Canggung

7 4 3
                                    

Suara itu? Aku enggan menatapnya, pura-pura fokus dengan ponselku yang sebentar lagi mati karena lupa di cas.

"pertanyaan saya sengaja gak dijawab atau memang gak ada jawabannya?"

"Enggak."

"Enggak apa?"

Tentu saja aku gak mau jawab. Apa yang lebih memalukan dari ini? Pamit ke ruang dosen tapi nyangkut di Kantin.
Aku sudah harap-harap cemas menunggu mi ayam yang tak kunjung datang, takut pria ini akan bertanya sesuatu yang tak bisa aku jawab, LAGI.

"Ini neng pesanannya maaf lama atuh, tadi teh ngantri pisan."

"Gak papa," kataku dan langsung melahap rakus dihadapan Kalingga, tanpa malu sedikitpun.

"Bohong bikin kamu laper, ya?"

Uhuk .... Uhuk aku tersedak makanan karena mendengar pertanyaan yang menyebalkan membuat aku semakin malu saja.

Aku menarik gelas yang berisi teh. Namun, segera ditepisnya dan diganti oleh air mineral dari tangannya.

"Minumnya air putih dulu." Aku menerimanya tanpa berterima kasih. Aku masih diam. Entah kenapa aku kehilangan kata-kata.

Malu yang tadi mendera, lenyap. Tergantikan oleh seribu pertanyaaan yang membuatku berkecamuk.
Siapa perempuan tadi? Apa hubungannya dengan Kalingga? Kenapa dia berubah menjadi sangat dingin? Berbeda jika sedang bersamaku. Apakah dia sedang ada masalah dengan perempuan itu? Lalu menjadikanku sebagai pelarian?

Diam, hanya diam. Kemana kosa kata yang tak pernah habis dari mulutku? Kenapa seolah semuanya terkunci?
Mi ayamku semakin membengkak, aku hanya mengaduknya, mataku menatap mangkok yang semakin kacau isinya karena ulah tanganku.

"Kasihan mi ayamnya cuma diaduk-aduk gitu." Dia terus bersuara, sedang aku dan pikiranku berjalan terpisah.

"Mikirin apa, sih?" tanyanya. Namun, aku masih tetap bungkam.
Dia menangkup kedua pipiku memaksaku menatap netranya.

"Mata kamu kosong. Lagi mikirin apa hmm?" 

Semesta, kenapa aku tak berdaya? Apa yang terjadi pada diriku? Cemburu? Tidak ... Tidak, itu tak mungkin terjadi.

"Yu, kamu jangan diam terus. Saya bingung." Aku bangkit, meninggalkan Kalingga yang masih dengan kebingungannya.

Aku keluar setelah membayar pesananku yang pertama kali tak dihabiskan, gara-gara pikiranku yang bercabang.

Aku menuju perpustakaan, memutuskan menunggu temanku disana. Siapa tahu aku bisa tidur dulu sejenak.
Saat selangkah lagi kakiku memasuki Ruang baca yang senyap itu, tanganku ada yang menarik ke belakang membuatku terbentur pada dada bidang.

Aku menunduk. Tidak marah, tidak bertanya. Masih seperti tadi, diam.
Kebungkaman yang aku lakukan bukan tanpa alasan. Aku benar-benar takut. Takut jika Kalingga sudah memiliki pasangan dan aku hadir diantaranya. Sebelum aku tahu siapa dan apa hubungannya dengan perempuan itu. Maka,  yang bisa aku lakukan hanya diam dan mencoba menghindarinya.

Hadir sebagai perusak tak pernah terlintas dalam otakku. Menjadi orang ketiga takkan aku lakukan meski hanya dalam pikiran jahatku. Aku takut.

"Kamu kenapa?" tanyanya masih memegang erat tanganku.
"Bicara sama saya, Yu. Satu kata pun gak papa. Saya bingung jika kamu diam terus. Kamu marah? Pukul saya. Saya salah? Saya minta maaf. Saya tahu kamu bawel, jangan diam dan membuat teka-teki."

Aku melepas genggamannya. Namun, yang kurasakan semakin mengerat. Aku memberontak tapi masih diam. Dia melihatku yang kesakitan akhirnya tanganku terbebas. Aku masuk perpustakaan dan memilih bangku paling pojok.
Dia masih saja mengikutiku. Tak mengertikah aku ingin sendiri?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 11, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Winter Triangle [hiatus]Where stories live. Discover now