IGMLTY 4

1.3K 61 0
                                    

"Haibara!! Haibara!!" Conan berteriak memanggil-manggil gadis pemilik rambut bersurai pirang kemerahan itu. Meskipun sudah mencarinya ke seluruh penjuru rumah, ia tetap tidak bisa menemukannya, padahal ia bukan anak kecil yang kesulitan mencari temannya saat bermain petak umpet.

Hari sudah malam, Ai masih belum terlihat. Padahal tadi Conan melepaskan pengawasannya hanya 10 menit saja saat ia pulang ke rumahnya sendiri di sebelah. Ketika ia kembali ke rumah hakase, gadis itu sudah menghilang. Conan khawatir, sebelum pergi, hakase sudah berpesan padanya untuk benar-benar menjaga Ai dimanapun dan kapanpun.

"Kudo-kun, kalau saja suatu saat nanti aku menghilang, apa yang akan kamu lakukan?"

"Tentu saja aku akan mencarimu hingga ketemu, walau harus ke ujung dunia sekalipun."

'Benar, aku harus mencarinya.' Conan mengepalkan tangannya erat-erat. Ia memutuskan berdiri tepat di pusat rumah hakase.

Conan memejamkan kedua mata birunya, membayangkan setiap tempat yang memungkinkan Ai berada di sana. Ia menggunakan insting detektif nya, meraba tempat yang terlintas di benaknya dalam-dalam. Hasilnya nihil. Ia tidak merasakan apapun.

Beberapa saat kemudian, terbayang Ai sedang menangis tersedu-sedu. Conan bahkan bisa mendengar suara sesenggukannya. Tunggu, apa ini nyata?

Conan membuka kedua matanya, ternyata suara tersebut bukan sekedar bayangannya saja. Conan menelisik asal suara itu, yang tak lama kemudian ia berhasil menemukannya. Suara itu berasal dari atap.

Conan melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju atap rumah hakase. Setelah sampai, ia memutuskan untuk tidak langsung muncul di depan mata Ai. Ia menyandarkan punggungnya layaknya cicak.

Dari tempat persembunyiannya, Conan melihat Ai tengah menengadahkan kepalanya. Perhatiannya terpusat pada bulan purnama yang tergantung di langit, menerangi langit malam dengan sinarnya bersama para bintang.

"Kenapa langit tidak pernah tersenyum untukku?" gumam Ai lirih. Air mata kembali menetes dari kedua pipinya, menggambarkan suasana hatinya saat ini.

Seandainya diberi warna untuk melukis di udara, Ai hanya akan memilih hitam walaupun ia sendiri tidak tahu apa yang akan dilukiskannya. Hitam karena hidupnya yang begitu kelam dan menderita, tanpa seorang pun yang benar-benar mengerti dirinya.

Ai melihat tiga bintang yang saling berdekatan, seperti keluarganya yang telah tiada. Bintang-bintang itu berkelap-kelip, seolah mengajak Ai untuk menyusul mereka dan bermain bersama. "Maaf... aku... aku tidak bisa...." tangisannya kembali pecah namun tertahan, ia tidak ingin seseorang tahu kalau ia sedang menangis.

Ai mengarahkan telunjuknya ke langit dan menggerakkannya ke berbagai arah. "Itu ibu, ayah, dan Akemi-neechan." ucapnya seraya membuat lingkaran kecil yang mengelilingi tiga bintang itu sekaligus.

"Sedangkan aku..." Ai menggeser telunjuknya beberapa senti hingga sampai pada sebuah bintang yang tidak berkumpul dengan kelompoknya. Tidak, lebih tepatnya ia dilempar dari teman-temannya.

Tangan Ai perlahan memberi sebuah lingkaran pada bintang itu, dengan ukuran yang lebih kecil. "Itu aku, benar kan?" ucapnya dengan suara yang bergetar. Selang berapa detik, tangannya terkulai lemas, melepaskan diri dari menggambar di langit.

"Kapan aku bisa menyusul mereka?" tanya Ai terisak.

"Sudah kubilang, jangan lari dari takdirmu, Haibara..." suara Conan membuat Ai tersentak, sejak kapan detektif itu ada di tempat yang sama dengannya?

Ai segera menghapus air matanya dengan cepat sebelum detektif itu mencapai dirinya. Untung saja angin yang berhembus malam itu membantu untuk mengeringkan air mata yang keluar dari sudut matanya yang berwarna ungu permata.

𝓘 𝓖𝓲𝓿𝓮 𝓜𝔂 𝓛𝓸𝓿𝓮 𝓣𝓸 𝓨𝓸𝓾 Where stories live. Discover now