Sebelas

4.2K 809 164
                                    

"Kau disini?"

Mark tidak menoleh sama sekali meski suara Eve terdengar sangat dekat.

"Pestanya sudah selesai?"

Eve bergumam, lalu pelan tapi pasti suara langkahnya semakin mendekat. Mark masih sibuk duduk di pinggiran kolam renang hotel. Kedua sepatunya sudah berjejer rapi di belakang. Celananya tergulung hingga betis. Sebotol gelas berisikan wine tergeletak manis di sampingnya.

"Aku tidak lagi melihatmu di sepanjang pesta."

"Aku sudah bertemu Kak John. Thats enough."

Suara kecipak air terdengar. Mark menoleh dan menemukan Eve sudah duduk di sampingnya. Gaun gadis itu terjuntai dan basah terkena air kolam, tapi ia terlihat tidak perduli.

"Gaunmu basah, Eve."

"Apa kau menghindariku?"

Mark justru berpaling, tidak menjawab.

"Apa calon kekasihmu tidak akan merasa kehilangan?"

"Kau merasa terintimidasi dengan kehadiran Jeno?"

Eve tidak mendengar jawaban lagi. Mark masih berpaling, kedua tangannya terjulur ke belakang untuk menopang tubuh. Kakinya tampak tenang menikmati dinginnya air kolam. Dari sudut matanya, Eve berkali-kali melihat lelaki itu meneguk ludah dari gerakan jakunnya yang tidak teratur.

"Bagaimana Birmingham?"

"Good. Aku mengunjungi banyak cagar alam, english heritage, museum. Banyak bangunan-bangunan indah disana."

"Sudah berapa lama kau disana?"

"Delapan bulan." Mark meraih wine miliknya, menyesap pelan. "Aku berencana untuk pindah dalam beberapa bulan kedepan."

"Untuk mengejar mimpimu yang lain?"

Sejenak, Eve melihat keraguan dalam bola mata Mark saat ia mengangguk.

"Kali ini.. kau akan kemana?"

"Claire menawarkan Austria dan Jerman padaku."

"Claire?"

"Hmm, personal asisten. Tidak perlu cemburu, Eve."

Eve tertawa kecil, Mark tidak tahan untuk ikut tertawa dengannya. Suara gadis itu tidak berubah, masih sama indahnya seperti yang dulu. Merdu dan begitu menenangkan. Yang berbeda darinya hanyalah sikap yang terlihat jauh lebih dewasa dan anggun.

"You look gorgeous tonight. Sudahkah ada yang mengatakan itu padamu?"

Eve mengangguk. "Jeno already told me before."

Mark mendengus jengkel.

"Kau benar-benar merasa terintimidasi dengan kehadiran Jeno?"

Lelaki itu menggeleng.

"Nope. Never."

Sesaat keheningan kembali menyelimuti mereka. Eve melirik Mark yang menghembuskan nafasnya berkali-kali. Lelaki itu, meski sudah bertahun-tahun menghilang tak pernah sekalipun berhasil memudarkan eksistensinya dalam benak Eve. Tapi entah bagaimana, meski sudah berada sedekat nadi, Mark masih terasa sejauh mentari.

"Mark—"

"Aku bekerja di Kedutaan Amerika.. dua tahun lalu."

"Wow, itu mimpi besarmu dari dulu."

Mark tertawa pelan. "Yeah.."

"Masih sering membawa buku saku dengan ukiran dandelion—oh!"

Eve terpekik kecil saat Mark mengeluarkan buku saku usang miliknya. Tidak banyak yang berubah disana. Hanya terlihat semakin lusuh karena terlalu sering digunakan.

Mark menyodorkannya pada Eve, membuat gadis itu sedikit bimbang karena Eve tidak pernah berusaha ingin tau isi buku itu selama ini.

"Tapi aku tidak merasa puas sama sekali setelahnya."

Eve menggerakkan kakinya, menciptakan gelombang di permukaan kolam. "Kenapa?"

Buku itu berada di tangan Eve. Ia melirik Mark sebentar, merasa begitu ragu untuk membukanya tapi pada akhirnya lembar demi lembar buku terpampang jelas di depan Eve.

Buku itu tidak memiliki banyak coretan. Hanya tulisan-tulisan kecil Mark yang berantakan setiap kali ia menemukan hal baru untuk dijelajahi.

