42 - Biarkanlah Berlalu

1.5K 240 9
                                    

Aku tidak tau kenapa semuanya harus begini.

Apa yang telah kuperjuangkan telah mengikis kesabaranku dan aku mulai lelah dengan semuanya saat Lyra tak kunjung kembali.

Aku bahkan mulai berpikir untuk menyerah, mulai berpikir bahwa semuanya percuma. Aku tidak mencari kemana Lyra pergi, atau sekedar mencari kabarnya. Aku mulai marah oleh pemikiran bahwa selama ini, akulah yang selalu memperjuangkan semuanya seorang diri, bahwa Lyra tidak pernah mengerti apa yang telah kulakukan untuknya.

Aku marah karena Lyra tidak pernah mengertiku.

Aku marah karena Lyra yang lebih mementingkan orang lain dibanding aku yang bahkan menjadikan Lyra sebagai prioritasku.

Aku marah karena Lyra yang tidak menghargai aku sama sekali.

Aku marah karena Lyra yang terus menghindar.

Aku marah karena Lyra pergi dan tak kembali.

Aku marah, dan menghabiskan waktuku di kantor untuk lembur. Aku punya segudang pekerjaan yang menumpuk untuk diselesaikan, maka aku tenggelam di dalamnya.

Tapi siang itu, aku mendapat sambungan telepon dari Dokter Haidar sementara ponselku memang kumatikan. Katanya,

"Faro, sebagai orang yang memiliki anak perempuan, saya minta kamu selesaikan masalah kamu dengan Lyra sekarang juga. Temui saya di rumah sakit."

Dan telepon ditutup begitu saja. Seperti yang sudah-sudah, lagi-lagi aku tidak akan pernah bisa mengabaikan itu, melesat ke rumah sakit dengan Lexusku dan berlari menuju ruangan Dokter Haidar. Lelaki paruh baya itu sudah menunggu disana, dengan wajah seriusnya.

"Dimana Lyra?" Tanyaku dengan napas memburu.

Tapi rupanya Dokter Haidar malah tersenyum, menyuruhku duduk. "Lyra bersama istri saya. Tapi sebelum itu, ada yang ingin saya beritau kepada kamu, tentang kisah kalian yang begitu rumit," katanya dengan suara tenang. "Maukah kamu mendengarnya?"

Meski enggan, aku menarik kursi dan duduk, menunggu dengan tidak sabar apa yang akan dikatakan beliau kepadaku.

--

"Selama ini Lyra ada di rumah saya. Hari ketika ia pergi dari apartemen kamu, Lyra datang ke rumah sakit dengan gejolak yang sudah tidak mampu ia tahan."

"Ia menemui saya disini, di tempat kamu duduk, dan menangis. Hanya menangis sampai hari beranjak siang.

"Seperti yang sudah mampu kamu tebak, Lyra tidak mengatakan apapun. Pada awalnya begitu, sampai saya meminta istri saya menemuinya."

"Pada saat itu, saya melihat sendiri, bagaimana seorang anak merindukan sosok ibu yang tak pernah dimilikinya. Lyra menangis layaknya seorang anak yang tersesat, lalu mengadu pada ibunya."

"Ceritanya lantas mengalir begitu saja. Dimulai saat ia menyadari bahwa ia memiliki perasaan yang berbeda terhadap kamu."

"Ia mulai dihantui rasa bersalah, karena mencintai orang yang seharusnya ia anggap kakak. Tapi kalian bukan saudara kandung, dan tidak ada yang salah dengan perasaan itu. Semua lantas menjadi kacau saat ia justru harus menikah dengan orang lain, di saat ia sebenarnya mencintai kamu."

"Dalam pernikahannya, ia banyak dihantui rasa bersalah yang semakin besar saat menyadari bahwa pikirannya selalu dipenuhi soal Faro, kakaknya tersayang, saat seharusnya ia bahagia dengan Cahya. Rasa bersalahnya semakin besar, dan ketika ia belum mengatasi semua itu, kecelakaan pesawat itu datang."

"Pada saat itu, dengan rasa jijiknya terhadap diri sendiri, ia bersyukur kamu datang, kembali ke hidupnya meski saat itu sedang berduka."

"Lalu kenyataan lain datang, saat ia tau kalau kamu meninggalkan pernikahan kamu demi Lyra."

"Kenyataan bahwa seseorang menyebutnya pelacur membuatnya hancur, tapi ia justru menyalahkan dirinya sendiri."

"Ia larut dalam perasaan bersalahnya, ketika kamu mengatakan kalau kamu mencintainya."

"Faro, Lyra tidak hidup dengan kemudahan seperti yang dimiliki anak seusianya. Ia dipaksa dewasa oleh keadaan, dipaksa menerima situasi yang terlalu cepat menghampiri. Ia melalui banyak kehilangan dan air mata, tapi cintanya tidak pernah surut sedikit pun."

"Untuk mencintai kamu, ia harus melewati banyak kesulitan itu."

"Ia juga memiliki perasaan itu, sama besarnya dengan yang kamu miliki. Hanya saja, rasa bersalah membuatnya hanyut terlalu jauh."

"Pada fase ini, mengertilah, Lyra butuh waktu untuk menerima semuanya."

"Saya meminta kamu kesini untuk menyelesaikan masalah kalian. Sebab saya tau, Lyra merindukan kamu."

Ucapan Dokter Haidar terngiang di benakku saat aku melangkah menuju tempat Lyra memeriksa kandungannya saat ini. Istri Dokter Haidar sudah meninggalkan Lyra disana, agar aku bisa memiliki waktu menyelesaikannya secepat mungkin.

Pintu dokter kandungan ada di depanku, sudah terbuka lebih dulu sebelum aku melakukannya, dan memperlihatkan Lyra yang tampak lelah.

Kami bertatapan sejenak tanpa kata sebelum aku membawanya ke pelukanku, erat sekali dan menghujani puncak kepalanya dengan banyak kecupan. "Kakak disini, maafkan kakak, ,"

"Kakak kenapa?" Lyra berusaha mengurai pelukanku, tapi aku tak ingin melepasnya. Merasakan bagaimana Lyra berada dalam kungkungan lenganku, membuatku sadar bahwa ia tetap gadis kecilku yang ceria dan rapuh.

"Kakak minta maaf untuk semua sikap kakak yang menyakiti kamu, terutama belakangan ini."

"Tidak, kakak tidak salah apa-apa-"

"Stt, biarkan kakak mengatakannya," potongku. "Dokter Haidar memberi tau kakak semuanya. Dan kita memang harus menyelesaikan semua ini." Saat itu, barulah aku mengurai pelukanku dan menatapnya. "Kakak mencintai kamu, dan kamu mencintai kakak. Kita bukan saudara kandung, jadi apa salahnya ketika kita saling menerima dan menghadapi semuanya bersama?"

Detak jantungku menggila ketika Lyra hanya diam dan menatapku lekat. Apa yang dilihatnya? Apa ia ingin membuatku jantungan saking penasaran pada jawabannya?

"Kakak, aku minta maaf telah banyak merepotkan kakak. Membuat banyak kekacauan dalam hidup kakak," ujarnya pelan, wajahnya sendu. "Ada banyak hal yang membuatku terus merasa bersalah, dan mengabaikan bahwa tidak seharusnya aku merasa seperti itu ketika ini adalah jalannya takdir. Kakak benar, bukankah kita hanya perlu menerima dan menghadapi semuanya bersama?"

Senyum di wajahnya mengembang, menggeser lembahyung mendung dengan awan secerah sinar matahari.

Aku akhirnya tau, Tuhan hanya ingin membimbingku untuk menyadari bahwa ada takdir indah yang menunggu setelah semua kesakitan ini.

Dan Lyra adalah jawabannya.

Aku kembali memeluknya dengan perasaan membuncah, mencium kepalanya berkali-kali, benakku dipenuhi dengan kelegaan luar biasa. Aku tertawa, nyaris menangis, ketika semua ini selesai dengan cara sederhana.

Ya Tuhan, terima kasih, ,

--

[]

What If - 🌐SH  Completed ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora