Sepuluh

3.4K 735 78
                                    

Layar monitor menyala, sebuah desain separuh jadi tampak disana. Eve tidak melanjutkan gerakan tangannya. Ada sesuatu yang menahan gadis dua puluh lima tahun itu untuk bergerak.

Pikirannya melayang jauh pada daftar tamu undangan yang tertera di sebuah buku besar yang ia genggam dua jam lalu, saat Johnny sibuk memintanya memilih harus pada siapa saja undangan itu ia sebarkan.

Mark Lee.

Namanya tertulis disana.

Berulang kali Eve berpikir keras adakah Johnny memiliki teman bernama Mark kecuali Mark Lee yang ia kenal? Karna jika tidak, berarti dugaan Eve benar. Bahwa Johnny memang akan mengundang Mark.

Mark-nya.

Ada sebuah rasa yang membuncah dalam diri Eve detik itu juga. Namun kemudian segalanya luruh begitu saja setelah ia mengingat kisah lama mereka.

Lima tahun tidak bertemu, bagaimana keadaan Mark saat ini? 

Masihkah ia lelaki penuh ambisi dan berjiwa liar namun hangat seperti yang dulu? 

Masihkah ia menggunakan training dan tshirt polos sesering dulu? 

Masihkan ia irit bicara pada orang-orang seperti dulu?

Mark menghilang tanpa kabar sesaat setelah mereka mendarat di bandara Incheon lima tahun lalu. Setelah Johnny datang menjemput Eve yang kelelahan, Mark pun pamit karena arah pulang mereka yang berbeda.

Eve pikir ia masih akan dapat berkomunikasi dengan pria itu. Namun ternyata dugaannya salah. Mark sibuk dengan paper miliknya dan terbang menuju satu lagi mimpi yang ia miliki. Lalu benar-benar menghilang di bulan-bulan berikutnya.

Beberapa bulan setelah itu Johnny memberi kabar bahwa Mark sudah akan diwisuda. Eve tersenyum lirih, tidak berani menunjukkan diri didepan lelaki yang jelas-jelas tidak menginginkan keberadaannya itu.

Usai upacara kelulusan, Mark seolah menghilang tanpa jejak. Cerita tentangnya perlahan pudar termakan waktu. Ia sama sekali tidak pernah muncul dimanapun. Mark juga tidak memiliki social media sebagai tempat bertukar kabar. Juga nomer ponsel Mark, sepertinya sudah mati dan diganti.

Eve tidak punya pilihan apapun selain menghormati keputusannya.

Tatapan dan ucapan lelaki itu padanya lima tahun lalu memberitau Eve dengan jelas jika ia juga jatuh cinta. Tapi Eve tak pernah tega, mendekap sayap Mark hingga patah saat lelaki itu ingin terbang bebas dan begitu jauh.

Eve merelakannya pergi secepat rasa itu hadir diantara mereka.

Tapi kemudian lelaki itu kembali hadir kini. Tepat setelah lima tahun mereka tak berjumpa. Bagaimana Mark kini? Sudahkah ia.. memiliki tujuan untuknya pulang?

Itulah yang ingin sekali Eve tanyakan pada pria itu saat tatapan mata mereka beradu di pesta kebun Johnny di pertengahan bulan February, diawal musim semi tahun itu. Eve mengerjap tidak percaya. Matanya bertemu pandang dengan hazel Mark setelah tahunan tak berjumpa.

Dimata Eve, lelaki itu tampak sangat hebat dengan setelan jas yang menggantung pas pada tubuhnya. Mark tampak lebih dewasa, lebih penuh dengan wibawa dan juga lebih tampan. Rambut hitamnya yang dulu sering ia biarkan berantakan kini tersisir rapi dengan model hair up. Menampilkan dahi cemerlangnya pada Eve.

"Hai, Eve."

Namun Eve justru terdiam lama. Ribuan kata-kata yang telah silih berganti melintas dalam kepalanya berhenti diujung lidah. Tak terucap.

"Eve?"

Suara Mark menarik Eve dari lamunannya. Gadis itu tersentak lalu berdehem canggung di depan Mark.

"Oh.. hai, Mark."

"Long time no see." Mark tersenyum tipis didepannya. "Kau terlihat jauh lebih dewasa."

Eve membalas senyuman Mark lirih. "Yeah, kau juga.."

'Tampak lebih penuh dengan mimpi-mimpi yang telah terwujud.'

