8 - Serpihan Masa Lalu

27.6K 3K 54
                                    

Melupakan masa lalu bukan perkara mudah. Akan tetapi, mengikhlaskan masa lalu membutuhkan ketegaran hati lebih, dan aku tidak cukup tegar untuk melakukannya.

Joyvika

.

.

Ponsel keluaran terbaru dari brand yang didirikan oleh Steve Jobs itu tidak berhenti berdering sejak sepuluh menit lalu. Sang pemilik menghela napas menahan amarahnya, sebelum mematikan benda persegi tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. Ia hanya ingin menikmati es krim karamelnya.

"Nanti kalau aku nelepon, jangan dimatiin ya, hape kamu Joy," kata Ilyas, ujung bibirnya terangkat, menunjukkan senyum tipis khas lelaki itu.

Joyvika mencebik kesal. Ia tahu lelaki itu hanya menggodanya. Sudah setengah jam ia menghabiskan waktu bersama Ilyas dan Joyvika sangat bersyukur karena lelaki itu tidak banyak bicara. Akan tetapi, sepuluh menit terakhir ini, Ilyas kembali membuat Joyvika kesal dengan celetukan-celetukan sok tahu dan tidak berbobotnya.

"Kamu nggak menghindari aku, 'kan?" tanya Ilyas memastikan. "Biasanya kalau orang menghindari sesuatu, karena takut sama nggak mampu. Jadi, apa kamu takut dan nggak mampu menghadapi aku?"

Tatapan tajam Joyvika tertuju langsung pada lelaki yang duduk seberangnya. "Es krim kamu udah habis, 'kan? Aku mau pulang." Beruntung sekali Ilyas, hari ini ia tidak dalam suasana hati ingin mendebat mulut sok pintar lelaki itu. Joyvika sudah lelah hati karena ayahnya, ia tidak mau membuang-buang tenaga untuk perkara tidak penting lagi seperti ini.

Ilyas terkekeh pelan. Suara rendah lelaki itu terdengar menenangkan sekaligus menjengkelkan di waktu bersamaan. Hal itu membuat Joyvika frustasi dengan dirinya sendiri. "Kamu mau aku tinggal? Kenapa masih duduk aja?" tanya Joyvika yang sudah berdiri dan bersiap pergi.

"Well, makasih udah nunggu." Ilyas berdiri dan berjalan mengikuti Joyvika menuju tempat parkir.

Tanpa Joyvika tahu, tiba-tiba Ilyas merebut kunci mobil dari tangannya. Lelaki itu memasukkan kunci ke kantung celananya dan berhenti berjalan.

"Jangan bercanda!" Joyvika memekik jengkel.

Ilyas bergeming di tempatnya. Joyvika dapat melihat lelaki itu tersenyum licik. Rasa emosinya sudah menggunung di dada, siap meledak. "Mau kamu apa?!" desis Joyvika.

"Kamu bilang aku cukup manipulatif, kamu benar. Aku bisa melakukan berbagai cara buat dapetin apa yang aku mau," kata Ilyas, menatap Joyvika dengan tatapan yang sulit diartikan. Ilyas lalu berjalan mendekati Joyvika dan berdiri terlampau dekat dengan wanita itu, membuat ia menahan napas. Mata Joyvika membelalak ketika Ilyas menundukkan kepalanya dan berbisik di telinganya. "Lain kali jawab chat dan jangan reject teleponku, bisa? Apa kamu mau aku kirim bunga lagi ke kantor?"

Sialan! Jantung Joyvika berdebar dua kali lebih cepat hanya karena bisikan Ilyas yang tidak ada artinya itu! Bahaya! Lelaki itu memang bahaya. Bahkan, ia tidak bisa membalas sepatah kata pun padanya. Dan kini, ia duduk membeku di sebelah Ilyas, sementara lelaki itu fokus mengemudi menuju apartemennya.

Ia dan Ilyas memang sudah beberapa kali bertukar pesan, tapi beberapa kali juga Joyvika memilih mengabaikan Ilyas. Hubungan mereka belum cukup dekat untuk dipanggil teman, apalagi lebih dari itu. Namun, sepertinya Joyvika harus siap untuk sesuatu yang lebih apalagi motif lelaki itu sudah jelas di matanya.

***

Berendam dengan air hangat memang terbukti membuat tubuh terasa lebih relaks. Setelah mandi, Joyvika kini duduk di sofa sambil menikmati teh hangat dan sandwich untuk makan malam. Namun, ketenangannya tidak bertahan lama saat ponselnya berdering. Ia mendesis kesal saat melihat nama si pemanggil. Hampir saja ia menekan tombol merah untuk menolak panggilan dari ibu tirinya. Akan tetapi, Joyvika tiba-tiba teringat perkataan Ilyas.

JOYVIKA [REPOST]Where stories live. Discover now