1

1.8K 47 0
                                    

***

Pagi itu, suasana pembukaan cafe baru di tengah kota terlihat amat ramai. Semua orang sibuk menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Beberapa staff menyiapkan red carpet untuk menyambut kedatangan sang CEO.

Dan, hari itu juga, merupakan hari pertama Adiba diterima di tempat kerja sebuah perusahaan ternama yang memiliki toko fashion, cafe, hingga entertaintment. Adiba terlihat agak kebingungan. Ia merasa masih kikuk untuk ikut berbaur dengan staff yang lainnya.

"Eh, anak baru."

Adiba menoleh pada seorang staff yang terlihat sibuk membawakan wardrobe.

"Iya, kak? Ada yang bisa saya bantu?"

"Tolong bawain wardrobe ini ke ruang ganti."

Dengan sigap, Adiba memindahkan tumpukan wardrobe itu ke tangannya. Tidak seperti kelihatannya, tumpukan pakaian itu terasa berat di tangannya. Namun, ia harus tetap membawanya ke ruang ganti yang tidak jauh dari ia berdiri sekarang.

"Jangan sampe kotor, itu punya CEO kita," ucap senior Adiba yang langsung pergi begitu Adiba membalikkan badannya.

Adiba berjalan pelan sambil terus mengamati satu per satu pintu yang ia lewati. Matanya terus mencari di mana ruang ganti berada. Menjadi satu-satunya anak baru saat event besar seperti ini bukanlah hal yang mudah. Terlebih, tidak ada satu orang pun yang dapat ia ganggu hanya untuk sekedar bertanya. Semua orang benar-benar sibuk untuk mempersiapkan acara pembukaan ini sesempurna mungkin.

Tak lama kemudian, Adiba mendengar suara riuh tepukkan tangan. Tepat saat ia menemukan ruangan yang ia tuju. Ia segera bergegas meletakkan wardrobe dan bergegas keluar. Tapi, langkahnya ditahan oleh staff yang lain.

"Mau kemana? Di sini aja. Gak ada yang jagain, nih."

Adiba mendengus kesal. Ia mengangguk pelan.

"Padahal, mau liat CEO yang katanya ganteng itu," keluh Adiba.

Tak bisa berbuat banyak, perempuan itu hanya bisa duduk di bangku sambil menatap layar kacanya dengan tatapan bosan.

-

Laki-laki berjas hitam dan berambut orange itu memasuki pintu masuk dengan gagahnya. Langkahnya yang tegap, bentuk tubuhnya yang sempurna, dan tatapannya yang tajam membuat semua orang yang ada di sana terpaku.

Seorang CEO muda bertalenta yang mempunyai banyak bisnis di usianya yang baru menginjak 29 tahun.

Tidak hanya tamu VIP yang ikut terkesima dengan kehadirannya, tapi juga para staff yang bertugas juga terkesima. Bahkan, banyak staff yang meninggalkan kerjaannya saat itu hanya untuk menyaksikan bagaimana sang CEO berjalan di red carpet bak seorang model.

"Pak Alby," sapa Rio, sang Chief Marketing Officer.

Laki-laki yang dipanggil dengan nama Alby itu mengangguk. Lalu, mengembangkan senyumnya pada tamu yang hadir.

Beberapa tamu yang datang nyaris berteriak melihat senyuman CEO muda itu. Bahkan, para staff pun menahan suaranya yang ingin berteriak, hingga jingkrak-jingkrak.

Bayangkan, betapa berkharisma sebuah senyuman dari seorang bernama Alby.

Alby merapikan jasnya dan bersiap untuk membuka acara.

"Terimakasih pada tamu undangan yang sudah hadir. Dan, terimakasih untuk segenap staff yang sudah bekerja keras demi lancarnya pembukaan hari ini. Dengan ini, Cafe G resmi dibuka," ucap Alby singkat.

Tepuk tangan meriah kembali bergema, beriringan dengan blitz kamera yang silih berganti mengarah padanya.