Keheningan menyelimuti mereka. Hanya ada suara musik-musik klasik dari band yang sedang bernyanyi di atas panggung rendah di tengah-tengah taman.

"Apa kabar?" dan Eve memutuskan untuk bersuara terlebih dahulu.

Mark mengedik, "Never been this great. Kau sendiri?"

"Baik. As you can see."

Mark tertawa pelan. "Kak John bilang ini semua hasil dekorasimu. Wow, great Eve."

"Dia berlebihan. Aku hanya membantu pihak wedding organizer."

Untuk yang kedua kalinya, keheningan kembali menyelimuti mereka. Mark menatap Eve dari sudut matanya. Berkali-kali tatapan mereka bertemu lalu secepat itu pula keduanya saling menghindar.

Mark dapat merasakannya. Bahwa masih ada rasa yang begitu menggebu diantara mereka, meronta-ronta meminta untuk dipersatukan meski telah sekian lama dipisahkan. Apakah itu hanya perasaannya saja? Atau.. Eve memang menunggunya selama ini?

"Where have you been?"

Dan pertanyaan itu pada akhirnya terucap. Mark beralih menatap Eve, pandangan matanya seketika meredup. Mark sendiri tidak mengerti, seolah ada hal lain yang mengendalikan dirinya kini.

Netra mereka masih saling beradu. Dapat Mark lihat ada kesedihan yang sama di dalam netra madu yang indahnya tak berubah meski termakan waktu itu. Mark menelan ludah pertanda gugup, namun terlihat begitu menantikan momen ini terjadi.

"Mengelilingi dunia.."

"..mewujudkan mimpi-mimpimu, right?"

Eve menyambung, dan nada getir menemani pernyataan singkatnya. Mark, tidak bisa lebih kecewa pada dirinya sendiri saat menemukan itu. Bahwa ada sakit yang berusaha Eve pendam karena dirinya.

"Sudah mewujudkan berapa mimpi?"

Senyum pahit Mark tercipta. "As much as i can, i guess. Aku tidak pernah menghitung."

"Dimana kamu tinggal saat ini?"

"Birmingham."

Eve mengangguk, menghentikan pertanyaannya.

"Kau sendiri?"

"Hanya menyelesaikan mimpi-mimpi kecil."

"Sudah berhasil membangun rumah desain milikmu sendiri?"

Eve berpaling menatap Mark. Tidak menyangka lelaki itu akan mengingatnya. Gadis itu mengangguk dengan mata tidak percaya.

"Great. Bukankah itu mimpi terbesarmu?"

Lalu Eve terdiam. Butuh beberapa detik baginya untuk berpikir dan menjawab, "Mungkin tidak lagi."

"Oh ya? Jadi apa mimpi besarmu saat ini?"

Senyum pias menghiasi wajahnya. Eve menatap Mark sendu. Dan lelaki itu bukannya tidak mengerti arti dari tatapan Evelyn padanya. Bibir Eve bergerak, membuat debar dada Mark bergemuruh kencang.

"Aku—"

"Evelyn Seo?"

Mark menoleh jauh kebelakang Eve, seorang lelaki berjas hitam melangkah mendekat dengan senyum yang sangat indah.

"Aku mencarimu kemana-mana. Oh, siapa ini? Teman lama?"

Tatapan mereka bertemu, Eve menghela nafasnya pelan.

"Jeno, kenalkan ini Mark. Teman lama Kak John. Dan Mark, ini Jeno—"

"Calon kekasih Evelyn." Lelaki itu maju dan menatap Mark dengan ekspresi jenaka, "Jika dia menerima pernyataan cintaku yang kesekian—aw!"

"Jeno!"

"Apa?" Jeno mengusap lengannya dengan wajah protes. Secepat kilat beralih pada Mark. "Abaikan dia, Evelyn memang pemalu." Lalu kembali menatap Eve. "Ayo temani aku foto dengan Kak John sebentar."

Eve tidak dapat menolak saat Jeno menyeretnya pergi tanpa rasa bersalah. Lelaki itu justru melambai pada Mark berkelakar bahwa nanti akan meminjamkan Eve kembali padanya. Begitu saja, obrolan mereka terhenti. Dan Eve tidak lagi menemukan Mark dimanapun hingga malam hampir larut.

[✔] Lakuna | Mark Lee Donde viven las historias. Descúbrelo ahora