Day 2

196 34 2
                                    

Hari kedua, sekaligus pagi pertama aku terbangun dan melihat wajah dinginnya. Terasa asing, tapi menenangkan. Hanya dia melakukan kegiatannya tanpa menghiraukan sekitar. Berusaha setenang mungkin aku bergerak di area dapur untuk memasak mie instan seperti yang sedang disantapnya, harap-harap perhatiannya tidak beralih padaku. Namun, ternyata dia benar-benar tak acuh bahkan sampai aku duduk tepat di depannya. Sungguh pagi yang begitu tenang begitu pula dengannya.

Sayup-sayup suara burung terdengar begitu damai menjadi latar belakang suasana. Masih di meja makan, aku dan dia berdiam tanpa kata. Semua begitu tentram hingga dia akhirnya mengadahkan kepala dan mengembalikan tatapanku yang daritadi terjatuh padanya. Kurasakan gugup bukan main mulai menjalar ke seluruh tubuh. Kaki mulai gemetaran hingga jemariku yang tiba-tiba bermain dengan gerogi. Dia masih diam, hanya kini melirik tanganku penuh pertanyaan. Masih tetap pendirian, dia hanya mengangkat sebelah alis tebalnya sebagai pengganti ucapan.

"Dingin."

Sebuah celetukan terselip dari bibirku tanpa menunggu aba-aba. Sedikit kelabakan dengan ucapan sendiri, cepat-cepat aku menyatukan kedua tangan berlaga mencari kehangatan. Karena ketika mendengar suara hati kecil secara lantang, membuatku berpikir bahwa ternyata satu kata itu memiliki makna ganda yang bisa saja disalahartikan olehnya. Pilihan artinya hanya ada dua, cuacanya yang dingin atau sikapnya yang dingin.

Dia mengangguk setuju tanpa memberikan bahan lain untuk berbincang. Sungguh tidak membantu karna aku enggan diam lebih lama. Sembari mengaduk-aduk mie yang sudah sedikit lembek, aku bertanya padanya.

"Kamu sekarang kelas berapa? Aku lupa."

Pertanyaan bodoh yang aku sendiri mengakuinya. Sebab nyatanya, aku sendiri memiliki jawaban yang kucari. Namun, itu berhasil membuatnya keluar dari masa diam bertapa. Masih dengan air wajah yang begitu minim, ia menjawab basa-basiku layaknya boneka tanpa nurani. Begitu tepat sasaran hingga aku kesusahan mencari topik lain, tetapi hal selanjutnya berhasil membuatku terkesiap. Dia bertanya padaku! Untuk pertama kalinya dalam dua hari ini, dia memiliki niatan untuk berbicara padaku!

"Hari ini kita mau kemana?"

Pertanyaan biasa yang tidak seharusnya memberikan dampak dahsyat. Namun, aku adalah aku yang terlalu mendambakan afeksinya seperti yang lalu. Tak bisa lagi kusembunyikan cengiran bodoh di bibir ini kala memberikan penjelasan yang dicarinya. Namun, dia adalah dia yang entah kenapa saat ini menjadi penunggu kutub utara. Tidak seperti yang lalu dan begitu banyak basa-basi singkat tak berarti. Sungguh aku tidak bisa mengeluh, karena ini termasuk progres baik darinya yang mulai mau mengutarakan isi pikiran berkabut itu.

Setelah lama tak jumpa, hadiah yang kamu bawa adalah sebuah bongkahan es.

Sejujurnya sulit bagiku untuk menyesuaikan suhu dinginmu, maka biarkanlah aku berubah menjadi seseorang yang sedikit pemaksa.

Mau tidak mau, aku akan memperkuat radiasi kehangatanku agar es itu menjadi aman bagiku. Namun, syukurlah hadiahmu itu mengerti dan perlahan mengubah temperaturnya untukku. Walaupun begitu, perubahannya memang terlampau pelan hingga aku kehilangan sedikit kesabaran.

Maka di sinilah kita,
saling berbagi perbincangan kecil tanpa arti. Hingga diam-diam hati kecil ini sengaja merapalkan doa agar kehangatanmu datang secepat mungkin.

🌙💙✨

Stuck by You #1Where stories live. Discover now