0.3 : Bening

132 22 19
                                    

Kenanga meremat tangannya satu sama lain dengan gelisah. Keringat meluncur dari pelipisnya. Sesekali bibirnya menggumamkan doa meminta keselamatan. Kenanga semakin gelisah, Semesta tak kunjung keluar dari kelasnya. Terhitung sudah lima menit ia berdiri di depan kelas XI IPA 3.

Kenanga ingin langsung masuk saja jika tidak mengingat masih ada guru di sana. Kenapa guru itu tidak keluar juga? Padahal bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Kenanga beralih meremat ujung lengan almamaternya, tangannya berkeringat sekarang.

Ia menatap ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka dan muncullah seorang guru yang sejak tadi Kenanga harapkan agar keluar kelas.

"Lho, kamu kok sudah keluar?" ucap guru wanita paruh baya itu saat melihat kehadiran Kenanga.

"Mph ... udah istirahat, Bu. Dari lima menit yang lalu." Kenanga tersenyum sekilas. Merentangkan kelima jari tangan kanannya.

"Lho! Berarti Ibu kelamaan dong ngajarnya? Pantesan tadi anak-anak pada rusuh."

Lama banget, Bu!

Kenanga ingin menjawabnya seperti itu, namun ia ingat jika harus berperilaku sopan kepada gurunya. Alhasil, ia hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Hah! Maklum Ibu sudah mulai tua. Yaudah Ibu mau ke ruang guru dulu."

Kenanga menghela napas lega setelah guru itu meninggalkannya. Ia harus segera menemui Semesta dan meminta Semesta untuk membantunya. Kenanga yakin, ia tidak akan bisa melakukan misi ini sendiri.

"Semesta!" teriak Kenanga saat melihat orang yang dinantinya keluar kelas bersama dengan temannya.

"Kenanga? Ngapain lo?" Bukan Semesta yang menjawab panggilan Kenanga, melainkan Tama, teman Semesta yang Kenanga ketahui adalah salah satu anggota basket.

"Gue manggil Semesta, bukan Tama."

"Gue tau. Apa salahnya gue jawab?"

"Salah! Karena lo bukan Semesta."

"Gue sama Semesta udah kayak saudara. Namanya aja pasangan, SemesTama." Tama menjulurkan lidah kepada Kenanga. Entah apa maksud dari perbuatannya itu.

"Bodo!"

Kenanga menggeleng saat mengingat tujuan awalnya mendatangi Semesta.

"Ta! Gue butuh bantuan lo. Ini penting banget!"

Tama lagi-lagi menyahut, "Ta~ itu gue apa Semesta?"

Kenanga mengetatkan rahangnya, kesal. Tama selalu menganggunya jika ia sedang berurusan dengan Semesta. Demi Tuhan, Kenanga ingin menyingkirkan pemuda itu sekarang juga.

"Gue. ngomong. sama. Semesta!" Kenanga menekan setiap kata yang meluncur dari bibirnya. Ia sudah tidak bisa berbasa-basi, karena ini semua menyangkut nyawa seseorang.

"Selooow!! Gue cuma bercanda."

"Nggak ada waktu buat bercanda." Kenanga menggenggam pergelangan tangan Semesta. "Ayo!"

Semesta yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara, "Ada apa?"

"Ikut! Nanti gue jelasin."

Semesta mengangguk kemudian mengikuti kemana langkah Kenanga membawanya.

***

Bening masih menyimak pembicaraan kedua orang berbeda jenis di hadapannya dengan khidmat. Sesekali ia ikut menimpali ucapan seorang cewek yang selalu mengkambing hitamkan dirinya.

Bening mendengus. "Cepet kenapa sih, Jun."

"Bentar." Pemuda bernama Juna itu masih setia berbincang-bincang. Entah apa itu, Bening tak peduli. Ia haus dan ingin membeli segelas jus jeruk segar di kantin.

Lil bit DarkWhere stories live. Discover now