Patah

665 83 13
                                    


Note: untuk membaca chapter ini, tolong sambil dengerin lagu Wheein - With my tears ya? ini aku sertakan linknya, selamat membaca :) 

"The heart was made to be broken." – Oscar Wilde.

Sekian hari terlewati, tidak pernah sekali pun Singto bercerita kembali tentang Praepailin. Krist tidak akan pernah menyinggung, mungkin lebih baik memang tidak diucapkan. Krist menghargai Singto maupun masa lalunya. Tapi hanya sampai itu saja, jika Singto tidak membahasnya maka tidak ada alasan bagi Krist untuk bertanya.

Intensitas kesibukan Singto yang semakin bertambah membuat keduanya jarang bercengkrama seperti biasa. Krist bahkan menghitung, ini sudah tiga hari sejak dirinya melihat Singto. Singto begitu sibuk sampai terkadang membawa baju cadangan dan tidak pulang ke rumah. Krist bersyukur, Sea memahami keadaan Singto sehingga tidak banyak bertanya.

"Krist!" panggil seorang rekan kerjanya. Krist segera tersadar dan menggelengkan kepala. Ia sedang bekerja, seharusnya pikiran-pikiran buruk tidak boleh mengganggunya.

Krist melambaikan tangan saat seorang pengunjung yang ternyata adalah Darvid masuk dari pintu cafe. Krist segera menghampiri dan menanyakan pesanannya. Darvid sudah ia anggap sebagai seorang teman sehingga Krist sudah tidak begitu canggung walapun tentu saja ia harus tetap bersikap sopan.

"Hari ini kau harus menjemput Sea?" tanya Darvid saat Krist kembali dengan membawa makanan. Krist menggeleng, hari ini ia bisa pulang dengan sedikit santai karena Sea akan belajar kelompok di rumah seorang teman.

"Bagaimana kalau kita pulang bersama?" tawar Darvid.

Melihat Krist yang sedang bingung menimbang, Darvid melanjutkan lagi,"Aku harus membeli kado untuk adik perempuanku dan aku butuh bantuanmu, Krist."

Setelah dibujuk sekian kali akhirnya Krist menyetujui. Dengan anggapan ia juga bisa membelikan sesuatu untuk Sea. Sayangnya Krist keliru. Ia tidak menyadari seringai licik yang hadir pada wajah Darvid.

***

Singto menghela napasnya lelah. Hari ini sangat berat untuknya. Walaupun ia memiliki karyawan yang siap membantu, tetapi sebagai pimpinan utama, Singto harus mengawasi segalanya. Singto dibuat pusing dengan rencana waktu kerja yang nyaris mencapai batas tapi pekerjaan bahkan belum selesai setengahnya. Belum lagi kehadiran Praepailin yang tidak cukup mengintimidasinya, Praepailin juga terus mendesak Singto dan mendampratnya karena tidak tegas.

Singto tidak pernah merasa selemah ini. Dua hari yang lalu ia mengutarakan pendapatnya untuk mundur dari proyek. Tentu saja Singto langsung dimaki habis-habisan oleh teman-temannya. Mereka sampai menyinggung tentang masa lalunya, berpikir bahwa Singto menjadi lemah karena kehadiran Praepailin. Singto diam saja, tidak menyetujui atau membantah. Tapi teman-temannya sudah memastikan bahwa Singto tidak akan menarik diri dari proyek dan akan terus menyelesaikannya sampai selesai.

Singto menoleh ke arah pintu ruangannya yang terbuka, Praepailin hadir dengan dua kotak makan di tangannya. Singto tersenyum dan duduk di hadapan Praepailin. Singto lupa kapan terakhir kali ia makan siang dengan benar.

"Maafkan aku, Singto." Praepailin membuka suara setelah keheningan melanda mereka sekian menit. Singto tidak menjawab, ia mempersilahkan Praepailin untuk melanjutkan omongannya.

"Maaf karena aku mendesakmu terus menerus. Aku hanya gemas, kau seperti bukan Singto yang kukenal,"

Singto mendengus geli,"Lalu seperti apa Singto yang kau kenal?"

Bunga TerakhirWhere stories live. Discover now