2.7 : Kenyataan Paling Menyakitkan

97 11 2
                                    

.
If this is a dream.
Please, let me wake up
.

Kenanga berjalan tergesa menyusuri lorong rumah sakit diikuti Bening di sampingnya. Matanya tak henti mengecek setiap nomor ruang rawat yang tertempel di setiap pintu. Ia berharap segera dapat menemukan ruang rawat Semesta.

"Kesini!" Bening menarik lengan Kenanga sebelum berbelok ke kiri dan langsung menghentikan langkahnya ketika sampai pada ruang yang bertuliskan 'UGD'

"Semesta," Kenanga berujar lirih bahkan suaranya nyaris saja tidak terdengar. Gadis itu langsung menempelkan wajahnya pada kaca yang menampakan keadaan Semesta kini. Tubuh Semesta yang benar-benar kotor ditambah dengan kepalanya yang berdarah, membuat Kenanga menangis semakin kencang. Semesta-nya terluka di dalam sana dan dirinya tidak bisa melakukan apapun kecuali berdoa. Padahal, ketika dirinya sedang ada masalah, Semesta selalu menolongnya.

"Semesta." Kenanga menggenggam pergelangan tangannya yang terhiasi oleh gelang pemberian Semesta dulu, ketika dirinya gagal menyelamatkan salah satu teman sekolahnya yang mengalami kecelakaan.

"Mbang."

Bening menarik pundak Kenanga dan membawa gadis itu duduk di salah satu bangku. Kenanga masih menangis, tubuhnya terasa sangat lelah.

"Semesta, Ning."

"Iya. Gue tau," jawab Bening sambil mengusap pundak gadis itu pelan.

"Lo harus sabar. Gue yakin Semesta bakal baik-baik aja. Gu—"

Ucapan Bening langsung terhenti ketika melihat seorang dokter keluar dari ruang UGD dan terlihat mengernyitkan keningnya ketika melihat mereka berdua.

"Keluarga, pasien?" tanya dokter tersebut.

Bening tersenyum getir. "Kami temannya, Dok."

"Maaf sebelumnya. Kami harus membicarakan ini dengan keluarga pasien karen—"

"Saya Mamanya, Dok!" Seorang wanita paruh baya menyela ucapan sang dokter dan berlari dengan tergopoh-gopoh dari ujung lorong diikuti seorang pria yang Bening yakini adalah kedua orangtua Semesta.

"Ada apa dengan anak saya, Dok?" tanya Tamara karena penasaran dengan kondisi anaknya setelah mendapatkan telpon jika anak semata wayangnya mengalami kecelakaan.

Dokter tersebut tersenyum prihatin. "Anak Ibu mengalami kecelakaan yang lumayan parah. Apalagi pada bagian kepalanya yang sepertinya terbentur membuatnya tidak sadar. Kami telah melakukan pengecekkan dan menemukan jika pasien mengalami gagar otak. Jadi, secepat mungkin pasien harus dioperasi," jelas dokter tersebut panjang lebar.

Tamara membeku di tempatnya. Gagar otak? Operasi? Dua hal itu langsung memenuhi otaknya dan seakan-akan membuat kepalanya pecah.

"O—operasi?"

Dokter tersebut mengangguk.

Tamara menitihkan air matanya yang kian lama semakin deras. Matthew yang melihat istrinya menangis langsung membawa tubuh Tamara ke dalam pelukannya.

"Lakukan yang terbaik untuk anak saya!" ujar Matthew mewakili istrinya kepada sang dokter.

Dokter tersebut mengangguk dan langsung mempersilahkan Matthew agar mengikutinya untuk menandatangi beberapa berkas-berkas sebelum melakukan operasi. Matthew melepaskan pelukannya dari sang istri setelah menenangkannya beberapa saat. Setelah kepergian Matthew dengan sang dokter, Tamara menempelkan wajahnya pada kaca guna melihat keadaan puteranya yang terlihat mengenaskan. Tamara menyeka air matanya kasar, ia beralih menatap kedua orang yang tengah duduk di bangku dengan tajam.

Lil bit DarkWhere stories live. Discover now