BERSAMA NYAI

51 3 0
                                    

Hari demi hari, kehidupanku dirumah Nyai semakin sulit. Dengan banyaknya adik-adik bapakku yang sudah berumah tangga namun tinggal dirumah itu. Semua isi rumah bagaikan racun bagiku, termasuk semua sepupuku. Berawal dari berebut boneka. Kemudian perutku dicubit oleh sepupuku paling tua. Lalu aku menangis, dan sontak seisi rumah menyebutku si anak rewel dan Mereka semua seperti jijik melihatku.

Pernah sekali, aku tidak sengaja menutup pintu rumah dari luar, tanpa kusadari ada sepupuku dibelakang nya. Kemudian sepupuku itu teriak dan nangis histeris, katanya kakinya kejepit oleh pintu yang sengaja aku tutup. Dan aku langsung meminta maaf, tapi bibiku (mama nya sepupuku) itu murka. Ia langsung bilang ke NYAI katanya agar aku dipulangkan ke jampang.

Sejak saat itu, Selogan "Pulanglah ke jampang" adalah modus. Iya, kalimat yang sering keluar dari setiap mulut orang-orang yang ada dirumah. Dan saking seringnya mendengar kata itu kurasa bagaikan garam bagi lidahku. Tiada hari tanpa Selogan "Pulanglah ke jampang" . Sedangkan aku tak tau. Apa itu jampang? Dimanakah jampang? Dan ada siapakah memangnya di jampang?

Jujur saja. Aku sangat iri dengan mereka. Iya, sepupuku yang dirawat lengkap oleh kedua orang tuanya. Kasih sayang orangtuanya yang halus, dan tulus. Menyaksikan itu,Aku jadi rindu Bapak dan mama.

Terkadang aku berfikir, mengapa semua isi rumah ini membenciku? Apa karena aku tidak ada orangtuanya? Tapi idiq yang adikku bagaikan pangeran/calon raja yang dihargai oleh seisi rumah walaupun ia masih bayi.

Ada yang aneh memang. Tapi entahlah, tidak ku hiraukan itu. Karena bagiku, idiq sudah dirawat dengan baikpun aku sangat bahagia.

Suatu hari, Nyai pergi ke pengajian ibu-ibu dimesjid. Karena aku takut pada mereka yang ada dirumah. Aku memaksa Nyai agar membawaku pergi ke mesjid. Dan akhirnya aku pergi dengan Nyai.

Dipengajian, aku didorong sepupuku yang diam-diam ikut ke mesjid. Aku nangis karena tanganku berdarah, sepupuku juga nangis, aku juga gak tau kenapa dia menangis, apadahal aku gak ngapa-ngapain dia. lalu Nyai membawaku pulang kerumah sambil ngomel-ngomel, katanya aku anak yang bandel, tanpa menyadari kalau sebenarnya aku hanyalah korban.

Sambil berbicara ditlp, ku dengar dari kata-katanya sepertinya Nyai sedang berbicara dengan bapak. Katanya aku akan dipulangkan ke jampang.

Kini waktu lebaran tiba, semua orang dirumah dapat baju seragam bergambar jerapah. katanya buat jalan-jalan, entah kemana.

Semua orang ramai-ramai mencoba baju itu, cuman aku yang melongo melihat semua orang mencobanya. Karena hanya aku yang tidak kebagian.

Serewel apakah aku? Sampai aku diasingkan oleh keluarga besar ini? Pikirku

Sebenarnya aku ingin menangis. Tapi harus menangis pada siapa. Karena tidak ada satupun orang yang menjadi tumpuanku saat itu. Seandainya saat itu aku sudah mengenal tuhan. Setiap hari aku akan menangis mengadu nasibku kepadanya. Tapi saat kecil seperti itu, aku tak tahu harus kepada siapa mengadu, walaupun bapak pulang dari jakarta ke rumah Nyai. Aku tetap tidak bisa bilang. Karena seseorang telah mengancamku. Katanya

"jangan bilang apa-apa sama uwa, uwa itu bukan bapakmu"

Pikiranku semakin kacau, hingga suatu hari bapak pulang ke sukabumi, aku sendiri yang bilang pada bapak,

"Pak.. aku ingin pulang ke jampang"

Awalnya bapak tidak ingin aku pulang. Tapi karena aku nangis ingin pulang ke jampang. Bapak pikir aku rindu mama. Padahal aku sendiripun tidak tahu dijampang itu ada siapa.

Dan tibalah pada suatu hari, saat aku diantarkan oleh Nyai ke jampang.

***

KETIKA MATAHARI TERBENAMWhere stories live. Discover now