Alby memotong pita merah dengan gunting yang sudah disediakan staff. Sekali lagi, Alby mengembangkan senyumannya pada seluruh tamu undangan.

Setelahnya, ia ikut membaur dengan para tamu. Ia juga meraih segelas champagne untuk bersulang dengan beberapa rekan bisnisnya yang turut hadir.

Ia banyak berbincang dengan para tamu. Bahkan, ada beberapa yang meminta untuk berswafoto dengan Alby.

Bak selebriti, popularitas Alby tidak lagi diragukan.

Beberapa kali masuk ke dalam jajaran ternama di majalah FORBES Indonesia. Dan, sempat dinobatkan menjadi CEO termuda dan terkaya di usianya. Namun, Alby selalu menunduk. Ia bahkan tidak pernah menyombongkan tentang apa saja yang sudah ia raih. Hanya saja, Alby memang memiliki paras dan sikap dingin yang jarang tersenyum. Yang seringkali membuatnya memiliki image terkesan sombong.

-

Acara berlangsung begitu meriah, tapi Adiba hanya bisa menikmatinya dari dalam ruang ganti. Berkali-kali Adiba menghela napasnya, ia juga sesekali mengintip dari balik pintu. Tapi, nihil. Ia ingin sekali melihat CEO yang banyak orang perbincangkan. Itu juga alasannya ia amat senang saat namanya terpilih sebagai satu-satunya orang yang lolos untuk bekerja di perusahaan ternama.

"Hhhh," keluh Adiba. "Coba aja gue bisa salaman sama CEO-nya. Gak bakalan cuci tangan deh gue. Yakin."

Lagi-lagi, suara tepuk tangan meriah terdengar. Adiba membalikkan badannya kesal. Langkah kakinya menghentak. Dan, tanpa sengaja ia menyenggol sebuah minuman yang entah bagaimana bisa berada di sana dan ia tak menyadarinya.

Byarrr.

Segelas minuman berisikan kopi itu tumpah mengenai salah satu wardrobe. Adiba panik seketika.

"Astagaaaa..." teriaknya, lalu sedetik kemudian ia membungkam mulutnya.

"Mati gue," ujarnya pelan, sambil terus memandangi jas berwarna hijau yang baru saja ia nodai.

"Tenang, Adiba," ujarnya pada dirinya sendiri. Ia menarik napas berkali-kali untuk menenangkan dirinya.

Adiba mengambil tissue, lalu mengelapnya pelan.

"Air." Adiba terlihat linglung. "Gue butuh air buat ngelap."

Adiba bergegas pergi menuju toilet yang tak jauh dari sana. Antrian panjang di toilet perempuan membuatnya kembali menghela napas.

"Toilet cowo aja apa, ya? Keliatannya juga ga rame. Lagian, mereka pasti pada sibuk, kok. Gue cuma mau make westafelnya aja. Gapapa kali, ya," ujarnya sambil melangkahkan kakinya pelan menuju toilet laki-laki yang memang terlihat lebih kosong.

Tanpa berpikir panjang, Adiba langsung masuk dan membasahi tissue yang tengah ia pegang. Ia juga mengambil banyak tissue untuk dibasahi.

Adiba sibuk mengatur ritme napasnya yang tak karuan. Hingga, tanpa ia sadari, sesosok laki-laki di belakangnya tengah memperhatikan perempuan dengan rambut dicepolnya itu.

"Ngapain kamu di toilet laki-laki?"

Adiba terhenyak. Ia menoleh. Suara dari seorang laki-laki berambut orange itu mengejutkannya. Adiba menelan ludahnya. Dan, menatap laki-laki itu panik.

"Ma-maaf, salah kamar," lalu Adiba bergegas keluar dari toilet laki-laki dengan jantungnya yang berdegub tak karuan.

"Ah, iya, tissue-nya.... ketinggalan," Adiba menepuk dahinya kencang saat sudah berada di luar toilet. Merutuki diri sendiri dan kembali ke ruangan wardrobe.

The CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang