01. Crazy Challenge

16.5K 809 508
                                    

Vote & Comment, please.

☘️☘️☘️

“Pak Zaki! Gerbangnya jangan ditutup!” Sebuah teriakan menghentikan langkah lelaki tua yang hendak menutup gerbang sekolah, bersamaan dengan suara bel yang dipencet beberapa kali sebagai penanda pukul enam lebih empat puluh lima menit, yang artinya upacara akan segera dimulai.

Pak Zaki menggeleng sambil menghela napas jengah, dilihatnya pemandangan yang membosankan; lima murid nyentrik yang sering terlambat masuk sekolah. “Cepet, Mas!” Ia melambaikan tangan beberapa kali, memberi isyarat agar kelima pentolan SMA Gita Bahari mempercepat langkah memasuki kawasan sekolah.

Fuck! Capek banget gue!” Awan tertunduk lemah seraya berpegangan pada teralis gerbang, di belakangnya disusul Sadewa, Rajendra, Romeo, dan yang paling tertinggal adalah Senja.

“Woy, tunggu!” Senja memekik di seberang jalan, napasnya terengah-engah. Rasanya, ia sudah tak kuasa untuk berjalan. Menyesal, karena telah mengiyakan challenge dari sohib gilanya, Rajendra. Kalau saja ia menolak kehadiran empat orang sinting itu di rumahnya, ia tak perlu repot-repot berlarian dan kepanasan seperti ini.

“Aduuh, Mas! Kali ini challenge apa lagi? Minggu lalu, challenge style era tahun 80-an. Dua minggu lalu, berangkat naik pick up sambil nyetel musik dangdut pake toa getuk. Sekarang apa? Lomba lari ke sekolah?” tanya Pak Zaki yang tak hentinya menggeleng. Kesal, tapi lucu juga melihat tingkah laku mereka. Anggap saja hiburan gratis. “Kalau Pak Broto tau gerbangnya belum ditutup, saya bisa diomelin!”

Sadewa menyeka keringat yang meluruh, membasahi wajah dan tubuhnya, kemudian mendekati Senja yang terduduk lemas di depan gerbang. “Urusan Pak Broto, biar tanggungjawab Senja aja, Pak!”

“Heh! Ngapa lo bawa-bawa gue?!” Senja mendongak, matanya menyipit tatkala sinar mentari menyilaukan pandangannya. Ia menyibakkan rambutnya yang basah, kemudian melambaikan tangan kirinya tak beraturan, seperti memberi isyarat pada Sadewa.

Romeo menghela napas panjang, kemudian menerima botol mineral yang diserahkan Rajendra kepadanya. “Karena, lo cintanya Pak Broto, Ja!”

“Si anying! Amit-amit! Ogah gue sama tua-tua keladi macam dia!” Senja bergidik ngeri, seakan tenaganya sudah pulih, kini ia bangkit dengan dibantu Awan. “Thanks, beib. Lo emang sohib gue yang tersayang!” ujar Senja sambil memberikan pelukkan hangat.

Namun, Awan langsung menjauh dan mengibaskan tangan di depan hidungnya. “Heh, badan lo bau banget, sih? Lo burket, ya?” Mendengar sindiran Awan, kontan Sadewa, Rajendra dan Romeo terbahak puas. Sementara Senja mendesis sebal sambil mencium ketiaknya sendiri, yang memang sudah kebanjiran keringat.

Kini Sadewa mendekati Pak Zaki dan menyelipkan selembar uang lima puluh ribu ke saku celana lelaki bertubuh kurus itu, sebagai tanda terima kasih karena telah menyelamatkan mereka dari hukuman Pak Broto. “Makasih, Pak.”

Pak Zaki menghela napas berat, sebenarnya ia tidak setuju dengan uang sogokkan itu, tapi mau gimana lagi? Kalau jadi orang se-disiplin Pak Broto, bisa-bisa tiap hari akan ada banyak murid yang dihukum. Kini, gerbang pun ditutup rapat oleh Pak Zaki dan bagi murid yang terlambat akan berhadapan dengan guru BK killer—Pak Broto, dan akan dikenakan sanksi yang membuat jera.

“Asik juga ya, lari-larian kayak tadi. Badan terasa lebih fresh," gumam Rajendra sembari merentangkan kedua tangan ke samping dan atas, untuk melakukan cooling down. Seketika ia mengaduh ketika kepalanya ditoyor Senja. “Tangan lo laknat banget, Ja?!”

“Gue gak mau lagi terima challenge gila dari kalian!” Senja berjalan sambil bersedekap. Tatapannya menatap tajam pada Sadewa yang berjalan mundur dan berhadapan dengannya, sementara di kanan kirinya ada Romeo, Awan dan Rajendra yang sibuk mengganti kaos yang penuh keringat dengan kaos baru yang bersih, kemudian dibalut seragam OSIS.

“Aww!” Tiba-tiba, terdengar rintihan yang menyita banyak perhatian orang di sekitar, khususnya Sadewa yang refleks berbalik ketika punggungnya tak sengaja membentur sesuatu.

Seorang gadis tersungkur dan memegangi lututnya yang terdapat luka kecil, karena tergesek oleh paving. Kontan, rintihannya semakin terdengar pilu, dan membuat si penabrak merasa bersalah dan terus mengibaskan tangan ke penjuru arah, karena banyak pasang mata menatapnya penuh intimidasi.

“Sad! Lo kasar banget sih, jadi cowok?” Qiana mendorong bahu Sadewa dengan kesal yang memuncak, terlebih ketika melihat sahabatnya keskitan karena ulah preman sekolah itu.

“Gue gak sengaja!” Sadewa terus mengucapkan kalimat itu, pada Qiana, teman lainnya, juga Samantha—gadis yang tersungkur lemah. “Sam, sorry, gue—”

“Lo bisa gak sih, sehariii aja gak jahatin gue?!” Samantha memekik dengan lirih, matanya memerah dan berair. Susah payah ia berdiri dibantu Qiana dan Jazzila. Beberapa kali ia menunjukkan ekspresi menahan perih.

Sadewa beralih menatap lutut Samantha, kemudian menghela napas berat. “Lutut lo gak berdarah, Sam, cuma lecet doang. Jangan lebay, deh!”

☘️☘️☘️

Hai! Selamat datang kembali di cerita Sadewa! Kali ini bener-bener versi terbaru dan rombak besar-besaran, dari versi sebelumnya dan versi cetak.

Semoga ceritanya lebih baagus, enak dibaca dan mengena di hati, ya!

Selamat membaca!
Jangan lupa vote dan comment!

☘️☘️☘️

Published:
25 November 2020

Love,

Max

The Redflag Boy; SADEWAOnde histórias criam vida. Descubra agora