Mark menulisnya dalam bentuk list deskripsi. Tujuan yang ingin ia datangi, alasan mengapa ia harus kesana, bagaimana cara ia kesana. Segalanya tertulis rapih meski tulisan tangan Mark tidak begitu bagus.

Eve tertawa menemukan peta kecil yang terlipat di dalamnya. Beberapa sisi bekas lipatan sudah terlihat robek mengikuti garis, juga menguning dimakan waktu. Goresan tinta merah di sana terlihat semakin ramai dari terakhir kali Eve melihatnya.

Mark.. sudah hampir mengelilingi dunia.

Ia sudah menjelajahi Amerika. Mungkin saat ia bekerja pada kedutaan disana. Ia juga sudah mendatangi Eropa, mungkin juga karena ia sudah cukup lama berada di Birmingham. Dan wow, ia juga sudah ke Afrika. Maldives. Ke pulau kecil di New Caledonia.

Eve hanya mampu mengerjap dan tersenyum kecil. Tidak menyangka hampir seluruh bagian peta sudah tergoresi tinta merah. Namun kemudian kening Eve berkerut samar. Ada tinta merah tergores pada peta Korea. Bukan lingkaran seperti biasa, namun berisi tanda tanya.

Ia bergerak mendekatkan peta kedalam jarak pandangnya, namun kemudian selembar kertas jatuh keatas pangkuan Eve. Bibir Eve seketika kelu. Itu adalah foto dirinya saat menikmati senja di depan penginapan bersama Mark, lima tahun lalu.

Saat Eve tidak sengaja tertidur di bahunya, menebus lelah dan menikmati hangatnya mentari terakhir mereka di sana.

Bola mata Eve tampak nanar, ia menoleh cepat seolah tak ada lagi hari esok untuk bertanya pada Mark. Sementara lelaki itu hanya menaikkan sebelah alisnya tenang. Tangannya bergerak, meraih tangan Eve yang memegangi foto, membaliknya dengan pelan. Menampar Eve dengan kalimat,

'In silent, i dream of you being my dream.'

"Kita pernah berdiskusi perihal masa depan, dulu. Maaf karena aku begitu takut kehilangan banyak mimpiku hanya karena dirimu. Tapi kemudian aku menyadari, perihal sesuatu yang dapat merubah hidupku dengan keabsenannya.. its totally you, Eve."

Mark menelan ludahnya pelan seolah itu sangat menyiksa.

"Aku berkeliling dunia. Merampungkan satu persatu mimpi yang pernah kutata rapih jauh sebelum kita bertemu. Tapi semua terasa begitu hampa. Aku tidak menemukan kepuasan lagi bersama mimpi-mimpi lamaku. Dan kau bertanya kenapa?"

Jemari Mark meraih buku kecil miliknya, membentang peta di dalamnya lebar-lebar tepat di depan wajah mereka berdua. Menunjukkan pada Eve tanda tanya besar di tengah-tengah peta Korea.

"Mungkin karna, ada mimpi lain yang belum aku gapai disini."

Suaranya terdengar berbisik lirih di samping Evelyn.

"Aku pikir, sudah saatnya aku menghadapi kenyataan jika ada yang harus aku kejar disini. Jika bukan karena kau, aku tak akan kembali menginjakkan kaki di tempat ini. Tapi coba tebak, ternyata mimpi besarku sudah bukan lagi Kedutaan Amerika atau berkeliling dunia. Ia justru menetap disini. Di tempat dimana seluruh mimpi lamaku dimulai."

Eve berpaling menatap Mark. Ada keseriusan dalam bola matanya begitu pandangan mereka beradu. Begitu saja, bulir air mata Eve menetes membasahi pipi kanan. Bibirnya bergetar halus, seolah apa yang selama ini ia nanti dengan begitu sabar kini mencapai titik terangnya.

"M-mark.."

"Ya?"

"Apa kau tau mimpi terbesarku kini?"

Senyum tipis Mark terukir, matanya berubah sendu seketika.

"Me. Please say its me because i clearly can see it all from your pretty eyes."

Dan tangis Eve kemudian pecah begitu saja. Air matanya mengalir deras saat ia mengangguk heboh, menjawab pertanyaan Mark yang begitu dalam. Gadis itu merentangkan tangannya lebar, memeluk leher Mark, menyalurkan jutaan rindu yang terpendam sekian lama.

"Its you. Its always been you."

[✔] Lakuna | Mark Lee Where stories live. Discover now