#8 TALK AND TALK [A DAY WITH LUCI]

25 5 2
                                    


BRUK!

Suara tersebut membuatku, yang tengah mengamati ruangan ini lantas terkejut.

Aku mengira suara itu berasal dari Luci, ternyata dari buku yang jatuh. Buku yang terletak di rak di atasku itu jatuh tepat mengenai kepalaku, dengan sakit yang lumayan, membuatku sedikit meringis.

Terbukanya halaman yang menunjukkan beberapa idol dari Korea Selatan itu membuatku sedikit tergerak untuk mengambilnya. Membolak-balikkan halaman, keinginanku untuk menjadi public figure semakin kuat.

"Lho, Ret? Lo udah sampai?" suara Luci menginterupsiku yang sibuk dengan pikiranku sedari tadi.

"Heeemm, baru aja sih," ucapku menghampiri Luci yang sedang mengucek matanya. "Kamu yang buat janji malah kamu sendiri yang ketiduran, huh!"

"Ehehehe, maap denk. Abisnya tadi malam gue tidurnya jam 3 gara-gara streaming," ucapnya seraya menggenggam tanganku.

"Pletak! Udah berapa kali aku bilangin jangan tidur selarut itu. Nanti tubuh kamu sakit-sakitan, gimana?"

"Gue gak bisa nahan keinginan buat streaminggg tau gakkk!! Streaming is my life," ucap Luci heboh.

"Yaudah, kamu basuh diri dulu gih," balasku sambil menggelengkan kepala, tak bisa menang dari keras kepalanya Luci.

"Yayayayaya," balasnya dengan tatapan mata yang lirih, ia segera menyosor ke kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya.

Selagi Luci pergi, aku pun mengeluarkan bahan-bahan yang akan kami kerjakan nanti.
          
                              ***
"Lo udah makan, Ret?" tanya Luci setelah beberapa saat keluar dari kamar mandi dengan salah satu tangannya yang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk berwarna biru toska.

"Belum sih, tapi aku belum begitu lapar kok," balasku seraya meliriknya sesaat sebelum melanjutkan kegiatanku, menulis —lebih tepatnya mencoret— di sele-sele.

"Araso, gue ke depan dulu ya, ambil snack. Lo mau makan sekarang aja, gak? Biar sekalian gue ambilin. Soalnya Mami ada masak hari ini."

"Emm.. ntaran aja deh."

"Okee."

Kuselonjorkan tubuhku ke depan sehingga sebelah tanganku menopang kepalaku di meja. Sembari menunggu Luci, aku mencari beberapa referensi dari internet untuk tugas kami. Baru kurasakan ternyata udara di luar tidak lebih dinginnya dari ruangan ini akibat hidupnya pendingin ruangan yang bersuhu 16°C itu. Aku pun mengambil selimut Luci dan membalutnya ke tubuhku, dengan kedua kaki diangkat menyilang.

Tak pakai lama, kenop pintu diputar dan muncullah batang hidung Luci dengan segerombolan makanan ringan berada di dekapannya. Ia langsung  menghempaskan mereka ke atas meja yang akan kami gunakan.

"Busettt Lucii, ini tuh buanyakkk buangett. Astaga."

"Hehehe, gapapalah Ret. Toh nggak langsung dimakan semua juga," nyengirnya. "Eh btw, gue baru nyadar kalo di luar hujan. Lo gak basah kuyup, kan?" lanjutnya seraya membolak-balikkan tubuhku.

"Nggak kok.. nggakk."

"Terus lo naik apa kesini? Becak di komplek ini makin lama makin berkurang.. cukup meresahkan ya, bund."

"Hahahaha.. aku kesini naik sepeda," ucapku yang tentu saja berbohong, tetapi gak sepenuhnya bohong juga sih..

Namun, Luci itu orangnya sensitif. Serapat-rapatnya masalah ditutupi, dia akan langsung tahu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 02, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Song's (L)overWhere stories live. Discover now