8 - Jakarta, 2008

2.6K 349 5
                                    

Sejak dinyatakan memiliki jantung lemah, aku yang sudah protektif menjadi semakin protektif terhadap Lyra. Bunda bilang, aku bahkan bertindak seperti ayahnya. Kupikir memang seperti itu. Bukankah aku sudah berjanji kepada Oom Jo untuk menjaga putri tunggalnya, sementara beliau sendiri entah kemana. Tapi aku tak masalah, kami tak masalah.

Terutama aku, bahagia Lyra ada disini.

Memasuki sekolah dasar, aku meminta Bunda memasukkannya ke home schooling yang dikelola oleh yayasan sekolahku dulu, yang tentu saja menerima Lyra dengan tangan terbuka saat aku mengantar gadis kecil itu di hari pertamanya sekolah. Hampir sepanjang minggu, aku mengawasi kegiatannya di sekolah, memastikan tidak ada kegiatan yang memforsir tenaganya kendati semua guru disana sudah tau bagaimana kondisinya. Aku hanya ingin memastikan dengan mata kepalaku sendiri, dengan begitu aku bisa lebih tenang.

"Kakak, ayo pulang." Lyra menggandeng tanganku, menarikku berdiri.

Ini adalah akhir pekan, jam sekolahnya di hari Sabtu tidak banyak dan lebih santai. Jadi aku ingin mengajaknya jalan-jalan di PIM.

"Sekarang kita kemana?"

"PIM, mau?"

Lyra mengangguk antusias. "Asal dengan kakak."

Aku mengusak kepalanya dengan gemas. Beberapa hari lalu aku pernah dipuji secara random karena kami seperti saudara berwajah malaikat. Wajah Lyra-lah yang menurutku lebih mirip malaikat. Cantik, manis, lugu, dan ceria. Mata hijau keemasannya selalu berbinar, asal ia tidak sedih.

Sampai di PIM, aku mengajaknya ke Time Zone untuk memenangkan sebuah boneka dari mesin yang sering dikutuk banyak orang. Setelahnya, sementara ia berdiri di sebelahku dalam jarak aman, aku membuat banyak tembakan bola basket dan berhasil mendapat banyak tiket kemenangan. Aku lantas menggandengnya untuk mencoba banyak permainan sampai tiket yang kami kumpulkan cukup untuk menukar hadiah yang diinginkan Lyra.

Maka, 2 boneka berada dalam pelukannya saat ini.

"Sekarang Lyra ingin apa?"

"Pizza."

--

Aku selalu bersyukur bisa menjadi seseorang yang selalu ada untuk Lyra. Meski aku pernah berpendapat tak apa jika Oom Jo menjadi sangat sibuk. Tapi secara objektif, aku prihatin pada Lyra.

Ia tidak pernah mengenal ibu kandungnya, sementara ayah kandungnya terlalu sibuk sampai tidak pernah menemui Lyra dari terakhir ia dilahirkan. Bukankah itu jahat?

Oom Jo hanya puas ketika mendengar kabar Lyra hanya dari Ayah atau Bunda, sesekali dari aku. Lantas ia mengirim nominal yang besar untuk seluruh keperluan Lyra meski akhirnya tak pernah terpakai. Ayah lebih dari sanggup membiayai seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan berpikir bahwa ia tengah membesarkan putrinya sendiri. Jadi kami sepakat mengumpulkan semua uang untuk Lyra yang dikirim dalam 7 tahun ini ke rekening atas nama Lyra. Uang itu tak pernah terpakai sekalipun, dan tau-tau saja terkumpul dalam jumlah yang fantastis.

Aku kadang berpikir, bahwa Lyra bahagia sekalipun tanpa Oom Jo. Kamilah keluarga yang selalu ada untuknya, meski tidak ada hubungan darah. Kenangan yang melibatkan sisi emosional menjadi lebih kental dari darah.

Pada tengah malam seperti ini, saag aku mulai lelah mengerjakan tugas kuliahku dan melihat Lyra yang terlelap, pikiranku menjadi lebih kacau. Kadang aku berpikir, bahwa bahagianya Lyra ada disini dan tak akan kemana-mana. Sebab selalu ada kemungkinan jika suatu saat Lyra akan pergi, kembali kepada keluarganya yang sesungguhnya.

Aku menatap wajah lugu itu. Rasanya aku masih ingat apa yang kurasakan pertama kali 7 tahun lalu, saat melihatnya baru saja dilahirkan.

Takjub. Bagaimana bisa ada bayi secantik itu?

Aku seperti prajurit batalion satu yang siap maju andai ketenangan bayi cantik itu diusik.

Dan sekarang, untuk anak usia 7 tahun, Lyra adalah gadis kecil yang cantik. Sangat cantik. Dan bukankah kecantikan seringkali membawa bencana? Aku punya seribu asalan untuk menjadi protektif karenanya. Kadang aku punya ketakutan bahwa aku tidak bisa lagi menjaga Lyra, saat ia tumbuh semakin dewasa, saat dunia semakin kejam dan beringas, saat apapun bisa mengancamnya sewaktu-waktu.

"Kakak sayang kamu," bisikku di tengah heningnya malam.

Wajah lugunya yang damai disorot cahaya lampu tidur. Samar-samar aku melihatnya mengerjap, berusaha membuka mata.

"Kakak, , kakak, ," Ia mengigau, aku tersenyum lembut.

"Hmm, kakak disini."

Lyra meringkuk, merapat ke arahku. Sampai setengah jam kemudian, mataku mulai berat, aku memilih untuk rebahan di sebelahnya, dan membawa Lyra untuk kudekap.

--

Setelahnya, seperti sudah menjadi rutinitas, aku memastikan Lyra terlelap dengan baik saat tengah malam dan berakhir tidur di sebelahnya.

Pagi harinya, seperti saat mendapat hadiah ketika berulang tahun, adalah saat-saat terbaik yang aku punya. Melihatnya bangun tidur, dengan rambut berantakan, masih setengah mengantuk, Lyra mencoba membangunkanku. Atau kalau aku bangun lebih dulu, aku akan menyaksikannya menggeliat sampai puas, lantas membuka mata, dan ia tersenyum lebar saat mendapati aku di sampingnya.

"Pagi, kakak." Ia tersenyum lebar seraya menggosok mata untuk memfokuskan penglihatan, lalu bangkit untuk membuka tirai dan jendela. Sudah sedari kecil sekali ia melakukannya, meniru kebiasaan Bunda.

"Tidur nyenyak?" Tanyaku seadanya, meski aku tau jelas apa jawabannya. Lyra tertidur di lenganku sepanjang malam, mana mungkin aku tidak tau.

Tapi ia mengangguk ceria. "Iya, aku bahkan mimpi indah."

"Oh ya?"

"Iya. Kakak ada di mimpiku, mengayunkan ayunan yang kududuki sementara aku makan es krim."

Aku tertawa pelan. Mungkin itu terjadi saat ia mengigau menggumamkan panggilanku. "Pantas ada iler di pipimu."

Gadis kecil itu menyentuh pipi putihnya yang kemerahan, dan mendapati sesuatu telah mengering disana. Ia terkekeh, mendekat lagi ke arahku. "Kakak, nanti beli es krim ya."

Aku mengernyit, pura-pura berpikir, dan menoleh sebentar keluar jendela. "Kalau cuacanya bagus, kakak belikan. Tapi kalau terlalu terik, kakak pikir lain kali saja."

"Oke." Ia setuju. Lalu beringsut ke lemarinya, mengambil pakaian formal untuknya bersiap ke sekolah. "Kakak, hari minggu nanti, aku ingin bermain ayunan di taman dekat rumah."

Aku mengangguk. Hari minggu jadwalku kosong dari kuliah dan tugas, jadi aku bisa menemaninya bermain, seperti janjiku pada diri sendiri.

--

[]

What If - 🌐SH  Completed ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang