16 - Jakarta, 2016

2K 336 3
                                    

"Faro, ada baiknya kamu pulang. Belakangan ini kamu sering lembur dan itu bahaya jika kamu ditugaskan di lapangan." Minho Ariga menepuk bahuku, sementara aku masih setia dengan berkas-berkas gedung pembangunan di luar Jakarta.

Sejak 3 bulan lalu, aku dipromosikan untuk menangani proyek pembangunan di Tangerang sehingga harus lembur hampir setiap malam jika aku sedang tidak di luar kota.

Untuk apa aku pulang kalau yang kudapati hanya sepi?

Sudah setahun Lyra di Manado, dan sepertinya ia menemukan kebahagiaannya disana, di keluarganya yang sesungguhnya. Sesekali kami akan melakukan panggilan, dan itu adalah saat-saat yang paling kutunggu, ketika aku bisa mendengar suaranya dan tertawa bersama.

Tapi sudah hampir sebulan kami tidak bertukar sapa lewat telepon. Saat aku mengiriminya pesan chat, Lyra tak pernah lagi membalas, membuatku bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Kadang aku mencoba menghubunginya, ponselnya aktif, kadang yang mengangkat adalah orang lain dan mengatakan kalau Lyra sedang sibuk.

Pada saat-saat tertentu, saat aku merasa lelah oleh pekerjaanku, pikiran buruk menghantuiku, apakah Lyra menghindariku? Tapi kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?

Atau kalau kondisiku sedang tidak lelah, aku cukup optimis untuk menunggunya kembali, meski aku tak tau apa yang akan membuatnya kembali padaku. Aku bahkan tidak tau persis, kenapa aku harus menunggunya. Aku hanya, ,

,, hanya ingin Lyra kembali.

Aku menatap Minho yang sedang membereskan mejanya.

"Aku dan yang lain akan makan malam bersama besok di Hanamasa. Aku berharap kamu ikut, sudah terlalu lama kamu berkecimpung dengan berkas-berkas membosankan itu." Minho menghampiriku lagi setelah membereskan mejanya. Saat aku terlihat hendak memberikan indikasi penolakan, Minho melanjutkan, "Tidak perlu menjawab sekarang. Kamu bisa menentukannya besok."

Aku mengangguk seadanya, tersenyum pada Minho, dan teman kerjaku itu akhirnya berlalu.

Satu persatu teman-temanku pulang, mencoba menyapaku dengan ramah seperti yang dilakukan Minho tadi dan malah berakhir tersenyum canggung. Sejak dulu, aku tidak banyak berekspresi di hadapan orang-orang. Jadi yang berani mengajakku bicara dengan santai biasanya yang tidak berharap banyak soal responsku, mereka memang berniat bicara padaku dan bukannya basa-basi.

Setengah jam berlalu, tinggal aku di ruangan ini, seorang diri. Hanya lampu meja di tempatku yang masih menyala. Tapi aku sudah kehilangan minat pada berkas-berkas itu. Sebenarnya, aku tidak benar-benar mempelajarinya seperti yang selama ini dilihat orang-orang. Aku hanya berusaha mengalihkan perhatianku, meski semua itu hampir sia-sia. Karena bahkan, aku menyelipkan fotoku dan Lyra di tempat yang jarang dilihat, namun aku bisa melihatnya dengan mudah.

Aku merenggangkan punggungku dan menghampiri jendela besar di ruanganku, mengarah langsung pada keramaian Jakarta Pusat di bawah sana dari lantai 17. Ponsel di sakuku berdering, dan aku nyaris terlonjak saat nama 'Lyra' tertera di layar.

"Halo?"

"Kakak!"

Aku terkekeh karena suaranya yang ceria oleh antusias. "Kenapa baru menelepon sekarang? Kamu sibuk sekali tampaknya."

"Iya, sangat. Belakangan ini aku mempersiapkan banyak hal." Suaranya memelan.

"Mempersiapkan apa?"

"Banyak hal, keberangkatanku dan Papa, juga Oma dan Opa."

"Untuk apa? Kemana?" Aku bahkan tidak menyadari bahwa nada bicaraku terdengar antusias oleh pikiran bahwa Lyra akhirnya akan kembali ke Jakarta.

"Ke Amerika. Papa harus menjalani transplantasi jantung disana. Kondisinya memburuk beberapa bulan ini dan hampir semua dokter merujuk untuk pengobatan di Amerika." Suara Lyra terdengar ragu, seperti yang biasa dilakukannya jika ingin melakukan sesuatu dan harus meminta ijinku. "Aku tidak tau berapa lama persisnya, mungkin hitungan bulan."

Dari pantulan kaca di hadapanku, aku bisa melihat senyumku memudar, berganti dengan kehampaan yang lebih menyakitkan dari sebelumnya.

"Kakak, , tidak apa-apa kan?"

"Tentu saja kakak tidak apa-apa. Kamu harus melakukan yang terbaik untuk Papa kamu." Aku tersenyum pahit pada pantulanku, seperti menertawakan diri sendiri.

"Kakak, aku, , aku minta maaf."

"Untuk apa?"

"Karena aku jadi begitu sibuk disini."

Aku tersenyum hampa. "Kakak justru tidak akan memaafkanmu kalau kamu tidak mengurus Papa dengan baik," candaku.

Kudengar hela napas panjang di seberang sana, dan tangis! Ya Tuhan, Lyra menangis!

"Lyra, ada apa? Kenapa kamu menangis?"

Lyra menyeka air matanya, dan tertawa. "Tidak. Aku, , aku senang mendengar suara kakak."

Aku menghela napas panjang, berusaha menghalau sesak yang tiba-tiba datang. "Lyra?"

"Ya?"

Kakak rindu kamu dengan cara yang tidak bisa kakak mengerti! "Tetap jaga kesehatan disana."

"Kakak juga, jangan terlalu lama lembur dan jangan telat makan. Jangan lupa minum madu setiap bangun tidur. Jangan menyetel pendingin ruangan terlalu dingin, atau kakak akan flu. Dan juga, jangan lupa meminum vitamin yang ada di kotak obat."

Aku menunduk, menatap keramaian Jakarta Pusat di bawah sana sembari membayangkan bahwa Lyra ada di hadapanku, dalam balutan gaun tidur lengan panjangnya, rambut halus yang diurai, dan bertelanjang kaki, lalu aku akan memeluknya seerat mungkin agar ia tidak pergi lagi. "Ya."

"Kakak, Oma memanggilku. Kututup teleponnya. Selamat malam."

Sambungan diputus dari seberang. Tangan kananku terkulai, menggenggam ponsel yang tak lagi berarti.

Aku benci mengakuinya, tapi percakapan ini terasa seperti perpisahan.

--

[]

What If - 🌐SH  Completed ✔Where stories live. Discover now