Dia?

1 0 0
                                    

Ruangan yang sejuk, elegan, romantis, sungguh dibangun sempurna di gedung pertunjukan ini. Penonton seakan dibawa keluar dari dunianya dan berada di dunia lain yang penuh pesona. Semua wajah nampak tersenyum bahagia penuh cinta. Malam ini pertunjukan pertama, luar biasa Toro berhasil mendapatkan dua tiket VIP. Pasti bukan hal mudah mengingat begitu membludaknya peminat apalagi dimasa libur sekolah seperti ini.

Sejak masuk tadi Adel merasa jantungnya berdebar. Ia seperti memasuki studio kecil di samping rumah Andre. Apalagi rangkaian melati yang disusun bertumpuk di sudut-sudut panggung, mengingatkannya pada rumpun melati di pintu masuk studio. Toro menggenggam lembut tangannya, seolah memahami kegelisahannya. Suara pembawa acara yang lembut dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia menandakan bahwa pertunjukan segera akan dimulai.

Tirai merah maroon perlahan tersibak kesamping, suara musik instrument merasuk lembut menghipnotis. Namun hingga beberapa saat, tak ada sesuatu pun yang bergerak di panggung. Penonton yang menunggu mulai penasaran dan tegang, mengira-ngira sesuatu terjadi. Tiba-tiba, "Bonjour me Mademosaile..". Adel terpekik kaget. Suara itu berbisik pelan di samping kanannya. Sesosok penari cantik, dengan riasan panggung tebal, tersenyum, sepasang tangan yang dibalut sarung satin mengulurkan setangkai mawar merah. Mawar kampung. Kesukaan Adel. Adel menerimanya dengan gemetar. Sosok itu perlahan berjalan anggun menuju panggung. Penonton bertepuk gemuruh. Ia pun duduk dengan kaki ditekuk, anggun... Lalu mengalunlah musik itu.. Balade por Adeline.. Adel terpana. Sosok cantik dipanggung itu dikelilingi sosok-sosok lain meliuk dengan indahnya mengikuti alunan lagu. Adel terlempar ke ruangan putih, empat setengah tahun silam, saat terpaku menatap Andre yang menari. Meliuk, melompat menyentuh awan kenangannya yang tersimpan rapi.

Entah berapa lama, Adel sesegukan di dada Toro. Adel bahkan melewatkan standing applaus panjang penonton diakhir pertunjukan tadi. Membiarkan suara pembawa acara menyebutkan title pertunjukan tadi sebagai pertunjukan istimewa yang pertama kali ditampilkan sepanjang tour Silhuette. "Balade Pour My Adeline".

Ia bahkan tak mampu beranjak ketika penonton telah habis. Toro memeluknya dengan sabar. Sampai sebuah suara lembut menyapa mereka.

"I'm sorry telah mengejutkan tadi.." suaranya nampak canggung dalam bahasa Indonesia. Itu si cantik, bintang panggung yang tadi memberinya mawar. Dalam cahaya yang lebih benderang, Adel menatapnya lekat-lekat. Wajahnya begitu mirip...

"Andre..." suara Adel bergetar.

"Saya Andreana..," Ia mengulurkan tangannya, tersenyum lembut menyalami Adel dan Toro. Lalu mengisahkan dengan singkat, dirinya adalah saudara kembar Andre yang tinggal di paris bersama adik ayah Andre sejak lahir. Karena seperti kebiasaan orang dahulu, saudara kembar yang lahir sepasang harus dipisahkan jauh.. Ketika Andre mendapat beasiswa balet, Andreana telah setahun lebih dulu berada di sekolah yang sama.

"Andre luar biasa, saya tak pernah melihat seorang yang berjuang keras mencapai cita-citanya dengan motivasi sebesar itu. Dia selalu mengingatmu, Mademosaile. Di kamarnya terpampang tulisan Adel 4 Andre. Dia seperti tak pernah kehabisan tenaga. Sampai.."

"Kalau ia mengingatku, kenapa ia tak pernah membalas pesanku?" Adel memotong dengan perasaan galau.

"Mademosaile, dia bekerja paruh waktu, agar bisa mengumpulkan cukup uang. Ia ingin melamarmu begitu ia selesai, dan membawamu berkeliling dunia bersama pertunjukkannya, seperti cita-cita kalian dulu.. Hingga ia tak memperhatikan kesehatannya dan jatuh sakit. Ia dirawat selama dua pekan dengan diagnosis liver. Tapi....", Andreana menghela nafasnya panjang,"Andre ternyata pernah melakukan donor darah di blackmarket, dan jarumnya tidak steril. Ia terinveksi HIV". Mata Adel terasa berkunang-kunang.

"HIV itu yang membuat penyakitnya parah. Beberapa kali ia keluar masuk rumah sakit. Sampai ia tak lagi mampu bertahan. Ia memilih pergi setahun yang lalu, dan menitipkan beberapa karya pada saya. Terutama sebuah pesan, jika saya melakukan pertunjukan di Indonesia, saya harus mencarimu, dan mempersembahkan "Balade Pour My Adeline" ini pertama kali, sesempurna mungkin untukmu, seperti janjinya dulu.."

"Andre tak ingin Adel tahu ia sakit, tak ingin Adel menghawatirkannya. Ia ingin Adel melupakannya dan memulai hidup baru Adel dengan bahagia, sebab ia tahu hidupnya takkan cukup lama untuk membahagiakan Adel.. Karenanya ia tak pernah membalas semua pesanmu. Tapi ia selalu menyimpannya. Semuanya. Hingga pesanmu yang terakhir kau kirim. Andre memujamu seperti Aprodite memuja Ares. Seperti Amor memuja panah-panahnya."

Adelina tak mampu lagi menatapnya. Toro memeluk gadisnya erat. Ia tahu hatinya berkeping-keping. Tapi hanya ia sekarang yang bisa menguatkan Adel.

Andreana mengulurkan sebuah kotak berbentuk mawar.

"Ini pesan terakhirnya"

Bergetar Adelina membuka kotak itu. Sepasang cincin. Ada namanya di salah satu cincin itu, cincin satunya tak bernama.

"Andre memesan cincin ini sebelum sakit. Ia menggores sendiri namamu dengan tangannya. Cincin satunya lagi, untuk orang yang beruntung bersamamu. Ia ingin menitipkan wanita yang akan terus dicintainya sampai kapanpun. Tolong jangan ditolak, saya tak tahu harus bagaimana kalau ini sampai Adel tolak.." Air mata Andreana telah melunturkan sebagian maskaranya. Nampak sedikit menakutkan, namun ia tetap nampak cantik sekali.

Andreana melakukan salam takjim balet dengan Anggun. Lalu menyalami Toro. Ia mula-mula nampak ragu memeluk Adel, namun segera mengecup pipinya perlahan.

"Terimakasih, sekarang Andre pasti bahagia, karena tahu Adel akan bahagia". Nampak butiran bening mengalir di wajah cantik yang tersenyum itu, sebelum berlalu ke balik panggung.

"Andreana..terimakasih..," Adel tergagap. Andreana membalas dengan lambaian tanpa membalikkantubuhnya.

Balade Pour AdelineWhere stories live. Discover now