Ginny - 4

1.4K 121 2
                                    

Yang suka sama Lily... merapat!

Happy reading!

---------------------------------------------

Harry baru saja mengirim pesan burung hantu pagi ini. Isi suratnya menjelaskan misinya sukses besar, bahkan lebih cepat dari prediksi awal. Harry mampu memimpin anak buahnya untuk mengamankan wilayah yang terserang dementor menjadi kembali stabil.

"Dan kata Dad, besok ia bisa pulang secepatnya. Hari ini Dad masih harus memastikan bahwa semuanya aman. Jadi, besok Dad bisa pulang dengan tenang," jelas Ginny mengumumkan isi pesan Harry pada anak-anaknya di meja makan.

Sorak gembira para Potter junior membahana di ruang makan mengingat mereka semua berkumpul di sana. "Dad memang hebat! Aku jadi penasaran bagaimana Dad dulu bisa mengalahkan Voldemort di depannya langsung? Pasti keren!" pikir James dengan mulut penuh dengan sosis goreng.

"Cerita perjuangan Dad dan teman-temannya kan sudah masuk pelajaran sejarah sihir, James. Apa kamu sudah lupa?" seru Albus. Ia meminta selembar roti tambahan.

"Ya itu kan di buku, aku ingin melihatnya langsung, Al!"

"Sayangnya.. saat itu kau belum lahir. Dan tak mungkin kau bisa melihatnya langsung," Albus tampak mengambil selai coklat untuk kesekian kalianya, namun dengan cepat ia letakkan kembali setelah Ginny melemparkan ancaman singkat.

Albus sering tak terkendali jika melihat apapun yang berbau coklat. "Oke, Mom!" gerutu Albus lemas.

"Itu masalahnya.. kenapa sih pertempuran itu terjadi saat kita belum lahir?" James protes.

"Ehh, sudah bagus kalian lahir saat dunia kita sudah aman. Dulu kami menginginkan suasana yang seperti ini, anak-anak. Setiap hari ada ancaman, mau cari hiburan.. tiba-tiba harus perang. Mau belajar nyaman, pasti ada keributan. Kami dulu tak pernah bisa menikmati sarapan pagi kita dengan nyaman di meja makan. Apalagi tahun 1998. Itu tahun paling mengerikan bagi hidup kami."

Anak-anak hanya bisa diam dan semakin memahami bagaimana kondisi berat orang tuanya dulu. "Lily? Kamu kenapa, nak?" tanya Ginny melihat keanehan dari diri putrinya itu.

"Aku tak—"

Prannkkkk... Tubuh Lily ambruk dan menghantam meja makan. Gelas berisi jus jeruk di dekatnya jatuh membasahi lantai. "James, Al, tolong bersihkan pecahannya, Mom bawa Lily ke kamar dulu," Ginny panik melihat Lily pingsan.

Dengan sedikit sentuhan sihir, tubuh Lily menjadi ringan dan dengan segera Ginny menggendong Lily menuju kamarnya.

***

"Lily hanya demam biasa, Gin. Tak perlu khawatir. Kalau panasnya masih tetap tinggi sampai tiga hari, kau bisa bawa langsung ke St. Mungo," kata Hannah dengan sebotol ramuan yang baru ia minumkan ke Lily.

Neville berdiri di dekat ranjang melihat Lily kasihan, "mungkin dia rindu Harry, Gin. Lily kan dekat sekali dengan Harry. Sudah berhari-hari dia tak bertemu ayahnya." Kata Neville pelan, takut tidur Lily terusik.

"Mungkin," balas Ginny pelan.

"Aku berikan beberapa ramuan untuk beberapa hari. Semoga Lily lekas sembuh," Hannah dan Neville berpamitan kepada Ginny dan dua anak laki-laki di sana. "Jaga adik kalian, ya! Jangan dikerjai!" pesan Neville pada James dan Albus. Namun yang paling mengkhawatirkan adalah James.

Menjelang malam, panas Lily semakin tinggi. Ginny sampai tak tega meninggalkan putrinya itu sendirian. "Aduh, aku masih harus mengecek nama-nama baru itu. Tidak mungkin aku bawa kerjaanku di kamar Lily?" Ginny memperhatikan sekeliling kamar Lily. Kamar itu tak begitu luas, ditambah lagi beberapa perlengkapan kerja Ginny ada di kamarnya.

"Aku bawa Lily ke kamarku saja selagi dia tertidur."

Kembali Ginny membuat tubuh Lily ringan dan menggendongnya menuju kamarnya dengan Harry. Sesampainya di kamar, Ginny meletakkan tubuh Lily di posisi tempat Harry tidur. "Tidur, ya, nak. Mom di sini," kata Ginny menenangkan Lily yang bergerak-gerak menyamankan tidurnya. Tangan kecilnya memegang erat ujung bantal yang ia tiduri.

Satu jam berlalu dan tak terjadi apa-apa pada Lily. Ginny mengerjakan tugasnya dengan lancar sampai tak terasa malam semakin larut. "Jadi, lupa memeriksa dua anak laki-laki itu. Apa mereka sudah tidur, ya?"

Satu persatu kamar putra-putranya diperiksa. Semuanya aman terkendali dengan Albus dan James tertidur di kamarnya masing-masing. Hari ini mereka tak membuat ulah. Malahan Ginny merasa terbantu oleh James dan Albus yang ikut mengurus Lily yang tiba-tiba sakit.

"Dad.. Dad mana Dad—"

"Lily?!" Ginny hampir menabrak meja sesaat ia mendengar suara Lily dari kamarnya. "Sayang.. kau kenapa? Istirahat ya, nak!" Ginny mengelus pelan rambut merah Lily sambil mengusap-usap punggungnya pelan.

Mata Lily terbuka, "Daddy, mana Daddy, Mom? Ada Dad di sini? Mana?" wajahnya tampak bahagia saat menyebut ayahnya. "Ada bau Daddy," katanya pelan.

Ginny menyentuhkan punggung tangannya pada dahi Lily, panasnya sudah turun. "Sayang, Dad baru pulang besok. Jadi, Lily istirahat dulu, ya? Mom temani," pinta Ginny lembut.

"Tapi seperti Dad ada di sini?"

Ginny mendekat ke wajah Lily untuk mencium dahinya. "Hemm," ada bau yang tiba-tiba menyeruak ke hidungnya saat Ginny mendekat ke wajah Lily. Rupanya ini yang membuat Lily merasakan kehadiran sang ayah.

Aroma tubuh khas Harry tercium dari bantal yang ditiduri Lily. Ginny ingat, karena kesibukannya di hari-hari ini, ia lupa mengganti sarung bantal ranjangnya. Dan bantal Harry menjadi penyebab Lily merasakan kehadiran ayahnya.

"Lily kangen Daddy, ya?" tanya Ginny ikut tidur di samping Lily. Pekerjaannya benar-benar ia tinggalkan. Lebih penting Lily daripada lembaran-lembaran CV itu.

Lily mengangguk. Ia menangis. "Auw, tenanglah, sayang. Dad akan segera pulang. Daddy sedang bekerja. Ini kan tanggung jawab Dad, Lily pasti sudah paham, kan, bagaimana pekerjaan Daddy?" Ginny berusaha memberikan pengertian pada Lily.

"Mom paham bagaimana perasaan Lily. Mommy juga rindu Daddy, sayang. Tapi memang kita harus memahami bagaimana konsekuensi pekerjaan Dad. Kita harus bangga dengan Dad. Coba Lily ingat, bagaimana tadi pagi James ingin melihat keberanian Dad melawan Voldemort di masa lalu. Padahal semua kisah itu sudah tertulis di buku sejarah."

Lily kembali terdiam. Ia masih terjaga mendengarkan penuturan ibunya. "Tapi Lily mau Daddy," katanya lirih.

"Iya, sayang. Tapi Lily harus janji, Lily istirahat. Ini sudah malam. Lily harus cepat sembuh.. biar besok waktu ketemu Daddy, Lily sudah sembuh. Nanti kalau Dad lihat Lily sakit, mana bisa Dad ajak Lily jalan-jalan? Dad janji ajak Lily, James, Al dan Mom jalan-jalan, kan? Ya? Lily tidur, ya?"

Butuh berkali-kali Ginny memberikan pengertian pada Lily. Sampai akhirnya, "Lily harus sembuh. Besok Lily mau jalan-jalan sama Dad," katanya pelan. Wajahnya semakin dilesakkan ke bantal Harry. Lily menyesap bau sang ayah penuh kerinduan.

Lily akhirnya tertidur. Napasnya terlihat teratur dan tenang. "Lily tidur di sini apa aku—"

"Biarkan saja."

"Harry!"

"Psht!!" Harry masuk ke kamar dan meminta Ginny tak keras-keras bersuara. Suaminya pulang. "Biarkan dia tidur di sini," kata Harry sembari menatap Lily yang tertidur pulas.

"Aku pulang, Ginny. Aku berniat mengejutkanmu malam ini.. eh.. malah aku yang dikejutkan dengan kalian berdua," Harry mengamati Ginny yang tampak tak percaya dirinya pulang.

"Ak—aku, aku—"

"Aku juga merindukanmu, Ginny!" kata Harry langsung mencium lembut, tepat di bibir Ginny. Melumatnya dengan penuh cinta. "Me too!" balas Ginny sambil menngambil napas.

Satu hal yang mereka harapkan malam ini, Lily tak kembali menangkap basah mereka berciuman.

TBC

---------------------------

Masih ada lagi.. siapa kira-kira? Lanjut ah..

Hey, Kids!Where stories live. Discover now