23. Please, be a good boy.

5K 364 185
                                    

Vote & Comment, please

♣️♣️♣️

Mom, Lala besok pulang sampai jam dua belas siang, karena ada rapat guru. Nanti yang jemput Mama atau Pak Rahmad?” tanya Lala seraya mengunyah snack rasa keju sembari menikmati kartun siang itu.

“Dijemput Pak Rahmad, ya,” jawab Sindy tanpa melihat si bungsu. Ia sibuk mengoreksi berkas kantor yang nantinya akan dipresentasikan saat rapat.

Seketika, suara pintu terbuka, pancaran mentari ikut masuk menerobos. Kontan, perhatian Sindy dan Lala pun teralihkan. Sedetik kemudian, mereka melotot tajam melihat sosok yang berjalan menghampiri dengan tertatih.

“Hai, Mom!” sapa Sadewa yang kini terduduk lemas di hadapan keduanya. Ia tersenyum simpul seraya melepas jaket. “Sebelum Mama marah, Dewa bakal jelasin alasan kenapa Dewa bonyok kayak gini.”

Sindy dan Lala masih diam, jengah melihat kelakuan Sadewa yang tak pernah berhenti berulah. Sindy mengamati luka di wajah anak sulungnya itu dan beralih pada seragam yang penuh noda dan bercak darah. “Mama udah gak tau harus bereaksi kayak gimana, kalo lihat kamu pulang penuh luka gini.”

Sadewa terkekeh geli, pandangannya beralih ke kanan, mendapati Anna tengah duduk santai dan berbisik-bisik dengan Lala. Sudah dipastikan, mereka bergosip tentangnya. “Cowok berantem mah wajar, Mom. Kalo gak berantem, banci namanya.”

“Gak ada pepatah kayak gitu, ya!” Sindy ingin marah, tapi tak tega. Akhirnya, ia lampiaskan pada beberapa cubitan keras di paha Sadewa. “Luka kemarin aja belum kering, sekarang malah nambah luka baru!”

Sadewa berusaha menghindar seraya merintih kesakitan. Sementara itu, Anna bergegas mengambil kotak obat di meja buffet, kemudian kembali duduk. “Sini biar gue obatin lo.” Sadewa pun menurut, membiarkan Anna membersihkan lukanya.

By the way, kok lo bisa tau, gue disekap di gudang?” tanya Sadewa dengan santai, tanpa sadar ... Sindy sudah memelototinya. Sadewa langsung mengibaskan tangan beberapa kali, berharap mamanya tidak ngamuk lagi. “Becanda, Ma. Hehe.”

Sindy mendengkus, tak semudah itu ia percaya pada Sadewa. Bercandaan apa, sampai membuat anaknya babak belur? Huh, pembohong!

Kekehan geli terdengar dari mulut Anna, sembari fokus mengobati luka Sadewa. “Gue baru landing pagi ini, rencananya sih, pengin surprise ke lo. Tapi, Lala bilang, hari ini agenda Dies Natalies sekolah lo. Ya udah, gue iseng aja ke sana. Eh, gak taunya, gue lihat lo dikeroyok sama tiga cecunguk itu. Akhirnya gue memutuskan untuk ikutin lo, untung aja kan ... lo gak mati kehabisan oksigen di gudang itu!”

Penasaran Sindy semakin menjadi. “Dewa, Mama gak mau ya, kalo kamu berulah sampai melibatkan orang lain dan merugikan dirimu sendiri,” ujarnya dengan suara melengking. Namun, Sadewa mengangguk tak acuh.

Kini, Sindy meletakkan berkas di meja, lalu berusaha menetralkan emosinya. “Anna, kamu stay di sini atau balik lagi ke Amerika?” tanyanya seraya bersandar di sofa dan mengamati Anna yang sedang mengobati luka si sulung.

Sindy memang sudah kenal dekat dengan Anna, sejak dua tahun lalu, dikarenakan pertemuan yang tak disengaja antara Sadewa dan gadis itu. Bagi Sindy, Anna adalah perempuan baik dan mampu membuat Sadewa lupa dengan sakitnya.

“Hmm, kayaknya balik lagi, Tan. Soalnya ada ujian akhir, sama kayak Dewa,” jawab Anna sambil tersenyum manis. Gadis bertubuh semampai dengan rambut panjang yang bercat abu-abu itu sangat kontras dengan kulitnya yang putih, membuatnya terlihat sangat ayu. “Dewa, lo mau kuliah di mana?”

“Haha.” Sadewa mendesah berat. Bisa lulus SMA aja udah bersyukur, ini mau lanjut kuliah? Yang benar saja! Bahkan hal itu belum ada di pikirannya sama sekali. Ia hanya ingin jadi manusia bebas, tanpa beban, dan mempunyai banyak uang!

“Lo gak pengin lanjut studi di luar negeri? Di Amerika? Bareng sama gue?” Anna merapikan peralatan medisnya, memasukkan ke dalam kotak dan meletakkan kotak itu di atas meja. Tatapannya terus menatap Sadewa yang kini terlihat gusar. Anna beralih menatap Sindy dan Lala bergantian. “Kalo Dewa kuliah di Amerika, Tante sama Lala izin gak?”


Sindy dan Lala saling bertukar pandang, terlihat raut keberatan di wajah Lala, karena bagaimana pun ... Sadewa adalah kakaknya, meski mereka kerap bertengkar.

Sindy membalas tatapan Anna dengan saksama. “Kalo Tante sih, terserah Dewa. Tante prihatin lihat Dewa yang bandel gini. Pulang kalo gak bawa masalah, ya luka. Tante sampai gak tau lagi harus nasehatin kayak gimana, karena percuma ... mental terus!” Sindy mendumel sekaligus menyindir Sadewa, namun yang bersangkutan justru cengar-cengir seraya menyesap kopi miliknya. “Dewa, Mama minta kamu berubah, jadilah murid teladan yang gak banyak tingkah! Kalo kamu gak bisa jaga diri, gimana kamu bisa jagain Mama sama Lala? Inget, kamu itu pengganti Papa.”

Helaan napas berat diembuskan oleh Sadewa, kemudian ia menatap sang mama dengan sorot sayu. “Mom, Dewa udah besar, bisa bedain mana yang baik dan buruk. Alasan Dewa berantem itu bukan sekedar cari masalah, tapi Dewa pengin menindak perbuatan buruk yang dilakuin orang lain terhadap sesamanya. Sama seperti apa yang Dewa lakuin dulu, di saat pertama kali kenal Bella.”

♣️♣️♣️

Published:
2 Desember 2020

Love,

Max

The Redflag Boy; SADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang