TUHAN DAN MENTALITAS PENGECUT

500 22 6
                                    

Banyak orang melupakan kritik, fakta, dan kejadian nyata sehari-hari yang aku sodorkan kepada mereka. Terlebih jika itu menyangkut agama dan Tuhan. Seolah-olah, aku tengah menemukan orang-orang kaya dan berpendidikan yang enggan berpikir dan begitu sulit mengakui kesalahan sendiri. Mungkin itulah sebabnya, aku begitu bosan secara intelektual. Terlebih jika menyangkut Tuhan, seseorang bisa menjadi paling benar tanpa dia mau menilai diri sendiri.

Sebagai seseorang pengamat, aku bisa menganjurkan agar lebih baik Tuhan dibuang saja dari pada sekedar dimanfaatkan dan dimanipulasi demi kepentingan ketenangan pribadi. Banyak orang yang aku temui begitu marah menyoal Tuhan yang dibicarakan dengan tak baik tapi kehidupan kesehariannya nyaris tak jauh beda dengan para ateis. Bahkan seringkali lebih baik ateis yang teguh mempertahankan humanisme. Karena sebagian besar para manusia pecinta Tuhan yang aku kenal bahkan tak peduli dengan apa itu humanisme atau empati.

Mentalitas kelicikan, itulah yang aku temukan dalam psikologi keseharian banyak orang. Tidak hanya licik dalam menjalani hidup untuk mempertahankan kekayaan. Tapi juga sangat licik saat memanfaatkan Tuhan untuk kepentingan pribadi.

Di lain sisi, adalah mentalitas pengecut. Karena banyak orang beragama dan bertuhan nyaris tak berani secara total menjalankan perintah dan larangan agama dan Tuhannya sendiri. Yang dengan sombong dilakukan hanyalah menyebut diri beriman, melakukan ritual keagamaan sehari-hari, lalu merasa sudah beragama dan bertuhan.

Keimanan kosong, itulah fakta keseharian yang aku temui. Keimanan yang tak mempedulikan orang sakit di sebelahnya, orang miskin di jalanan, dan bahkan, untuk mempratekkan hubungan sosial yang baik di antara teman sebaya saja nyaris tak mampu.

Bagi banyak orang, iman kepada Tuhan adalah jaminan masuk surga. Padahal keimanan tanpa tindakan nyata sehari-hari, hanyalah jalan lebar masuk neraka. Jika surga neraka itu ada. Dan jika Tuhan itu ada.

Kadang aku berpikir, seandainya umat beragama serius dengan agama mereka, aku tak menemukan sampah di jalanan dengan begitu mudahnya. Kota yang panas harusnya menjadi sejuk. Jalanan yang retak harusnya tak ada. Penyakit gangguan jiwa yang merebak di mana-mana saat agama dikata penting. Orang gelisah dengan matinya listrik dan internet padahal mereka memiliki Tuhan.

Fakta di lapangan sebagai pengamat secara kasar, aku menemukan orang mencoba membela Tuhan tapi hati dan pikirannya sehari-hari bukan untuk Tuhan sendiri. Sangat mudah merasa beriman dan bertuhan. Tapi sangat sulit menjalankan perintahnya.

Jika seseorang pun yakin bahwa Tuhan itu ada. Mereka juga harus mengakui bahwa Tuhanlah yang menciptakan perang, kesepian, pembantaian, kemiskinan, kerusakan, sakit, selain kesenangan dan lainnya. Pengakuan akan keberadaan Tuhan berarti juga pengakuan akan semua hal negatif yang ada di dunia ini yang diciptakan dan diijinkan Tuhan untuk ada.

Aku sangat senang ada seseorang yang memarahiku dan tak suka padaku saat menuliskan mengenai Tuhan, asalkan dia orang yang secara nyata melaksanakan hukum agama dan Tuhannya secara teliti, ketat, dan sungguh-sungguh. Diceramahi para penipu yang mengaku mencintai Tuhan tapi kesehariannya tak beda dengan orang kafir dan ateis, rasanya, bagaikan diceramahi orang yang tak sadar akan dirinya sendiri.

Masalahnya, beragama dengan sungguh-sungguh bisa menuju ke arah fundamentalisme agama dan beragama dengan begitu fanatik. Terlebih, saat ingin beragama secara serius, seseorang akan tidak diijinkan untuk berpacaran, menggunjing, pamer harta, melakukan seks di luar nikah, dilarang menjadi egois, dianjurkan membantu dan menolong yang membutuhkan, tidak boleh berhasrat atau berahi melihat laki-laki idola baik di dunia nyata atau orang Korea, dan banyak lainnya. Bahkan dari segi berpakaian, bertutur, berpikir, makan, tidur, kencing, hingga melakukan perjalanan, semuanya serba diatur. Siapa yang mau menjalankan agama seperti itu hari ini?

Baiklah, sekedar mengaku diri beriman, itu gampang. Bahkan nilihis semacam aku bisa dengan gampang mengaku bertuhan. Susahnya apa merasa diri bertuhan? Tapi menipu keseharian hidup, itu lain soalnya.

Keseharian manusia adalah kenyataan itu sendiri. Entah dilihat orang atau tidak. Entah jujur atau tidak. Karena keseharian manusia menunjukan siapa diri manusia itu.

Ketidakinginan mengakui kenyataan sehari-hari perilaku hidupnya dikarenakan seseorang sudah merasa nyaman dengan dirinya hari ini. Dengan bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi akan keimanan dan Tuhan tanpa didukung dan ditopang oleh praktek nyata dunia kesehariannya. Banyak orang akan lebih suka tidak diganggu dari pada diberitahu kenyataan hidupnya selama ini.

Seseorang pembohong akan terluka jika kebohongannya dibongkar. Sama halnya dengan membongkar aib sendiri. Suatu tindakan yang tak menyenangkan.

Lalu apa gunanya berpendidikan selama puluhan tahun jika hari ini lebih mirip pembohong iman dan pengecut? Untuk apa kekayaan orangtua, jika menjalankan agama saja tak mampu tapi mengaku-ngaku sangat bertuhan?

Lalu iman itu apa? Apakah iman tak lain bukan hanyalah memanfaatkan nama Tuhan untuk kepentingan pribadi? Tidakkah itu tak jauh beda dengan politik dan sistem untung rugi dalam ekonomi?

Tuhan itu tidak penting. Yakinlah. Jika masih tak yakin, tengoklah keseharianmu sendiri. Tengoklah secara teliti dan sungguh-sungguh. Lalu gunakanlah otakmu untuk sejenak. Masih memiliki otak bukan, untuk menilai diri sendiri?

PSIKOLOGI & PSIKOTERAPI 2Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt