12 - Jakarta, 2012

2.2K 350 5
                                    

Tahun ini, aku wisuda, berbarengan dengan Kyuhyun Marangga dan Ramon Sihorang yang mendeklarasikan diri sebagai sahabat sehati akibat kelulusan kami yang bersamaan. Kami lulus tepat waktu, sementara sebagian teman-teman kami belum bisa lulus tahun ini, tanda-tanda akan mendapat gelar mahasiswa abadi.

Aku lulus dengan predikat summa cum laude, berhasil meraih IP tertinggi sekaligus lulusan termuda di angkatanku. Ayah dan Bunda duduk di barisan paling depan sebagai keluargaku, terharu saat aku menyampaikan pidato kelulusan dengan berwibawa dan tenang. Di akhir pidato, aku melempar senyum pada Lyra yang duduk di antara Ayah dan Bunda, dibalut gaun kasual putih tulang beraksen renda biru tua, rambutnya dikepang dan disampirkan di bahu, sebuah jepit cangkang kerang bersangga manis di sisi kepalanya, cantik sekali.

Saat sesi foto berlangsung di halaman aula kampus, Yoona Aksara datang menghampiriku. Tidak seperti wanita anggun lainnya, ia mengenakan celana jins, sepatu kets, kemeja putih tulang, dan rambut yang dikucir ekor kuda. Dengan penampilan seperti itu, tidak aneh jika ia dengan berani datang untuk menyerahkan hadiah kelulusan berupa sebuah jam tangan Alexandre Cristie edisi terbaru.

Yoona dengan tenang memperkenalkan diri pada Ayah dan Bunda, juga Lyra yang menatapnya ragu. Saat Lyra tak kunjung menyahut saat Yoona menanyakan namanya, maka aku memperkenalkannya.

"Namanya Lyra. Lyra Elizabeth Park."

Yoona menatap takjub ke arah Lyra. Mata hijau keemasan gadis kecil itu memukau saat berada di luar ruangan dengan sinar terik. "Nama yang indah."

"Kak Faro yang memberiku nama," sahutnya. Lyra beringsut ke arahku dan aku langsung merangkulnya.

Yoona terkekeh ringan, menatap Lyra seperti gadis kecil ini adalah boneka cantik yang menggemaskan. Beberapa saat bertukar cerita dengan Ayah dan Bunda -Yoona menyerah saat Lyra tak banyak bereaksi saat diajak bicara-, Yoona akhirnya pamit.

Menyisakan Ayah dan Bunda yang tersenyum penuh arti ke arahku. "Gadis yang spesial kan?"

"Siapa?" Tanyaku acuh.

"Tentu saja Yoona Aksara."

Sebelum Ayah dan Bunda berbicara yang aneh-aneh mengenai aku dan Yoona, aku mengalihkan pembicaraan, bahwa aku lapar berat. Ayah dan Bunda sudah memesan rumah makan, berjalan lebih dulu di hadapanku.

"Sayang sekali Yoona buru-buru, padahal ia bisa makan siang bersama kita," ujar Bunda seraya menoleh, tersenyum usil ke arahku.

Tapi aku tak menyahut, hanya berjalan terus menuju mobil Ayah sembari merangkul Lyra. Pada saat itu, aku merasakan tangan kecil Lyra yang hangat menggandeng tanganku. Aku menoleh ke arahnya, mendapati raut lugunya yang cantik membuatku lupa pada banyak hal.

--

Di tahun yang sama, aku akhirnya diterima bekerja di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala pengawas pembangunan. Lyra berada di tahun terakhirnya sekolah dasar, sedang sibuk-sibuknya belajar karena katanya ingin jadi lulusan terbaik sepertiku.

Tapi tetap saja, aku melarangnya dengan keras kalau sampai kelelahan. Tubuhnya tidak sekuat seorang anak pada umumnya, maka dari itu aku yang justru harus menghentikannya belajar jika sudah larut malam.

Beberapa waktu lalu, ia pernah mimisan ketika belajar sampai larut demi mendapat nilai sempurna di pelajaran Sains. Yang bisa kulakukan adalah menegurnya agar ia memperhatikan kesehatannya.

"Kakak, bagaimana membedakan 'vertikal' dan 'horizontal'?" Lyra membuka pintu kamar tamu yang kini dialih fungsikan menjadi ruang kerjaku. Kasur lateks ukuran 2 orang dewasa sudah dipindah ke kamar pembantu di bawah, berikut lemarinya yang diganti dengan kaninet kaca tinggi tempat beragam buku, jurnal, majalah, ensiklopedi, dan berkas kantor yang biasa kubawa pulang. Satu sofa 2 dudukan terletak di depan rak kaca, membelakanginya. Di sisi lain ruangan, meja gambar arsitekku sejak jaman kuliah berdiri anggun di tempatnya, dengan sorotan cahaya lampu kuning. Dari meja kerjaku berada, aku bisa mengamati desain garapanku di kertas kalkir di meja gambar itu, kadang memberiku inspirasi lanjutan jika sedang buntu.

Atensiku terarah sepenuh pada Lyra saat ia berdiri di sebelahku, dengan buku terbentang dan raut bingung. "Garis vertikal itu bagaimana? Aku bingung membedakannya dengan garis horizontal."

Aku tersenyum, meraih tangan kanan Lyra dan menaruhnya di atas cetak biru bangunan yang sedang kupelajari. "Hitunglah ada berapa suku kata dalam 'vertikal'."

Lyra menggerakkan jemarinya. "Ver-ti-kal. 3 suku kata."

"Maka ver-ti-kal sama dengan ber-di-ri. Mereka memiliki 3 suku kata juga. Paham?"

Lyra mengangguk patuh.

"Lalu ada berapa suku kata dalam horizontal?"

Lyra kembali menggerakkan jemarinya. "Ho-ri-zon-tal. 4 suku kata."

"Maka ho-ri-zon-tal sama dengan ka-nan-ki-ri. Mereka punya 4 suku kata."

Bak baru saja mendapat hadiah super besar, wajah Lyra menjadi sumringah. Ia malah menutup bukunya, dan duduk di pangkuanku, mengamati interior ruang kerjaku dengan seksama. Lantas tatapannya berhenti di jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku. "Ini, , bukankah pemberian teman kakak saat wisuda dulu?"

Aku mengangguk tanpa suara.

Karena Lyra membelakangiku, ia akhirnya menoleh untuk mendapat jawaban. "Dari teman kakak saat wisuda?" Tanyanya lagi.

Aku mengangguk, dan binar matanya menjadi redup. "Ada apa?"

"Aku lebih suka kalau kakak memakai jam tangan yang biasanya."

"Yang ini?" Aku mengeluarkan Daniel Wellington dengan hand band kulit dan menunjukannya pada Lyra.

"Iya." Tentu saja, di antara koleksi jam tanganku, favorit Lyra adalah yang ini.

Aku tersenyum pada wajahnya yang secerah purnama. "Kalau begitu, kamu yang menggantikannya."

Sejak malam Lyra melepaskan jam tangan dari Yoona Aksara dan menggantinya dengan yang biasa kupakai, aku mendapati kenyataan bahwa apapun pendapat Lyra jadi begitu penting untukku. Ia jadi begitu senang saat aku memintanya memilihkan kemeja mana yang sebaiknya kupakai kerja hari itu.

Meski demikian, bukan kemejanya yang penting untukku. Tapi ekspresi bahagianya, saat mendapati bahwa setiap pendapatnya jadi begitu berarti.

Bahwa aku menemukan cara baru untuk membuatnya tertawa senang. Cara yang lebih kompleks dibanding sekedar memberinya boneka atau anting-anting, atau gula kapas, atau mengajaknya pergi ke tempat bermain.

Caranya tersenyum senang setiap aku meminta pendapatnya, membuatku berpikir bahwa ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ingin kutukar dengan apapun.

Sesederhana itu.

--

[]

What If - 🌐SH  Completed ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang