Prologue

139 12 0
                                    

' Twinkle twinkle little star,
How I wonder what you are,
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky,
Star light,
Star bright,
The first star I see tonight,
I wish I may, I wish I might,
Have the wish I wish tonight, '

Plok!Plok!Plok!Plok!Plok!

Aku tersenyum lebar, menatap semua anggota keluargaku yang sedang bertepuk tangan. Kini aku tengah berada di ruang makan bersama Nenek, Papa, Mama, dan adikku—Quine. Keluarga kecil kami sedang mengadakan acara keluarga yang kami lakukan setiap 1 bulan sekali. Aku pernah bertanya sekali kepada Mama kenapa kami harus melakukan acara keluarga ini.
"Untuk menambah keharmonisan dalam keluarga, Nak,"begitulah jawaban Mama.

Mengikuti acara keluarga selama ini, kupikir aku sudah mengerti mengapa harus membuat acara seperti ini. Usia Nenek yang sudah berkepala tujuh, Papa yang sering lembur setiap hari—kecuali hari Sabtu dan Minggu— membuatku merasa perkataan Mama ada benarnya. Ditambah, Mama yang terkadang mengikuti tour kantor selama seminggu, hanya menyisahkan aku dan Quine berdua di rumah.

"Bagus sekali, Retta," ujar Mama.

"Suara kakak merduuuuu sekaliii," ucap Quine sambil mengacungkan kedua jempolnya kepadaku.

"Terima kasih, Mam, Quine," balasku dengan senyuman paling manis yang pernah kutunjukkan, " ayo kita nyanyi bersama."

' Twinkle twinkle little star,
How I wonder what you are,
I want a girl who'll be all mine,
And wants to say that I'm her guy,
Someones sweet that's for sure,
I want to be the one shes looking for,
I wish I may, I wish I might,
Have the girl I wish tonight,'

Mungkin sedikit lucu saat aku menyanyikan lagu ini. Tetapi, alasan kenapa aku melakukannya, karena Quine sangat menyukainya.

Quine dan aku hanya selisih 3 tahun. Quine itu anaknya aktif banget, kadang kocak, ngambekan, tapi dia punya hati yang lembut—alias baperan. Cincai, membuatnya enak diajak bergaul. Aku tidak tahu kenapa dia bisa sesuka itu sama lagu 'Twinkle Twinkle', tapi dia memang sesuka itu.

Tahun ini, kami bersiap-siap mengikuti UNBK sebagai penentu kelulusan. Meski ini adalah kali pertama Quine mengikuti UNBK, dia tidak terlihat cemas sama sekali. Tidak seperti aku 3 tahun lalu, yang tidak bisa terjun ke dunia mimpi hampir setiap hari. Saat itu aku khawatir sekali. Masa itu, sekolah masih menggunakan Ujian Nasional Berbasis Tulis. Dulu, lembar jawaban tidak boleh kotor, terlipat, apalagi koyak. Dan sialnya, waktu hari H—dimana semua murid sedang greget-gregetnya— lembar jawabanku yang sudah hampir terisi penuh, terkena cairan merah kental, yang tak lain adalah darahku sendiri. Yap, aku mimisan. Langsung kuminta lembar jawaban baru kepada pengawas, dan memanfaatkan 20 menit terakhir dengan sebaik mungkin. Untung saja keburu sempat. Hari kedua, kesialan yang baru menimpaku. Lagi. Saat hendak menjawab soal, tak sengaja lembar jawabanku terlipat. Dengan berat hati aku meminta lembar jawaban yang baru. Yahh, dua dari tiga hari itu membuatku merasa, apakah aku akan sesial ini setiap menghadapi ujian? Diluar itu, aku juga merasa bersyukur.

—Dan begitulah malam ini kami habiskan—

≈≈≈

Hal pertama yang kurasakan ketika membuka mata adalah teriknya sinar matahari pagi ini. Kulirik jam di handphoneku-—06.27—dan dengan segera aku turun dari ranjangku dan bersiap-siap. Aku bergegas lari ke lantai bawah. Lihatlah, mereka semua sudah siap dan tengah menungguku.

Well, mungkin tidak, sebab Quine baru hendak memakai sepatu sekolahnya, Nenek duduk di kursi goyangnya sambil menonton TV, Mama yang baru selesai mencermin diri dan papa yang pergi duluan ke garasi untuk menghidupkan mobil. Dengan segera kuambil sarapanku-—sandwich dan bergegas memakai sepatu sekolahku. Biasanya aku tidak telat seperti ini, malah sebaliknya. Mungkin karena semalam aku tidur kemalaman. Mungkin.

Tanpa kusadari mereka melihatku dengan.. bingung? Ekspresi semacam itulah.

"Ret, gak usah buru-buru gitu. Masih ada waktu kok. Masih ada 20 menit ke sekolah. Mama bakal nungguin Retta," kata Mama dengan santainya sambil melihat jam tangannya.
Segera kulirik jam dinding berwarna coklat yang tertera di atas pintu masuk.

6.50?!?!?! Serius Mam?! Mama masih bisa dengan santainya mengatakan '20 menit lagi'?!! Rasanya aku tidak ingin percaya ini.

"Kalau macet gimana, Mam?"tanyaku dengan segera sambil berlari ke luar.

Mama dan Nenek yang melihatku hanya menggeleng pelan. Perjalanan ke Sekolah pun kulalui dengan denyut jantungku yang semakin lama semakin cepat tak karuan. Memang sih, rumahku dengan sekolah lumayan dekat, tapi tetap saja. Aku semakin panik dari waktu ke waktu, dan akhirnya kami pun tiba di depan SMP Suka Bersama. Segera aku dan Quine turun dari mobil.

"Byee byee, Ma, Pa,"ujar aku dan Quine bebarengan.

Setelah berpamitan, aku langsung berlari ke kelas, sementara Quine hanya berjalan santai. Tidak kuhiraukan dia, akhirnya sampai juga di depan kelas. Lelah sekali! Huftt!! Ketika aku masuk,,

"Retta!" panggil seseorang yang sudah dapat kutebak.

"Luciiii!!"

Ya, ini Luci, sahabat terbaikku dari yang terbaik sekaligus teman masa kecilku. Bisa dibilang kami ini sudah seperti kakak adik. Aku dan Luci satu kelas mulai dari SD kelas 4. Sampai sekarang. Dulu, Luci hampir menangis sewaktu diumumkan bahwa aku dan Luci tidak sekelas. Aku masih ingat kejadian itu dengan jelas diingatanku. Luci bahkan tidak ingin sekolah lagi, sampai Tante Ariani membujuk pihak sekolah untuk memindahkan Luci ke kelasku. Karena 10 kali Tante Ariani membujuk Luci, 10 kali gagal usaha Tante Ariani. Sebenarnya saat itu aku juga sedikit sedih, tapi ya mau gimana lagi. Meski kadang Luci sedikit aneh, namun aku tetap menyayanginya. Sekarang, aku dan Luci bak sepatu, kemana aku pergi di situ pasti ada Luci.

"Kok tumben lo terlambat, Ret?"

"Iya, tadi akunya bangun kesiangan. Jadi gini deh."

"Aduh... emang lo ngapain aja semalam? Tidur kemaleman?"

"Kayaknya iya, soalny semalam aku habis ngadain acara keluarga. Tapi biasanya gak pernah gini sih."

Aku berjalan menuju bangkuku sembari meletakkan tasku.

"Ret, lo ingat kan hari ini U..."

Aku tidak memperhatikan ucapan Luci sebab Nedia tiba-tiba memanggilku.

"Eh, bentar ya, Ci."

"Ret, hari ini lo piket kan?"

"Ah, iyaa. Kamu juga?"

"Iyaa, gue hapus papan tulis ya? Lo tolong bantuin si Haykel cari sapu kelas di kelas lain. Hari itu, setahu gue, kelas 10 IIS minjam sapu kelas kita."

"Owhh, oke."

~~~
So,,,, cerita ini bakal diupdate sesuai mood aku, ehehehehe..😅 Thanks buat yang udah read.. drop some star if u don't mind.

Gomawo😊

Song's (L)overWhere stories live. Discover now