Luka Bersama

625 75 7
                                    


"Senyuman itu hanya menunda luka yang tak pernah kuduga." – Ziva Magnolya, Tak sanggup melupa.

Singto terus meninju Darvid tanpa henti. Krist di sebelahnya memohon sambil menangis, Singto tidak mendengarkan. Gerakan Singto terhenti ketika Krist memeluk punggungnya dan meminta Singto untuk berhenti sekali lagi.

Singto melihat Darvid yang nyaris kehilangan kesadarannya, terdapat darah di mana-mana hingga mengotori kemeja Singto. Dengan masih gemetar menahan emosi, Singto menghubungi Ice,"Temui aku di tempat tadi, bawa orang ini ke rumah sakit terdekat."

Setelah menghubungi Ice, Singto menarik tangan Krist menuju mobilnya. Tanpa menoleh lagi, Singto mengemudi dengan kecepatan tinggi. Krist masih terisak, ia tidak sanggup melihat Singto seperti itu.

TIN... TIN... TIN...

Singto membanting stir ke arah kanan tepat sebelum disambar oleh mobil dari arah berlawanan. Napas Singto terengah, merutuki dirinya sendiri. Singto langsung melihat pada Krist yang semakin terisak dan tampak terkejut setengah mati. Melepas seatbelt-nya, Singto memeluk Krist erat. Ia sadar jika sudah sangat berlebihan.

"Maafkan aku, Krist..."

Krist tenggelam dalam pelukan Singto. Akhirnya ia bisa merasakan pelukan ini lagi. Krist membalas pelukan Singto erat. Baik ia dan Singto sama-sama memiliki luka yang dalam. Krist mengutuk dirinya yang semakin memperparah luka itu.

Singto mengusap sayang kepala Krist. Ia tidak akan memiliki hati untuk menyakiti Krist. Singto begitu mencintai Krist. Baik ia dan Krist sama-sama memiliki luka yang dalam. Singto mengutuk dirinya yang semakin memperparah luka itu.

Setelah tenang, Singto melanjutkan perjalan menuju rumah Toota. Singto maupun Krist tidak ada yang memulai pembicaraan, mereka tenggelam pada pikiran masing-masing. Mereka juga sudah terlalu lelah untuk mengatakan apapun.

Mobil Singto berhenti tepat di depan rumah Toota. Krist menoleh pada Singto yang bersikeras menatap ke arah depan,"Kau tidak ingin menginap?"

Singto menjilat bibirnya, luar biasa tergoda dengan tawaran itu. Pikirannya berpikir keras, memikirkan segala kemungkinan. Tapi, tidak.

Singto tersenyum pada Krist, mengelus kepalanya lembut,"Tidak, Krist. Aku rasa banyak sekali hal yang harus kita pikirkan. Kita membutuhkan waktu untuk sendiri."

Krist tersenyum malu dan segera berpamitan. Ia sedikit tersinggung dengan perkataan Singto. Krist mengira bahwa ia bisa memperbaiki hubungan mereka malam ini. Tapi mungkin Singto benar, banyak sekali hal yang harus dipikirkan dengan otak yang jernih dan tentu tidak saat ini.

Singto memerhatikan Krist sampai ia masuk ke dalam rumah. Setelahnya Singto menjalankan mobilnya, pulang.

***

Jam di dinding sudah menunjukan pukul 12 malam. Sea memegang ponselnya dengan khawatir, sejak tadi Singto tidak bisa dihubungi. Tadi Sea sempat menghubungi Ice tetapi nihil, Ice juga tidak menjawab apapun.

Haruskah aku menghubungi Phi Krist? Pikir Sea berulang kali. Sea ragu, kecil kemungkinan Singto sedang bersama dengan Krist. Dan jika memang tidak, Sea hanya akan membuat Krist khawatir. Masalah bertambah.

Sea sudah mengganggu Nanon sejak tadi, meminta untuk ditemani melalui ponsel. Berhasil tapi hanya bertahan hingga lima menit yang lalu. Sekarang yang Sea dengar hanya dengkuran halus dari Nanon.

Mata Sea sudah semakin berat, ia nyaris tidak bisa bertahan. Jarum di dinding sudah bergeser, menandakan sudah lebih dari 1 jam sejak tengah malam. Sea sudah akan menghubungi Krist ketika pintu rumah terbuka, Singto muncul setelahnya.

Bunga TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang