Akar

611 63 7
                                    


"Jangan pernah menilai sesuatu sebelum kau selesai dengannya, mengenal dengan baik." ― Tere Liye, Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah.

Tabiat sibuk Singto sudah mulai berkurang. Perdebatannya dengan Krist tempo hari sedikit banyak berdampak. Saat pagi tiba, baik Krist maupun Singto tidak ada yang membahas perdebatan mereka semalam. Mereka sepakat untuk tidak memperpanjang karena toh Singto sudah mengerti dan Krist sudah mengatakan apa yang ia ingin katakan. Krist dan Singto bisa dikatakan baru saja bertemu sehingga masih butuh waktu untuk menyesuaikan dengan pribadi masing-masing.

Seperti pagi ini, Krist dibuat repot karena Sea dan Singto yang telat bangun. Sea teriak-teriak heboh mencari semua perlengkapan sekolahnya yang entah mengapa berceceran ke mana-mana. Sedangkan Singto sibuk berlalu lalang menyiapkan berkas-berkas yang harus dibawanya sambil mengunyah roti. Setelah memastikan Sea hanya butuh sarapan, Krist beralih membantu Singto memakai dasi. Kesibukan yang hanya akan terjadi di pagi hari.

Setelah Singto dan Sea berangkat, baru lah Krist bisa mengambil napas lega sejenak. Terkadang Krist heran, perannya di rumah ini seperti seorang istri dan juga seorang ibu. Tapi Krist tentu saja tidak keberatan.

Sesekali Krist merenung. Ia belum terbiasa dengan kebahagiaan yang begitu melengkapinya seperti ini. Sekali dua bahkan Krist sering merasa ia belum pantas mendampingi Singto dengan segala kesempurnaannya. Krist hanya dapat mendoakan yang terbaik untuk ke depannya dan melakukan apa yang bisa ia lakukan.

Krist tidak pernah mengeluh, dulu atau sekarang. Semua hal yang terjadi pada dirinya selalu ia jadikan pelajaran. Krist menganggap tidak ada hal yang tidak berguna, semua pasti mengajarkan sesuatu penting. Tidak jarang Krist putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya tapi itu semua bukan penyelesaian menurutnya.

Krist menghela napas lagi. Sudah cukup untuk lamunan saat ini. Masih banyak pekerjaan yang menanti.

...

"Tapi Singto, kau harus memikirkan resiko ini. Jangan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan," Maprang menyela dengan jengkel, ia adalah teman kuliah sekaligus bawahan Singto. Di dalam Prachaya Company memang banyak karyawan yang dulunya adalah teman seperkuliahan Singto. Dulu saat Prachaya Company di masa keterpurukannya, teman-teman Singto memutuskan untuk membantu Singto bangkit, tidak meninggalkannya sendiri. Sehingga tidak asing jika mereka masih memanggil Singto dengan hanya namanya saja tanpa embel-embel yang lebih formal.

Em—rekan kerja Maprang—membalas,"Lalu apa solusi dari timmu, Maprang? Yang kau lakukan hanya menolak, kau tahu?" Maprang menatap Em sengit. Siap melontarkan bantahan lagi.

Singto memijat dahinya, ia sudah melangsungkan rapat selama tiga jam tapi belum ada solusi dari permasalahan yang mereka hadapi. Seorang kompetitor sedang menekan perusahaannya besar-besaran. Salah langkah sedikit saja, Singto akan rugi besar.

"Tanpa bermaksud ingin membuat kalian kesusahan tapi iya, teman-teman. Proyek ini sangat penting untuk perusahaan kita selama beberapa bulan ke depan," sahut May seorang manager yang berada di bawah Singto langsung.

Singto beralih menatap Ice, meminta pendapatnya yang sejak tadi diam.

"Saya rasa, kita memang harus mencari tahu lebih banyak kurang dan lebih dalam proyek ini. Jangan sampai ketika kita menerimanya lalu menimbulkan kerugian." Ice berujar kalem. Sikap ini yang membuat Singto bertahan menjadikan Ice sebagai sekretaris pribadinya. Ice tidak akan banyak bertanya, ia akan memahami dulu. Ice punya caranya tersendiri untuk membantu Singto, termasuk memata-matai Krist beberapa waktu lalu.

Singto mengangguk,"Baik, Maprang, kau selidiki biaya yang mereka sediakan. Minta mereka jelaskan secara rinci keuntungan yang mereka tawarkan, laporkan padaku tujuh hari dari sekarang. Em, kau periksa SDM yang tersedia untuk mengerjakan proyek ini, sesuaikan dengan lama proyek ini berlangsung."

Bunga TerakhirWhere stories live. Discover now