33 - Pergi

1.6K 233 8
                                    

Suatu sore saat aku sedang membeli susu ibu hamil di minimarket terdekat, aku mendengar 2 orang bercakap-cakap di belakangku, lebih tepatnya di rak sebelah. Awalnya aku tidak menggubris, tapi karena nama Lyra disebut-sebut, aku terpaksa mencuri dengar pembicaraan 2 orang itu.

"Lelaki yang selalu bersamanya, yang dipanggilnya kakak, aku tidak yakin mereka adalah saudara."

"Memang tidak," sahut suara yang lebih kecil. "Setauku Lyra anak tunggal. Lagipula mereka terlalu,, apa ya, kupikir interaksi mereka terlalu intens dan lebih seperti pasangan."

"Lalu menurutmu, lelaki itu siapanya?"

"Masa lalunya, mungkin? Bukankah memang ada istilah 'sibling zone' untuk mereka yang sebenarnya terlibat romansa namun terjebak oleh status kakak-adik?"

"Masa lalu, , bisa jadi. Dan maksudmu, setelah Pak Cahya meninggal, mereka akan kembali sebagai pasangan kekasih?"

"Menurutku begitu," suaranya terdengar yakin. "Untuk apalagi? Lelaki itu selalu ada di sekitarnya, menempelinya seperti lintah."

"Istilahmu terlalu kasar."

"Tapi menurutku analoginya memang seperti itu. Lintah," ulangnya lagi dengan nada mencemooh. Lantas mereka tertawa pelan.

"Bukankah tindakan mereka sama sekali tidak etis? Suaminya baru saja meninggal."

"Entahlah, tapi kuakui mereka cukup bernyali untuk mengabaikan tatapan para tetangga."

"Cinta itu buta." Mereka tertawa lebih keras dengan nada mencemooh.

Dan tanpa sadar, kaleng susu yang kupegang bentuknya penyok di salah satu sisi. Napasku bergemuruh, tangan kiriku terkepal, dan aku nyaris saja membalik rak di belakangku itu kalau sebuah pikiran tidak menghantamku dengan begitu telak.

Jadi tanpa gerakan mencolok, aku segera menuju kasir untuk mengganti kaleng susu yang penyok karena cengkeramanku, dan membayar tunai dengan 20 lembar uang seratus ribuan. "Sekalian membayar belanjaan 2 perempuan itu." Aku mengendikkan dagu sedikit ke arah mereka. "Sisanya silahkan ambil. Dan kalau mereka tanya, bilang saja dari orang yang tinggal di rumah blok A-37," ujarku dingin seraya tersenyum miring.

Dan aku berlalu meninggalkan penjaga kasir yang menatapku takut.

--

Di mobil, aku mencoba mengabaikan amarah yang masih menyelubungiku dengan memikirkan permasalahan yang baru-baru ini terjadi.

Mungkinkah Lyra mendengar cemoohan ini dan menghindariku karenanya?

Karena itu?

Aku mempercepat laju mobil untuk segera sampai rumah dan memarkirkannya serampangan di carport, bergegas menemui Lyra yang sedang memetik buah tomat di halaman belakang.

Ia terperanjat melihatku yang tiba-tiba muncul di belakangnya dengan raut penuh amarah.

Aku meraih keranjang rotan kecil berisi tomat dan menarik Lyra ke dalam, mendudukannya di sofa ruang keluarga sementara aku berdiri di hadapannya dengan mengintimidasi. Aku tidak bermaksud seperti itu, tapi aku membutuhkan jawabannya dengan cepat. "Kamu menjauhi kakak bukan karena masalah terlalu merepotkan, kan?"

Lyra tergeragap, menggeleng dengan maksud menyanggah.

Menyadari Lyra ketakutan oleh sikapku yang tidak biasanya, aku menghela napas panjang beberapa kali, berusaha menguasai diriku sendiri, dan duduk di sebelahnya. Ketika Lyra beranjak mundur untuk menjauh, aku menahannya, membawanya semakin dekat sampai aku bisa melihat manik hijau keemasannya dari dekat. Binar yang masih dipenuhi keterkejutan dan ketakutan. "Kakak minta maaf, kakak tidak bermaksud marah," ujarku pelan. "Kakak hanya ingin kamu menjawab jujur. Kenapa kamu menghindar dari kakak?"

Lyra menatap ke arah lain, sebisa mungkin menghindari tatapanku.

"Ucapan para tetangga, , kamu mendengarnya?"

Lyra masih diam, dan itu cukup untukku.

"Kakak sudah mendengarnya."

Lyra menatapku, tampak sedih karenanya.

Aku meraih tangan Lyra dan menggenggamnya lembut. "Kakak tidak akan meminta kamu untuk tidak mendengar mereka saat kenyataannya kita memiliki telinga," ujarku mengawali. "Kakak juga tidak akan pergi dan meninggalkan kamu menghadapi semua itu sendirian. Pun juga kakak tidak akan terus diam disini dan membuat situasi semakin parah. Kita akan sama-sama pergi dari sini."

Lyra masih menatapku, aku sangat mengenalnya untuk tau bahwa sekarang ia tampak kaget.

Aku tersenyum lembut agar Lyra tidak lagi takut ataupun ragu. "Memang tidak tepat kalau kita meninggalkan situasi dalam keadaan tidak baik. Tapi dengan adanya kejadian ini, kakak tau bahwa ini waktunya kamu ikut bersama kakak. Toh kakak tetap akan mengajakmu pergi, cepat atau lambat."

"Tapi aku tidak mau menyusahkan kakak lebih jauh lagi."

"Jangan pernah berpikir kalau kamu menyusahkan kakak. Kamu, , berarti banyak hal untuk kakak." Aku memeluknya seperti yang sering kulakukan, agar ia percaya bahwa memang ini yang aku inginkan. "Kakak akan melakukan yang terbaik yang kakak bisa."

"Terima kasih," bisiknya, terdengar rapuh dan putus asa. Rupanya berita duka itu belum cukup untuk menghantam Lyra, dan para tetangga itu memperburuk keadaan dengan gosip mereka.

"Jadi kamu akan ikut kakak, oke?"

Lyra mengangguk pelan, ia meringkuk dalam pelukanku, bersandar pada tempat ia selalu melakukannya dulu.

Bersandarlah, kamu tidak perlu berdiri setegar itu. Kakak ada disini.

"Dan mungkin kita tidak akan sempat bermain layang-layang di Tanah Lot," ujarku sambil menahan senyum oleh situasi yang mulai mendapat pencerahan ini. "Sebagai gantinya, kita mungkin akan memainkannya di tempat yang sangat kamu sukai."

Lyra mendongak tanpa melepaskan diri. "Lalu dimana?"

"Lembang."

Dan senyumnya yang tulus terukir begitu saja, membuatku mendapatkan lagi semangat untuk menyelesaikan semua masalah yang menunggu.

--

[]

What If - 🌐SH  Completed ✔Where stories live. Discover now