***
Mereka tiba di sebuah jalanan sepi tidak jauh dari Sungai Han. Tempat yang sama saat pertama kali Alby mengajak Adiba melihat sang senja.
Malam ini, mereka kembali ke sini. Dengan perasaannya masing-masing.
Alby membuka satu kancing kemejanya. Entah mengapa, ia merasakan sesak di dadanya. Ia berjalan ke luar mobil dengan mengacak-acak rambutnya.
Lalu, tersenyum menyeringai.
Sangat terlihat jelas kalau ia sedang frustasi akan suatu hal yang terjadi pada hidupnya.
Adiba duduk tidak jauh dari Alby. Ia hanya mampu memandangi Alby tanpa bertanya.
Dari kedua matanya, ia melihat Alby yang terlihat frustasi, yang tertawa tiba-tiba, dan terdiam.
Beberapa kali mata mereka bertemu, tapi tatapan yang diberikan Alby tidak seperti biasanya. Tatapannya terlihat kosong. Dan, Adiba ingin sekali rasanya menolong.
Alby duduk sambil memeluk dirinya sendiri, ia tertunduk di atas tanah. Ia duduk dengan memeluk kedua kakinya erat. Sambil menenggelamkan wajahnya di antara kedua kakinya.
Meski tangisnya tak terlihat, namun Adiba bisa melihat kedua pundak Alby naik-turun. Samar-samar ia juga bisa mendengar suara tangisan laki-laki itu.
Adiba menghampirinya perlahan. Ia mengusap punggung Alby. Dan, merangkulnya tanpa banyak bertanya.
Entah apa yang tengah Alby rasakan saat ini, Adiba hanya ingin membuatnya tenang. Tanpa menghujamnya dengan banyak pertanyaan.
15 menit mereka terdiam tanpa bicara.
Alby masih memeluk kedua kakinya. Dan, Adiba masih merangkul Alby dalam dekapannya.
Hingga akhirnya, Alby mulai bersuara.
"Aku sedang membenci diriku sendiri," katanya membuka percakapan.
Adiba mendengarkannya dengan seksama.
"Saat aku membuat kesalahan, dan aku tidak bisa mendapatkan maaf dari orang itu. Yang tersisa hanyalah penyesalan. Aku bahkan gak tau lagi gimana caranya untuk meminta maaf."
Alby menoleh ke arah Adiba yang masih merangkulnya.
"Aku pembunuh, Adiba," ucapnya dengan nada lirih.
Adiba kaget. Untuk beberapa detik, ia bahkan tidak tau harus merespon apa.
Dari mata yang pernah memandangnya dengan tatapan dingin, Adiba bisa melihat buliran airmata di sana. Dari balik mata indahnya, ia pun menangis.
Adiba menarik Alby ke dalam pelukkannya. Dan, laki-laki itu menangis terisak.
Dengan perlahan, Adiba mengelus lembut punggung Alby. Berharap laki-laki itu akan berhenti menangis.
Namun, yang terjadi adalah, Alby semakin tenggelam dalam isak tangisnya. Dan, tak ada yang bisa Adiba lakukan.
"Gak apa-apa, setiap manusia pernah melakukan kesalahan," ujar Adiba berusaha menenangkan.
"Tapi, aku membunuh, Adiba."
Adiba menepuk-nepuk punggung Alby dengan pelan.
"Terima dan maafkan diri kamu, Alby."
Adiba antara takut, kaget, dan bingung harus berkata apa.
Alby melepaskan dirinya dari pelukan Adiba. Dan, menatap perempuan itu dengan tatapan nelangsa.
"Bagaimana aku bisa memaafkan diriku sendiri, jika orang yang ku bunuh adalah orang yang sangat ku cintai."
Deg.
Jantung Adiba bak berhenti sepersekian detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The CEO
General FictionAkhir dari sebuah cerita memang rahasia Semesta. Namun, usaha yang ditempuh tergantung masing-masing manusia. Mereka yang mau bertahan menyembuhkan luka. Atau, mereka yang menyerah begitu saja.