Krist

1K 139 28
                                    

"Oh baby, who are you?"

.

.

.

Krist menatap wajah Sea yang sudah terlelap. Dasar anak nakal. Sea yang belum makan sejak pagi langsung menghabiskan dua porsi makan sekaligus. Krist tersenyum tulus. Sea hanyalah seorang gadis remaja yang membutuhkan perhatian. Walaupun Krist yakin dengan sangat bahwa Singto pasti akan melakukan apapun untuk membahagiakan Sea.

Saat melihatnya tadi Sea langsung mencurahkan isi hatinya. Tanpa sadar Krist juga ikut menangis. Ungkapan hati Sea sangat menyayat hati. Krist mengusap rambut Sea pelan, entah sejak kapan Sea sudah mencuri hatinya. Krist seperti mendapatkan adik perempuan yang tidak pernah ia miliki.

Singto memerhatikan Krist sejak tadi di ambang pintu kamar Sea. Singto tidak bisa berbohong, ia juga ikut menangis tadi. Ia sedih sekaligus bahagia. Sedih mendengar segala ungkapan Sea yang sedikit banyak sama dengan yang selama ini ia pendam. Namun Singto juga bahagia. Bahagia sekali. Kehadiran Krist mampu membuat Sea tersenyum kembali. Semua itu cukup bagi Singto. kebahagiaan Sea adalah kebahagiaannya. Singto tidak berharap banyak dari semesta, ia hanya ingin adiknya sehat dan selalu tersenyum.

"Krist?" panggil Singto.

Krist menoleh, mendapati Singto berdiri tidak jauh darinya.

"Bisakah kau ikut aku?"

Krist mengangguk, menoleh pada Sea lantas beranjak mengikuti Singto.

***

Singto mengajak Krist duduk di balkon rumahnya. Singto duduk sambil menatap bulan dan bintang yang sedang bersinar terang malam itu. Entahlah, menurut Singto, langit lebih mudah dihadapi daripada wajah manis pemuda di sebelahnya.

Tidak sopan rasanya jika berbicara tanpa melihat lawan bicaramu. Singto mencoba menatap Krist yang duduk di sampingnya, "Terimakasih, Krist."

Krist yang sejak tadi terpesona dengan pemandangan di depannya, menoleh pada Singto. Senyumnya muncul,"Aku tidak melakukan apapun."

Singto menggeleng, "Tidak. Aku sangat berterimakasih kau mau menemui Sea. Terimakasih telah membuatnya tersenyum."

Krist tersenyum lagi,"Kau tahu? Sea tidak benar-benar marah padamu. Ia hanya ingin terus kau perhatikan. Mungkin Sea tidak pandai mengatakan apa yang ia inginkan."

"Aku paham. Aku selalu mencoba untuk menemaninya. Aku selalu mencoba untuk ada di sampingnya saat ia membutuhkanku. Tapi yang kemarin itu, memang jelas salahku." Singto mengusap wajahnya penat. Lalu menghembuskan napasnya panjang.

Krist merasakan sedih yang ia sendiri tidak bisa jelaskan. Lelaki yang selalu berusaha kuat di depan semua orang sekarang sedang mengeluh padanya. Tangan Krist terulur menyentuh lengan Singto. Tidak tega melihat Singto seperti itu.

Singto terkesiap merasakan lengannya disentuh oleh Krist. Pandangannya beradu dengan Krist yang menatapnya dengan tulus. Ah, mata itu. Singto merasakan tenang. Kegundahannya seperti lenyap begitu ia menatap mata cokelat di hadapannya.

"Kau hanya harus lebih mendengarkannya, kan?" Krist berujar dengan lembut.

Singto tidak menjawab, terlebih tidak bisa. Singto masih menikmati kegiatannya, menatap mata Krist yang menenangkan.

"Singto?"

Singto mengerjap seperti tersadar, "Ah, ya?" Singto melihat pada jam di tangannya. "Ini sudah larut. Sebaiknya kau pulang. Ayo, kuantar." Singto sudah beranjak dari duduknya.

"Tidak. Aku bisa pulang sendiri," Krist serta merta menolak namun Singto sudah tidak mendengar. Krist menghela napas panjang. Kalau sudah begini, ia harus kembali merasakan jantungnya berdentum-dentum dengan keras untuk kesekian kalinya.

Bunga TerakhirWhere stories live. Discover now