48 - Dilemma

1.5K 210 5
                                    

Lyra baru selesai menegak susu hamilnya saat aku baru selesai mandi. Rambutku masih basah karena keramas dan aku tidak berniat mengeringkannya sebab terasa segar di kepala. Namun Lyra tidak bisa mendiamkannya begitu saja. Ia menyuruhku duduk di sofa sementara tangannya bergerak mengeringkan rambutku dengan handuk kecil.

"Jangan sampai kering," pintaku.

"Kenapa?"

"Biar segar di kepala."

"Oke, setidaknya tidak sampai ada air menetes."

Aku diam sementara Lyra mengusak rambutku dengan handuk kecil. Hari di luar sudah sore, matahari sudah hampir tidak terlihat di antara hutan beton Jakarta namun cahayanya masih menerangi sebagian wilayah Jakarta. Aku menatap Lyra di sela kesibukannya mengusak rambutku dan tertegun. Kenapa wajahnya bisa tampak sesabar dan selembut itu?

"Nah, sudah." Lyra mengusap rambutku dengan tangannya, sesekali tersenyum untuk membalas tatapanku.

"Kamu bosan di rumah?"

Tanpa pikir panjang ia mengangguk. "Aku benar-benar bosan karena kakak tidak membolehkanku keluar."

"Maaf, kakak hanya tidak ingin terjadi sesuatu sama kamu." Aku menariknya duduk di pangkuanku, seperti yang suka kulakukan kalau Lyra harus duduk di dekatku. "Tapi hari ini kakak terpikir agar kita menghabiskan sisa hari di luar. Bagaimana?"

"Aku mau!"

Aku terkekeh pelan, menatap Lyra dengan lembut. "Kamu mau kemana?"

"Pantai."

"Menjelang malam begini?" Aku menaikkan sebelah alisku, memikirkan apakah sebaiknya kami ke pantai atau tidak.

"Tidak usah pantai. Bagaimana kalau ke Puncak? Aku ingin sekali kesana," ujarnya penuh harap. Manik hijau keemasannya menatapku, memohon, layaknya puppies yang ingin diajak main. Menggemaskan sekali. "Kakak tidak perlu khawatir. Bukankah ke Puncak tidak jauh beda ketika kita di Lembang?"

"Oke, kita ke puncak," putusku ringan. Aku memang ingin mengajaknya keluar, menikmati hari di suatu tempat yang dingin. "Pakai jaket dan syal, juga topi hangat."

Lyra mengiyakan. Aku masih memegangi tangannya saat ia berusaha berdiri, gerakannya yang kelewat semangat sempat membuatku khawatir. Apalagi perutnya sudah mulai terlihat berat.

"Hati-hati," tegurku sembari mengikuti langkahnya ke kamar untuk bersiap. Begitu tiba di depan lemari, ia tampak bingung berdiri di depan deretan pakaiannnya yang digantung. "Kita menginap tidak?"

Aku memeluknya dari belakang, menyandarkan dagu di bahunya, dan berujar pelan, "Kamu mau menginap atau tidak?"

"Mau."

"Kalau begitu bawalah pakaian sebanyak yang kamu perlukan."

Lyra lantas memilah jaket tebal yang akan ia pakai, ia kemudian meraih 2 blouse, 2 celana panjang katun, sepasang baju tidur, sepasang kaus kaki, syal, dan beberapa pasang pakaian dalam. Untuk yang terakhir ini, Lyra sempat menyuruhku tutup mata.

"Sudah?"

"Hmm."

Saat aku membuka mata, Lyra segera melepaskan diri dari kukungan lenganku dan menaruh pakaian-pakaiannya di kasur, siap dimasukkan ke dalam tas.

Aku meraih koper kecilnya, menaruh tumpukan kecil pakaian Lyra di koper, menambahkannya dengan satu kotak berisi susu dan vitamin, satu kantung peralatan mandi yang sudah disisipkan bedak, dan satu kantung sepatu yang biasa dipakai bepergian. Koper kecil itu masih memiliki ruang kosong, jadi aku menambahkannya dengan 2 potong kaus Polo dan 2 potong celana santai. Aku tidak perlu mengepak banyak barang. Toh juga di mobilku selalu sedia satu stel pakaian formal, sepasang sepatu, sepasang sandal, peralatan mandi cadangan, dan sepasang pakaian santai kalau-kalau aku terjebak macet dan terpaksa menginap.

What If - 🌐SH  Completed ✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon