eleven

243 43 1
                                    

Aku berjalan mendekat ke arah Daniel yang sedang menungguku di depan gerbang sekolah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.





Aku berjalan mendekat ke arah Daniel yang sedang menungguku di depan gerbang sekolah. Aku berlari kecil ke arahnya dan segera memeluknya. Pemuda itu juga membalas pelukanku dengan erat, "Hey, pagi," ujarnya.

"Pagi," jawabku.

Pemuda itu dengan segera menggenggam tangan kananku dan kami berdua berjalan masuk bersamaan. Jika kalian bertanya apakah kami telah berpacaran, jawabannya tidak. Daniel sudah mengajakku berkencan berkali-kali, aku masih bilang bahwa aku belum siap. Kami lebih dari teman, tapi kami tidak berpacaran. Mungkin bisa di bilang sahabat? Entahlah. Untungnya, Daniel mau mengerti apa yang kurasakan.

Pemuda ini adalah orang yang benar-benar baik padaku setelah Jonah dan Natalie. Dia tidak protes atau pun marah ketika aku menolaknya berkali-kali. Mungkin sedikit kecewa, tapi dia bisa berusaha terus memperlihatkan senyumnya untukku. Aku tahu dia sakit jika terus-terusan begini, tapi aku juga tidak bisa menerima dirinya begitu saja.

Sudah tiga bulan Corbyn pergi meninggalkanku. Rumor tentang dirinya yang berpacaran dengan Inem juga sudah di konfirmasi oleh sang gadis. Aku belum bisa melupakan pemuda itu sepenuhnya. Yang benar saja, dia adalah cinta pertamaku. Siapa yang bisa melupakan cinta pertamanya? Jawabannya, tidak ada.

Lagipula, perlakuannya padaku keterlaluan. Keterlaluan manis di awal, dan keterlaluan menyakitkan di akhir. Rasanya ingin sekali aku-

"Aduh!"

"Eh, maaf, Kak. Gak sengaja," ujar seorang pemuda yang datang menghampiri kami berdua. Ya, kepala ku terkena oleh batu, dan sepertinya pemuda ini yang melempar batu tersebut. Pemuda ini terlihat lebih muda dan aku mengenal wajahnya, "seriusan, Kak. Maaf, ya. Gak sengaja- Eh, tunggu. Kak Dania Sanjaya?" lanjutnya yang terlihat mengenalku.

"Ini Zachary, kan, ya?" tanyaku.

"Lain kali hati-hati. Lagian kenapa coba lempar-lempar batu?" ujar Daniel.

"Kak, kayaknya kita perlu ngobrol," tambah pemuda itu tanpa memperdulikan ucapan Daniel tadi.

"Tapi, ini bener Zachary, kan?"

"Hey, gue nanya tadi," ujar Daniel yang akhirnya menjadi pusat perhatian kami berdua. Daniel tersenyum, "kamu kenal sama dia?" ujarnya padaku dan aku mengangguk, "yaudah, kalo kalian mau ngobrol dulu. Eh, dek, jangan macem-macem. Calon pacar gue. Oh ya, Dania nanti aku ke kelas kamu pas bel istirahat. See ya," lanjutnya lalu pergi begitu saja.

Kan, Daniel pengertian banget.

Aku menatap ke arah pemuda di hadapanku ini, "Soal mantan kita," ujarnya.

"Ha? Gue gak punya mantan,"

"Lah? Corbyn sapa?"

Aku pun terkekeh mendengar ucapannya. Anak ini pasti ingin membahas tentang Corbyn dan Inem. Aku malas berbicara jadi aku mengangguk kecil saja. Dia berjalan ke arah kursi yang letaknya tidak jauh dari kami dan aku ikut duduk di sampingnya. Dia terlihat sangat sedih, "Kasian mereka berdua. Gimana kalo kita bantuin?" ujarnya dengan tiba-tiba yang membuat diriku mengangkat sebelah alisku. Pemuda ini menghela nafas, "iya, bantuin mereka. Kita gak bisa diem terus dan ngebiarin perasaan kita jadi korban, 'kan?"

"Situ lagi demam? Ngigo, ya?"

Zach terlihat lebih kaget daripada diriku. Ini anak satu kenapa? Membuat kepalaku makin pusing saja. Dia menatapku penuh penasaran, "Kak Corbyn kenapa bisa mutusin Kak Dania?" tanyanya.

"Pertama, gue gak pacaran sama Corbyn. Kedua, dia ninggalin gue begitu aja tanpa alesan jelas. Dan ketiga, gak usah pake 'kakak' sama gue. Santuy," jawabku.

"Lo tau kalo mereka berdua pacaran karena ibu nya Inem?"

"Lah, kenapa ibu-ibu jadi ikutan gini, sih-"

"Dengerin dulu, lah," ujarnya yang membuat diriku mengangguk. Aku memasang posisi yang lebih nyaman untuk duduk sambil mendengarkannya. Pemuda ini menatapku, "Corbyn sama Inem temen dari kecil. Tapi, mereka agak jauh pas SMP karena beda sekolah. Ketemu lagi disini, dan ya, mereka tetap statusnya cuman temen. Tapi, ibunya Inem percaya kalo anak perempuan satu-satunya itu bakal aman cuman kalo sama Corbyn. Ibunya sakit dan, ya, gitu. Keluarga Corbyn juga gabisa ngelakuin apa-apa selain maksa,"

"Kalo memang gitu kenyataannya, kenapa mereka juga harus bareng terus di sekolah? Kenapa gak di rumah aja?"

"Ini mah beneran gak tau apa-apa, ya?" ujar Zach dengan malasnya yang membuat diriku malah menjadi semakin penasaran. Sepertinya banyak sekali hal yang tidak ku ketahui, astaga. Dia menghela nafasnya dan melihat ke depan dengan serius. Aku melihat apa yang sedang di lihatnya. Inem yang juga sedang menatap ke arahnya. Lalu secara tiba-tiba gadis itu pergi menjauh ke arah yang berlainan. Zach menunduk, "Jack Avery, sepupunya. Dia kan sekolah disini juga. Dan Jack itu sayang banget sama keluarganya. Tau dah, gue ngerasa kek ada di sinertron alay gitu. Pusing amat hidup gua," lanjutnya lalu mengusap wajahnya kesal.

Aku terdiam. Jack? Keriting temannya Daniel yang waktu itu? Aku kira dia mendukungku dengan Corbyn waktu itu?

"Lo juga udah ada Daniel, sih, ya. Gue cuman nawarin, kok. Kalo lo memang mau move on juga gue ngerti. Seengganya gue terima-kasih lo udah denger curhatan dan penjelasan gue," ujar pemuda ini lalu berdiri.

"Tunggu," ujarku yang membuat dirinya berhenti. Aku memberikan ponselku padanya, "tulis nomor telfon lo. Kasih waktu gue buat mikir. Nanti gue kabarin lagi,"








***

Hai hai hai, sayangku. balik lg nih OREOOOOO. cie Zach curcol. etapi Corbyn belum muncul-muncul:(

AnywAaAaaYyYyyYyyYY,
Vote sama comment atu. makasi xx

All the love,

-Saraeze.


-Saraeze

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Oreo • Corbyn Besson • [ COMPLETED ]Where stories live. Discover now