Satu demi satu

681 85 19
                                    

"Tinggalkanlah. Jika dia memang cinta sejatimu, dia akan kembali dengan cara mengagumkan." – Tere Liye, Rindu.

Sea memerhatikan Singto dalam diam. Kakaknya itu memang pandai menutupi suasana hatinya, tapi Sea paham betul bahwa Singto tidak baik-baik saja. Sejak Krist pergi, suasana di rumah menjadi dingin. Tidak ada lagi canda dan tawa seperti biasa. Atau mungkin memang keadaan 'biasa' seharusnya seperti ini.

Dulu saat Praepailin meninggalkan Singto, Sea melakukan berbagai cara agar Singto tidak sedih. Sea memaksa Singto untuk terus bersamanya, dengan harapan kakaknya itu akan berhenti memikirkan Praepailin dan berhenti bersedih. Berhasil, Singto memang tidak lagi memikirkan Praepailin. Lebih tepatnya, Singto tidak punya waktu untuk memikirkan Praepailin. Singto tidak memiliki waktu untuk dirinya bersedih.

Sea mengutuk dirinya sendiri. Ia begitu Egois. Sedih, senang, dan segala macam emosi adalah hak setiap manusia. Sea yang merubah Singto menjadi robot yang tidak pernah merasakan sedih. Seharusnya Sea paham bahwa tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja.

Sea tidak akan memihak siapapun. Ia tidak tahu dan tidak mau tahu alasan Krist dan Singto berpisah. Ia tidak akan menyalahkan Krist pun tidak akan menyalahkan Singto. Sea akan menjadi adik yang baik untuk masing-masing.

Singto sangat terpukul dengan kepergian Krist. Muka lesu dan kantung mata yang semakin mencekung terlihat jelas pada Singto. Sea tidak tahan lagi, ia mendekati Singto lalu memeluknya erat.

Mendapati adiknya yang bersikap manis, Singto tersenyum dan membalas pelukan Sea. Tidak ada kata yang keluar di antara mereka. Kakak dan adik akan saling memahami. Ketika salah satu ada yang tersakiti, maka yang lain akan merasa sakit juga. Singto dan Sea paham bahwa mereka harus saling menguatkan.

"Sea, P' tidak akan melarang jika kau ingin bertemu dengan Krist," Singto berkata pelan.

Sea melepas pelukannya, memerhatikan wajah Singto dengan lekat,"Jika dengan bertemu P'Krist akan membuat P'Sing tidak tenang, aku tidak akan melakukannya." Sea berkata dengan bijak.

Singto tersenyum dan mengusap pucuk kepala adiknya. Sea sangat pintar, ia sudah beranjak dewasa. Singto tidak perlu lagi merasa khawatir, ia memiliki Sea di hidupnya dan menurutnya itu sudah cukup.

***

"Singto, bukannya aku meragukan kinerjamu. Kau sangat profesional dan cepat tanggap akhir-akhir ini. Tapi kau terlihat seperti robot," Praepailin menatap Singto yang sedang sibuk di meja kerjanya.

Singto hanya mengangkat alisnya lalu mendengus geli. Sedikit tersentil dengan ucapan Praepailin. Singto memang memaksa dirinya untuk menjadi robot, bekerja terus menerus tanpa henti. Demi agar ia tidak terus menerus bersedih.

Praepailin menata makanan di meja tak jauh dari meja kerja Singto. Ia khawatir jika Singto akan melewatkan makan siang lagi. Maka dari itu Praepailin rela memesan banyak makanan agar Singto bisa makan dengan baik.

Singto duduk di samping Praepailin dan mulai memakan makanannya. Ia diam saja, takut Praepailin banyak bertanya. Singto hanya tidak tahu bagaimana akan menjawabnya.

"Apa ini karena Krist?"

Benar kan? Praepailin pasti akan bertanya juga. Singto menjawab, tidak terkejut,"Bagaimana kau tahu?"

"Sea menghubungiku sambil menangis. Kakaknya sedang patah hati katanya,"

Singto tertawa kecil,"Ini lebih dari patah hati, Prae."

Lalu mengalirlah cerita itu. Awal pertemuannya dengan Krist, bagaimana mereka bisa bersama, masalah yang timbul satu per satu, dan perpisahan mereka. Bahu Singto terasa ringan seiring dengan keluarnya cerita itu. Praepailin akan selalu menjadi teman diskusi yang baik bagi Singto.

Bunga TerakhirWhere stories live. Discover now