***
Alby berjalan dengan mengenakan hoodie kesayangannya. Dengan memakai kacamata hitam, ia berjalan menunduk memasuki mall. Dengan pakaian santainya, Alby terlihat jauh berbeda.
Saat weekend, Alby biasa menghabiskan waktunya untuk 'me time'. Terkadang, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam sendirian hanya dengan duduk di sebuah coffee shop. Dan, baginya itu menyenangkan.
Siang itu, Alby memesan ice cappucino dengan tambahan float di atasnya. Ia duduk di balkon yang ada di lantai dua. Ia memandangi langit, lalu beralih ke banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang. Ia mengedarkan pandangannya pada setiap objek yang bisa ia lihat. Lalu, ia menyeruput minuman yang ia pesan.
Sesekali ia memejamkan matanya, membiarkan angin pada siang hari itu membasuh wajahnya. Lalu, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesendirian yang ia rasakan.
Seringkali orang beranggapan, menjadi seorang Alby adalah menyenangkan. Dan, di saat yang sama juga, Alby bahkan tidak ingin menjadi dirinya saat ini. Di saat orang lain menyanjung harta dan tahta yang ia dapatkan. Alby justru hanya menginginkan kedamaian.
Waktu berlalu begitu cepat dari saat di mana ia mendapatkan patah hatinya untuk pertama kali. Patah hati yang membuatnya terus menyendiri hingga selama ini. Dan, patah hati yang membuatnya berada di posisinya saat ini.
Setelah menghabiskan waktu satu jam duduk menikmati segelas ice cappucino-nya, Alby pun pergi. Ia berjalan memasuki sebuah toko baju ternama. Memilih beberapa pasang baju, dan bersiap untuk mencobanya di ruangan fitting room.
Sayangnya, saat itu semua ruangan fitting room penuh. Jadi, mau tidak mau, Alby harus menunggu giliran untuk masuk.
Alby berdiri sambil memegangi beberapa pasang baju yang akan ia coba.
Dari balik bilik nomor dua, ia mendengar suara seorang perempuan berteriak.
"Araaaaa, baju dong," kata perempuan itu.
Alby menoleh ke arah sumber suara. Tepat di depan pintu bilik nomor dua, ia melihat sebuah paper bag di sana. Awalnya, ia mengabaikan suara itu. Namun, lama-lama, suara itu semakin kencang dan membuatnya terganggu.
"Ara, baju dong ih. Tolong lemparin baju yang di paper bag."
Alby berjalan menuju bilik nomor dua, dan mengambil baju dari dalam paper bag yang ada di sana. Tanpa ragu, Alby memberikan baju itu melalui atap pintu bilik. Lalu, disambut dengan tangan perempuan yang ada di dalamnya.
"Lama banget, dah, disuruh ngambilin baju doang," celetuk perempuan itu.
Alby hanya terdiam. Sambil menunggu bilik lain kosong.
Klik.
Tak lama, pintu dari bilik nomor dua pun terbuka.
"Bajunya bagus, tapi mahal. Gue kayaknya...."
Betapa terkejutnya perempuan itu melihat Alby yang sedang berdiri di hadapannya sekarang. Alby sedang berdiri, memegangi beberapa potong pakaian, dan menatap Adiba yang ternyata adalah perempuan di bilik nomor dua yang sejak tadi mengganggunya.
"Pak Alby," ujarnya lirih. "Ma-maaf, pak."
Adiba mengambil paper bagnya dan membuka jalan Alby untuk masuk ke dalam bilik.
Tanpa sepatah kata pun, Alby masuk ke dalam bilik. Sedangkan, Adiba menepuk dahinya frustasi.
Lagi, dan lagi, ia terus saja mendapatkan moment sialnya saat bertemu dengan sang CEO.
KAMU SEDANG MEMBACA
The CEO
General FictionAkhir dari sebuah cerita memang rahasia Semesta. Namun, usaha yang ditempuh tergantung masing-masing manusia. Mereka yang mau bertahan menyembuhkan luka. Atau, mereka yang menyerah begitu saja.