59. Quiet

629 67 128
                                    

akhir dari segalanya
.
.
.

Kicauan merdu terdengar riuh dari banyaknya burung liar yang bertengger di dahan ranting pohon. Taman  yang didesain sedemikian rupa agar terlihat natural, menambah penghijauan di tengah hiruk pikuk Kota Metropolitan yang penuh polusi. Taman itu juga dijadikan sebagai salah satu destinasi masyarakat sekitar untuk berlibur atau sekadar bersantai di pagi dan sore hari.

Terdapat beragam jenis permainan anak-anak, lahan bermain skateboard atau track bersepeda dan jogging. Di beberapa sisi disediakan bangku dan wastafel untuk mencuci tangan sebagai bentuk upaya menjaga kebersihan dan menjauhkan dari virus-virus jahat.

Selain itu, juga terdapat banyak penjual makanan dan minuman yang ikut meramaikan taman itu. Pemerintah kota memberi izin untuk itu, selain membuka lahan rezeki bagi para penjual, juga memfasilitasi para pengunjung taman yang dilanda lapar dan dahaga.

Awan biru putih dengan pancaran mentari di sore hari ini, membuat siapa pun bebas berkegiatan tanpa takut terkena hujan. Riuh suara anak-anak yang menikmati arena permainan, juga para orang tua yang sibuk menjaga anak mereka dalam jangkauan pengawasan. Beberapa pasangan yang bermesraan, meskipun bukan tempat yang tepat, tapi selagi tidak melakukan tindak asusila di luar batas, maka masih bisa dimaklumi.

Seperti pasangan yang baru saja turun dari mobil, dan kini berjalan tidak bersisian. Dua pasang kaki jenjang itu melangkah gontai, seakan sedang memikul beban berat.

Manik abu Sadewa terus mengawasi gadis yang berjalan mendahuluinya. Sejak di perjalanan hingga sesampainya di taman ini, Samantha terus bungkam. Sadewa mengedarkan pandangan ke penjuru, retinanya menangkap arena bermain yang kosong; ayunan dengan dua kursi yang saling berhadapan. Lantas, ia kembali menatap gadis yang berjalan menunduk itu dan memanggilnya dengan suara berat. “Sam?”

Samantha menoleh, kerutan terulas tipis di keningnya. Pandangannya beralih pada ayunan yang ditunjuk Sadewa, kemudian mengikuti cowok itu menuju ayunan di tepi taman. Di sini tak terlalu berisik, sehingga keduanya dapat bercakap tanpa harus terganggu dengan lainnya.

Ayunan yang dicat biru dan mulai berkarat di berbagai sisi, kini dinaiki keduanya. Kaki mereka saling beradu, mengingat space yang tersedia cukup sempit, namun tak menjadi masalah. Besi penyangga itu digerakkan oleh Sadewa, ayunan itu mulai berayun dengan perlahan.

Embusan angin meniup helaian rambut Samantha bergerak menutupi wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Ia tak kuasa menatap sosok di hadapannya saat ini. Gemuruh yang dirasakan sangat mengacaukan pikiran dan hatinya. Seketika kepalanya mendongak ketika tangan kekar Sadewa medongakkan kepalanya.

Kedua netra itu saling beradu, sorot sayu menandakan rindu yang menggebu. Tak ada satu kata terucap, hngga tiba-tiba, desahan berat lolos dari mulut Sadewa. “Sam, i'm sorry.

Satu kalimat itu berhasil membuat bulir-bulir jatuh membasahi pipi. Samantha buru-buru menghapusnya, kemudian menautkan kedua tangan di atas pahanya. Pandangan nanarnya menyiratkan kepedihan mendalam.

“Gue bego banget, ya? Dulu aja gue ngejar lo mati-matian, segala cara gue lakuin supaya hati lo luluh. Tapi, ketika gue berhasil dapetin lo, gue justru semena-mena dan nyakitin lo.” Sadewa tersenyum kecut saat menyadari kebodohannya. Jujur, sakit sekali melihat kesedihan yang disebabkan karena kelakuannya. Ia sadar, jika gadisnya menitikkan air mata, maka malaikat akan mengutuknya di setiap langkah.

Why are you so quiet, Sam?” tanya Sadewa dengan lirih. Ia mengusap pipi Samantha yang bersimbah air mata, dengan perasaan kalut. Dalam hati ia merutuki diri sendiri, seandainya tak keras kepala dan mencoba membuka hati dan pikiran, maka jarak dan tangis ini tak mungkin terjadi.

The Redflag Boy; SADEWADonde viven las historias. Descúbrelo ahora