Ada banyak persepsi manusia tentang cinta. Banyak yang menyuarakan pemikirannya, berargumen bagaimana cinta itu memabukan, membuat candu, hingga hilang kendali. Berdebar sesak hingga rasanya ingin memiliki. Dan sakit seperti tertancap duri saat kehilangan.
Begitupun lelaki bertubuh tegap itu. Kulitnya pucat seperti tak memiliki aliran darah. Wajahnya tampan, namun tertutup oleh rambutnya yang berantakan. Serta topi yang menutupi kedua matanya. Penampilannya benar-benar kacau. Digenggamnya sebatang rokok yang belum disundut. Masih utuh belum ada nyala api di ujungnya. Meskipun keadaan batang rokok itu sudah kotor oleh beberapa noda. Mungkin keringatnya.
Lelaki itu duduk di sudut halte. Memojokan diri dari orang-orang yang sedang menunggu di sana. Menghindari tatapan nyalang yang membuatnya bergetar sejak tadi. Mungkin karena penampilannya seperti gembel yang tengah mengemis makanan. Beberapa menit setelahnya bis itu datang. Menerangi jalanan malam yang gelap. Ia naik dan duduk di bangku paling belakang. Bersandar pada jendela yang lembab oleh embun malam.
"Pemberhentian selanjutnya di halte 3"
"Aku berhenti di sini"
Bus itu berhenti tepat di perempatan sebelum halte 3. Terlihat gang yang cukup remang lampu di sana. Karena malam hari mungkin. Begitu bus berhenti, lelaki itu turun di sana. Dan sendirian setelah bus itu melaju pergi. Jalanan sudah sepi, tak ada mobil atau motor yang lewat. Genangan air akibat hujan juga cukup membuat ia berhati-hati mengambil langkah. Sebab jalanan memang segelap itu, ia hanya bisa melihat samar-samar yang ada di depannya. Matanya menyipit supaya penglihatannya nampak jelas. Harusnya dia bawa kacamatanya, tapi dia lupa.
Ia masih harus menelusuri setapak demi setapak supaya sampai di depan rumahnya. Mungkin sekitar tiga puluh langkah lagi. Udaranya juga mulai dingin, asap mulai keluar melalui celah bibirnya ketika ia menguap. Mengeratkan mantelnya hingga menutupi seluruh tubuhnya yang ringkih. Jika dilihat sekilas memang ia seperti orang tak bernyawa sebab kulitnya telampaui putih. Urat-urat yang mencuat dibalik kulitnya nampak sangat hijau, sungguh kontras dengan warna kulitnya yang terang pucat.
"Pemilu, pasang brosur tumpuk-tumpuk. Membuatnya tampak tak berseni" gumamnya sendiri sambil memperhatikan setiap tembok yang terpasang pamflet dan brosur. Menutupi artistik mural yang seharusnya menghiasi tembok kusam. Membuat sebagian catnya mulai luntur karena lem.
"Seungcheol!"
Lelaki itu membalik badan, menemukan prianya berdiri di sana. Di ujung jalan sana, dekat lampu di teralis besi. Padahal remang-remang jalannya, tapi bagaimana prianya bisa seindah itu. Dengan senyum terpatri di bibirnya beserta rambut emas terangnya. Seperti malaikat yang sedang menunjukan sosoknya di dunia. Prianya mendekat, dengan mantel coklat tua sepanjang lutut, sedikit berlari kecil kemudian memberikan ia pelukan hangat.
"Aku kangen"
Suaranya masih sama, lembut dan menyeruak hati. Membuat ia merasa hangat dan sejuk diwaktu bersamaan. Mungkin seperti ini ya, suara malaikat.
"Kenapa pergi gak bilang-bilang. Aku ditinggal di Amerika"
Prianya merengek membuat Seungcheol tak bisa manahan senyumnya. Malaikatnya sungguh manis sekarang. Dan bertambah tinggi juga.
"Maaf, aku banyak urusan"
"Ya pulangnya bilang-bilang, kabarin"
"Jeonghan, kabar baik?"
"Baik, kakak harus datang ke pernikahanku ya"
Dan rasa perih itu merambat sekali lagi di dalamnya. Prianya akan meninggalkan ia lagi. Pergi untuk menjadi pendamping orang lain. Tentu saja ia harus turut bahagia kan. Ia mengulum senyum, berusaha untuk menguatkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.
