Halmeoni mengangguk dan kini mereka saling bertatapan. Jihoon baru menyadari mata neneknya itu mulai memerah, begitupun juga dengan wanita itu yang baru menyadari kebingungan yang tergambar jelas di kedua netra Jihoon.

"Kami sempat menjadi rekan bisnis. Namun kali ini, kerja sama yang akan terjalin tidak sama seperti sebelum-sebelumnya, Jihoon-ah," ujar wanita paruh baya itu hati-hati yang sontak membuat Jihoon mengerutkan alis heran.

"Tidak sama?"

"Kau harus menikah dengan Han Se Ra," jelas Halmeoni yang sontak membuat Jihoon membelalak tidak percaya dengan pendengarannya sendiri, bahkan lelaki itu masih melongo beberapa saat.

Dia tertegun. "Menikah?"

Melihat bagaimana respon terkejutnya, Halmeoni mengangguk dengan berat hati. Dia semakin merasa bersalah melihat Jihoon yang langsung mengusap wajah dan tidak bisa berkata-kata lagi.

"Tapi, kau ... masih berhak mempertimbangkannya lagi, Jihoon-ah. Aku tidak mau memaksamu." Wanita itu meraih salah satu tangan Jihoon di atas meja, membuat pandangan kosongnya kembali teralihkan. "Maafkan aku yang tidak bisa menjadi nenek yang baik untukmu."

Wanita itu tersenyum getir lalu mengusap kepala Jihoon dan perlahan berlalu, meninggalkan lelaki itu yang masih sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri. Dia masih merasa seperti bermimpi. Sungguh, dia tidak pernah membayangkan akan menghadapi kenyataan ini; menikah dengan gadis asing hanya karena kepentingan perusahaan.

Astaga, aku harus bagaimana?

▪°▪°▪

▪°▪°▪

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.


Tell Me Why ▪ Park JihoonTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon