Delapan

3.6K 767 149
                                    


"Aku ingin bekerja di kedutaan.."

"Wow itu bagus."

"..di seluruh benua."

Jawaban itu membuat Eve bungkam. Mark masih berbicara seputar mimpinya mengelilingi dunia. Lelaki itu tidak bosan dan sepertinya tidak akan pernah bosan.

"Pernahkah sekali saja kau berpikir untuk menetap?"

"Sepertinya tidak." Mark menarik nafas, lalu menghembuskan karbondioksida pada serpihan terakhir dandelion di tangannya. "Aku ingin terbang bebas, mengikuti arah angin. Berhenti di suatu tempat. Tumbuh. Menikmati hidup sejenak. Lalu terbang kembali."

"Apa kau punya tujuan?"

Mark mengedik. "Mengikuti arah angin. Kemanapun angin membawaku, kupikir itu adalah tujuan."

Mereka lagi-lagi terdiam. Mark melepaskan bonggol dandelion dan kembali menyarungkan tangannya kedalam kantung.

"Kau seperti dandelion."

Mark tersenyum tipis.

"Aku selalu ingin sekuat itu."

"Karena itukah buku saku milikmu memiliki gambar dandelion?"

Mark mengangguk menatap Eve. Matanya tampak berbinar namun tegas. Dua manik mereka saling tenggelam menyelami keindahan satu sama lainnya selama beberapa detik bersama hembusan angin yang terasa begitu lembut.

"Kau percaya takdir, Evelyn?"

"Ya, memangnya kenapa?"

"Jika suatu saat kau dihadapkan pada pilihan berat untuk meninggalkan salah satu dari dua hal yang paling berharga bagimu, apa yang akan kau lakukan?"

Semilir angin kembali terbang seolah menjadi saksi bahwa ada kata yang tak sempat terucap diantara keduanya. Eve membuka mulut lalu menutupnya secepat ia berkedip. Ada sesuatu yang menggantung di ujung lidah, namun Eve tidak bisa mengeluarkannya begitu saja.

Lama mereka saling berpandangan, Eve memutus kontak itu untuk pertama kalinya. Ia menunduk, menikmati dingin yang datang bersama langit yang kelabu.

"Aku mungkin akan berkompromi." jawab Eve pada akhirnya.

"Jika itu tidak berhasil?"

"Pada akhirnya.. aku tetap harus memilih, kan?"

Mark bergumam. Eve tersenyum tipis.

"Seberapa berhargapun dua hal itu untukku, mereka tetap harus diletakkan pada prioritas yang berurut." Eve menghembuskan nafasnya berat. "Tentu aku akan memilih yang keabsenannya berpengaruh besar dan dapat merubah hidupku."

Helaan nafas Mark terdengar. Ia bergerak, memilih duduk disamping Eve, menatap matahari yang semakin menghilang.

"Kita mungkin tidak akan bertemu lagi setelah kembali."

Eve terkejut mendengarnya. "Kenapa begitu?"

"Beda konsentrasi, beda jurusan, beda kesibukan. Lagipula, kita bukan teman hangout."

Eve mendelik tidak suka. "Kau mengatakannya seolah kau akan pergi ke alam yang berbeda, kau tau?" 

Gadis itu mengayun kakinya, masih menikmati senja bersama Mark. "Kita masih bisa saling menghubungi. Yah.. kalau kau berminat."

Tawa Mark berderai pelan mendengar nada bicara Evelyn. Ia mengusak rambut gadis itu lembut.

"Nanti saat kau sudah bahagia, jangan pernah lupa jika pada suatu waktu kau dapat kembali terjebak dalam luka karena suatu kegagalan dan rasa kecewa. Ingatlah meski nanti kau seterang dan setinggi andromeda, kau masih dapat meredup dan jatuh tenggelam di angkasa. Ingatlah untuk selalu membumi saat kau sedang melambung tinggi mengudara. Ingatlah itu semua, Eve."

[✔] Lakuna | Mark Lee Where stories live. Discover now