Langit yang Sama

16 6 1
                                    


Pagi ini hari sangat cerah. Seperti biasa aku akan berolahraga. Sudah menjadi aktivitas wajib.
Aku bersiap. Mulai dari celana training, kaos panjang dan juga air mineral.

Aku akan pergi ke Tempat olahraga di daerah Arcamanik. Lokasinya tak jauh dari Rumahku. Jadi aku hanya mengendarai sepeda saja.

Setibanya aku langsung berkeliling beberapa putaran di area yang sudah tersedia. Aku merasa butuh istirahat. Baru saja ingin menepi dibawah pohon rindang, tiba-tiba saja ada orang yang sedang lari hampir aku tabrak.

Karena menghindarinya, aku mengalihkan stang kearah lain. Alhasil, akulah yang nyusep di tanah.

"Are you okay?"

"Mana bisa Ayu baik-baik aja, sakit tahu!" Aku bangkit bersama sepedaku yang lecet dan ..... Ah sial stangnya penyok. Masa aku pulang harus jalan kaki?

"Biar saya obatin," katanya. Sambil memapahku dan mencari tempat yang teduh. Tunggu dulu!  Sepertinya aku kenal dia siapa.

Aku memandanginya, penampilannya jauh berbeda ketika pertama kali bertemu. Dia memakai celana training dan kaos putih polos. Tetap keren.

"Kenapa melihat saya seperti itu?" tanyanya sambil membersihkan bagian tubuhku yang lecet gegara tadi.

"Eh, eng ... Enggak, kok."

"Jawabnya enggak tapi gugup." Dia terkekeh sambil mengacak puncak kepalaku. Ah,  seketika aku merasa malu tapi disisi lain aku merasa nyaman dengan pria ini.

"Saya gak bawa obat merah sama plaster. Kamu tunggu disini, ya! Saya mau nyari apotek terdekat."

"Eh, gak usah. Lecet ringan doang juga. Nanti Ayu obatin di Rumah aja."

"Saya takut kalo luka itu infeksi."

"Ga, gak usah lebay deh. Ini cuma luka ringan, perih dikit mah wajar."

"Saya khawatir," ucapnya sambil memegang kedua pipiku.

Aku hanya terkekeh diperlakukan semanis ini. Kalingga mengapa kita menjadi begitu dekat?
Aku menatap matanya, teduh. Akankah sorot tajam itu menjadi candu untukku?

"Saya antar kamu pulang, Ya?" Aku hanya mengangguk.

Dia memapahku, menuju motor matic-nya. Sepedaku?  Sudah lebih dulu diambil orang bengkel. Tentunya atas dasar perintah Kalingga.

***

Sesampainya di Rumah, disambut ibuku yang cerewetnya mengalahkan reporter sepak bola.

"Kamu teh kenapa atuh? Kenapa bisa pulang dipapah seperti ini? Kamu ceroboh lagi? Cepet masuk! Aduh maaf ya anak tante ini pasti ngerepotin banget." cerocos ibuku sudah seperti mercon saja.

"Gak papa tante. Ini salah saya, kok," ujar Kalingga yang masih setia memapahku.

"Ya ampun, Ma. Anaknya kena kecelakaan bukannya dimanjain,  malah diceramahin. Ditodong pertanyaan banyak banget udah kayak wartawan aja," ucapku sambil mendudukan diri di Sofa.

"Kamu, tuh,  ya. Makin gede bukannya makin dewasa malah makin ceroboh. Tunggu mama ambil kotak obat dulu." ibuku pergi mencari kotak tempat persediaan obat.

Tinggalah aku berdua bersama Kalingga di Ruang televisi. Kita duduk bersebelahan, saling pandang.

"Maafin saya, ya? Ini gara-gara saya."

"Apaan deh, Ga. Gak ada yang salah disini. Semua terjadi gitu aja, Ayu cuma kaget tiba-tiba kamu nongol."

"Hehe makannya saya minta maaf."

Beberapa menit kemudian ibuku datang membawa kotak obat dan semangkuk air hangat.

"Kalo bawa sepeda itu hati-hati atuh kamu teh. Masih untung cuma luka ringan."

"Iya ... Maa ... Iya. Bawel ah," kataku meledek ibu sendiri. Jangan heran aku dan ibuku memang seperti ini. Tapi tak pernah kita bawa serius, kok.

"Biar saya aja yang obatinnya, tante."

"Gak papa tante aja. Dia udah sering jatuh macam anak kecil."

"Gak papa, tan. Ini juga salah saya."

"Eh, ya sudah atuh. Tante mau ke dapur dulu nyiapin makan siang. Nanti kita makan siang bareng ya, nak. Namamu siapa tadi?"

"Kalingga, tante."

"Ah iya,  nak Kalingga. Nanti kita makan siang sama-sama."

"Iya, tante." jawabnya sambil menganggukan.

Ibuku pun melenggang pergi. Datanglah makhluk tuhan paling menyebalkan. Siapa lagi kalau bukan kakakku yang tercipta super rese. Dengan wajah bangun tidurnya, masih mengenakan kaos dan celana boxer. Dasar tak tahu malu.

"Heh unyil kaki sama lutut lo kenapa?" tanyanya sambil duduk menatapku dan Kalingga yang tengah sibuk mengolesi lukaku dengan alkohol.

"Jatoh tadi pas maen sepeda."

"Cih dasar bocah, ceroboh banget. Haha pasti nyungsep 'kan lo?"

"Ih kakak apaan si?  Mandi sana, bau tahu!"

"Bawel, lo. Eh siapa nih? Pacar lo, ya?" tanyanya pada Kalingga yang kini tengah selesai dengan lukaku.

"Kenalin bang, saya Kalingga." sambil menjabat tangan kakakku.

"Eh, kok,  mau sih sama cewek unyil itu?" ucapnya sambil merangkul bahu Kalingga, dasar kakakku SKSD banget. Aku mendelik kearahnya.

Sedangkan kedua laki-laki itu hanya terkekeh.

"Ga, kamu jangan deket-deket kakakku. Dia bau,  jorok mandi. Ntar kamu ketularan lagi."

"Ngomong jangan asal nyeplos aja, dasar unyil lo." sambil melempariku bantal.

"Ish sakit! Maaaaaaa kak Rega nih usil mulu." teriakku meminta pertolongan sang ibu tercinta.

"Hobi banget ngadu lo mah. Gak asik!" Kakakku langsung berdiri meninggalkan kami dengan kedongkolannya.

Sudah menjadi kebiasaan saat weekend. Kakakku akan ada di Rumah seharian. Kita bercanda, kadang maen ke Mall. Kita ini seperti brother's goals gitu. Ya ... Inilah keluargaku. Keluarga yang tak utuh lagi. Namun, tetap hangat.

"Rumahmu hangat." Aku mendengar dia bergumam

"Eh, kenapa, Ga?" tanyaku, dan langsung memfokuskan padanya.

"Saya suka Rumah dan keluargamu."

"Hehe artinya kamu juga suka kakakku?  Ga, kamu masih normal?" tanyaku seolah serius, padahal hanya bercanda.

"Bukan itu maksud saya. Aku suka suasana Rumah yang ramai ini."

"Kalo sama aku udah suka?" tanyaku polos. Dia tersenyum kemudian mengacak puncak kepalaku.

"Sudah dari awal, sejak saya melihatmu sibuk dengan kamera."

Aku diam, menatapnya. Apa iya aku harus percaya pada cinta pada pandangan pertama?

"Suasana Rumahmu ini sangat berbanding terbalik dengan suasana Rumahku."

"Ga, kita masih punya langit yang sama untuk bercengkerama. Meski suasana rumah kita berbeda."

================

See you next part

Winter Triangle [hiatus]Where stories live. Discover now