11 - Jakarta, 2011

2.2K 356 15
                                    

Pikiranku hanyut dalam hitungan aljabar dan persamaan linear bangunan, jemariku masih mengetik dengan lancar saat sebuah panggilan masuk ke ponselku. Aku menggeser ikon hijau pada ponsel layar sentuh dengan kening berkerut saat tau bahwa panggilan itu berasal dari Lyra.

"Halo?"

"Kakak, ," Gadis kecil itu bersuara, seperti bisikan, dan seperti mencicit ketakutan.

Aku mengubah posisi dudukku menjadi lebih tegak dan berusaha untuk terdengar tenang, tak ingin membuatnya semakin takut. "Ada apa, Lyra?"

"Aku, , jatuh. Kakiku sakit sekali."

Aku menatap jam di dinding kafetaria kampus, menutup semua buku dan jurnalku dengan tangan kiri yang tidak memegang telepon. "Sekarang kamu dimana?"

"Di jalan kecil, di belakang bangunan sekolah. Dekat pertokoan."

Aku memejamkan mata sejenak, berusaha menghalau rasa panik yang tiba-tiba datang. "Ada siapa disana?"

"Tidak ada siapa-siapa, tokonya sepi." Lalu ia mulai terisak. "Kakak, aku takut."

"Lyra, dengar kakak." Suara di seberang mencicit pelan. "Tunggu kakak disana, jangan terima pertolongan dari orang lain, jangan mau diajak siapapun. Hanya tunggu kakak, dan kalau ada apa-apa, teriak sekencang mungkin."

"Iya, ,"

"Jangan menangis, kakak kesana sekarang. Kakak tutup teleponnya." Aku menaruh ponsel serampangan, membereskan susunan skripsi yang baru kuketik, dan berlalu menuju mobil dengan bawaan yang begitu berat. Langkahku tergesa, sampai Kyuhyun Marangga yang berpapasan denganku mengernyit heran. Aku bahkan mengabaikan panggilan Yoona Aksara dan memaki saat nyaris tersandung. Bayanganku soal situasi yang dihadapi Lyra membuatku kalut. Gang itu memang sepi, dan akhir-akhir ini sedang marak penculikan.

Sialan!

Apa yang dilakukannya di gang itu, sampai sesore ini dan bukannya pulang ke rumah dengan mobil jemputan?

Aku mengemudikan mobilku menuju tempat yang dijelaskan Lyra, dan memarkirkannya di depan jalan besar. Mobil CRV-ku yang memiliki bodi bongsor tidak bisa memasuki gang kecil itu, sedan pun tidak. Paling jauh hanya bajaj. Jadi aku berlari di sepanjang gang yang kuingat, sementara ponselku berusaha menghubungi Lyra. Sialnya, tak ada jawaban dari seberang. Hari mulai gelap, dan aku mulai kalut.

Gang ini sepi sekali!

"Tidak!"

Langkahku terhenti, berusaha menajamkan pendengaran dalam gang sepi dan gelap ini. Kalau aku tidak salah, suara Lyra, ,

"Aku tidak mau!"

Napasku memburu karena panik. "LYRA!"

"Kakak!"

Aku berlari lagi, memeriksa setiap anak gang yang kulewati, dan berakhir hampir di ujung gang, tempat Lyra terduduk di tepi jalan dan 2 orang pemuda berpakaian berantakan  berdiri di hadapannya.

"Jauh-jauh darinya," ujarku dingin.

2 orang itu berbalik, senyum di wajah mereka lenyap saat melihatku. "Tenang, dude, kami hanya ingin membantunya."

"Dan memaksanya?" Aku melangkah maju, menyadari bahwa 2 pemuda itu tingginya hanya sekitar bahuku.

Mereka akhirnya beringsut mundur saat menyadari bahwa aku tak menerima perdamaian dalam bentuk apapun dari mereka, dan siap maju kalau mereka justru melawanku. Aku berjongkok dengan bertumpu pada satu lutut dan mengusap Lyra yang meringkuk ketakutan. 

What If - 🌐SH  Completed ✔Where stories live. Discover now