Kopi dan Fotografi

17 7 8
                                    

Akhirnya disinilah aku bersama dengan pria asing yang baru saja kutemui. Kita duduk berhadapan. Di Tempat yang memiliki dekorasi vintage dan wifi yang koneksinya cukup bagus. Dia menatapku, tapi aku hanya fokus pada hasil jepretanku.

"Kamu fotografer?"

"Ayu hanya suka mengabadikan setiap kejadian yang Ayu lalui setiap harinya," jawabku. Masih tetap fokus pada kamera yang sedari tadi kugenggam.

"Apa arti fotografi dihidupmu?"

"Fotografi adalah jiwaku. Karena bisa menyatakan setiap kata dengan gambar. Dan membuat gambar menjadi sebuah cerita."

"Apa saya bisa menjadi objekmu?"

Belum sempat kujawab pertanyaannya. Sebuah pesanan datang. Secangkir kopi hitam dan coklat panas kesukaanku.

Kita sama-sama diam. Saling menyesap minuman masing-masing.

"Apa kamu sangat menyukai kopi?"

"Tentu."

"Apa makna kopi bagimu?"

"Kopi ibarat teman. Teman yang tidak berkhianat, tidak meninggalkan. Walau tak dapat diajak bicara, tapi bisa diajak untuk merasakan sebuah rasa yang tak terungkap oleh kata. Kopi bisa menciptakan kenyamanan yang luar biasa."

"Ternyata kamu bisa hiperbola juga, jika ditanya tentang kopi." Aku terkekeh pelan. Lalu menatapnya.

"Setelah ini bolehkah saya mengajakmu ke suatu tempat?"

"Maaf Ayu gak bisa? Bukankah Ayu udah menemanimu minum kopi disini?"

"Baiklah, mungkin dilain waktu."

"Kenapa kamu begitu yakin kita akan bertemu lagi?"

"Entahlah, saya juga tidak tahu mengapa bisa seyakin ini."

Dia ini aneh. Bagaimana mungkin orang yang baru saja bertemu, bisa yakin akan pertemuan lainnya? Keyakinan yang ada dalam dirinya membuatku merasa ada sesuatu yang tak dapat aku deskripsikan.
Dua jam kuhabiskan untuk menemaninya minum kopi dan mendengarkan segala persepsinya akan secangkir air pekat itu. Hari mulai gelap, aku pamit padanya.

"Biar saya antar kamu pulang."

"Terimakasih. Tapi Ayu rasa itu tidak perlu," ucapku sambil mengalungkan kamera.

Aku berjalan menyusuri trotoar yang cukup ramai dengan pejalan kaki. Aku merasa ada seseorang yang mengikutiku. Apa ini hanya perasaanku saja? Selama ini aku tak pernah ada yang mengikuti.

Akhirnya aku tiba di Tempat yang menjadi favoritku. Tempat sederhana, sebuah gerobak dan beberapa kursi plastik. Tapi khusus untukku ada sebuah tikar.

Mi ayam mang Ujang adalah persinggahanku kali ini. Setiap hari aku selalu makan mi ayamnya yang begitu spesial bagiku.

"Mang Ujang, Ayu pesen seperti biasa ya. Satu porsi mi ayam yang ekstra kecap sama dagingnya."

"Siap atuh neng. Tunggu sebentar nya," Jawab mang Ujang sembari mengambil tikar dari atas gerobaknya.

"Sini mang biar Ayu aja yang gelar tikernya." mang Ujang pun memberikannya padaku.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menggelarkan alas kesukaanku. Aku menunggu pesananku dengan memotret jalanan Bandung dimalam hari. Selalu indah, seperti biasanya.

Aku menoleh kebelakang ketika aku merasa ada seseorang yang ikut duduk disana. Aku pikir mang Ujang, ternyata....

"Hai, sudah saya bilang bahwa kita akan bertemu lagi."

Tak perlu aku menerka dia siapa. Siapa lagi kalo bukan laki-laki yang kutemani minum kopi.

"Kamu yang tadi ngikutin Ayu?"

"Bukan saya tapi hati saya. Bisakah kita berteman mulai hari ini?"

"Ya, udah."

"Ya, udah apanya?"

"Teman."

Pesananku datang juga. Jadi,  aku tak perlu repot-repot menjawab segala pertanyaan anehnya. Aku melahap semangkuk mi ayam tanpa peduli keberadaannya. Sedangkan dia?  Hanya menatapku.

"Kamu sering makan disini?"

"Ini tempat favorit Ayu."

"Kalo gitu ini akan menjadi tempat favorit saya juga."

"Dasar aneh."

Untuk memghabiskan satu porsi mi ayam, aku tak butuh waktu lama. Mi ayamku tandas. Aku beranjak menghampiri mang Ujang untuk membayar. Dia masih saja mengekor.

"Kamu gak pulang?"

"Mau nganterin kamu dulu."

"Ayu udah pesan grab."

"Gak papa. Saya akan mengikutimu."

Aku hanya mengerutkan kening. Merasa tak mengerti dengan pemikiran laki-laki dihadapanku ini.

"Kenapa?  Takut? Saya bukan orang jahat."

"Kamu ini kenapa aneh banget sih?"

Gojek pesananku datang, dan benar saja laki-laki itu mengekor tak jauh dariku.
Sesampainya di Rumah, aku turun kemudian membayar tarifnya. Saat aku mau membuka pintu, ada suara klakson motor yang membuatku terlonjak kaget. Aku pikir tukang gojeknya minta uang lebih. Ternyata si pria asing itu, kenapa aku melupakannya?

"Kenapa lagi?" tanyaku menghampirinya

"Saya boleh minta ID Line kamu?" aku hanya mengangguk dan menuliskan di ponselnya.

"Terimakasih."

"Sama-sama."

"Good night, Ayu."

"Iya." dia kembali menyalakan motornya, sebelum pergi dia menyempatkan tersenyum padaku. Tak sadar terbit pula lengkung di Wajahku.

Tuhan, pertemuan kita begitu aneh. Tapi aku yakin, semua yang terjadi hari ini memiliki alasan.

==============

See you next part

Winter Triangle [hiatus]Where stories live. Discover now