13. Rumah Sakit

657 33 13
                                    

Ditengah heningnya malam kini terdengar suara tangis yang memilukan, siapapun yang mendengarnya pasti akan tersayat. Soraya masih dengan baju piyamanya kini memeluk Fajar dengan erat, dia menumpahkan semua rasa yang terus bergejolak.

"Udah dek, ini bukan salah lu." Fajar berusaha menenangkan adiknya yang terus sesenggukan.

Seakan tuli, Soraya tetap melanjutkan isak tangisnya. Ini bukan perkara siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi ini karena Rian yang berusaha menyelamatkan dirinya maupun Fajar. Tindakannya itu perlu di apresiasi, tetapi keberaniannya malah berujung pedih.

"A Fajar, kak Rian gak bakal kenapa-kenapakan?" tanya Soraya cemas, karena sedari tadi dokter yang menangani Rian tak kunjung keluar.

"In sha Allah, kita berdoa semua bakal baik-baik aja." Fajar mengusap punggung Soraya, kali ini dia membiarkan t-shirt kesayangannya harus ternodai dengan air mata Soraya yang bisa saja mengandung unsur gas beracun.

Keheningan kembali terjadi, selama beberapa menit Soraya terus berdoa atas keselamatan Rian. Sungguh ia akan sangat berdosa jika sampai terjadi sesuatu kepadanya.

"Keluarga saudara Rian." kata dokter paruh baya.

"Saya." jawab Soraya lebih dulu.

"Kami telah berhasil menjahit luka tusukan, tetapi saudara Rian kehilangan banyak darah." papar dokter yang membuat Soraya mengigit bibir bawahnya.

"Golongan darah apa yang dibutuhkan dok?" tanya Fajar.

"Golongan darahnya A, tapi kebetulan sedang kosong. Jadi kami membutuhkan sukarelawan untuk mendonorkan darah secepatnya." papar dokter itu.

Soraya dan Fajar terdiam, bahkan mereka mengabaikan Ginting yang sedari tadi telah membantunya.

"Saya bersedia dok." kata Soraya yang membuat Fajar terbelalak.

"Baik, mari ikut saya." ajak dokter diikuti oleh Soraya.

Fajar dan Ginting hanya terdiam, mereka tidak dapat melakukan apapun. Tetapi dalam hati Fajar dia tidak tega jika Soraya melakukannya. "Gue gak becus banget jadi kakak." keluh Fajar.

"Jangan gitu bro, gue yakin semua udah jadi takdir Tuhan." Ginting memberikan nasehat.

"Btw thanks ya udah ngebantu gue, gue gak tau bakal gimana jadinya kalo gak ada lu." kata Fajar ditengah rasa kalutnya.

"Sebagai sesama manusia kita wajib saling membantu, untung aja adek lu cepet nelepon gue." Ginting tersenyum.

***

Di ruangan serba putih ini Soraya mulai mendonorkan darahnya, dia sangat bersyukur karena dapat membalas kebaikan Rian. Kelak dalam tubuh Rian akan mengalir darahnya, semoga tidak ada reaksi apapun yang membuat Rian gagal jantung.

Sebenarnya dibutuhkan minimal tiga kantong darah penuh, tetapi karena sekarang dini hari jadi selabu darah yang diberikan oleh Soraya dapat membantu sedikit. Kini tugas Fajar dan Gintinglah yang mencari kekurangannya, Fajar bertekad untuk segera menemukan pendonor, karena bagaimanapun juga partnernya itu rela kehilangan nyawa hanya untuk dirinya.

"Kakak gue bisa ngedonorin darahnya besok." kata Ginting yang mendapatkan hembusan nafas lega dari Fajar.

Kali ini keduanya sedang sibuk dengan handphonenya masing-masing, meskipun jarang sekali orang yang membalas pada dini hari, tapi selalu ada harapan di setiap kesulitan yang terjadi.

"Udah Jar jangan terlalu panik, mungkin besok mereka pada ngebales." Ginting menenangkan Fajar yang terlihat putus asa.

Disimpannya handphone itu lalu Fajar kembali tertunduk, dia tidak menyangka kalau liburannya kali ini harus berakhir dengan malapetaka. Apalagi ini melibatkan nyawa orang lain, entah dibuat dari apa hati sahabatnya itu hingga rela menyelamatkan dirinya. Mungkin keadaannya akan sangat berbanding terbalik jika Fajar yang ada di posisi Rian, karena memang seharusnya Rian tidak terlibat dalam semua ini mengingat dia hanyalah seorang tamu.

"Satpam di rumah lu kemana? Kok bisa sampe ada maling gitu?" tanya Ginting penasaran.

Fajar menghela nafas, kini pikirannya harus mengingat kejadian yang paling tidak diinginkan. "Kemaren pintu belakang lupa gak di kunci, jadi maling sialan itu gampang masuk."

Ginting mengangguk, "Herannya kok pas ada ribut-ribut gak ada yang nolongin elu? Pembantu lu kemana? Kan harusnya bisa tuh manggil satpam, terus satpamnya cari pertolongan." papar Ginting dengan segala tanda tanya yang menggunung.

Fajar terdiam, dia sedang berusaha mencerna perkataan yang dilontarkan oleh Ginting. Jika dipikir-pikir memang ada kejanggalan dari kejadian ini, tidak biasanya asisten rumah tangga yang telah dianggap sebagai ibunya itu mendadak abai. Biasanya dia selalu memeriksa pintu dan jendela jika saja ada yang tidak terkunci, lagi pula kamarnyapun tepat di bawah kamar Soraya. Sangat tidak mungkin jika beliau tidak mendengar apapun.

"Apa menurut lu semua ada hubungannya sama pembantu gue?" tanya Fajar dengan segala asumsi yang memenuhi kepalanya.

"Menurut gue kemungkinan besar ada, apalagi kejadiannya di dalem rumahkan? Kalo satpam bisa jadi dia gak tau, soalnyakan tempatnya jauh di depan." Ginting memberikan argumen.

"Tadi pas polisi dateng lu liat bibi gak?" tanya Fajar berusaha memecahkan semua pertanyaan yang sangat mustahil bagi dirinya.

"Nah itu yang aneh Jar, waktu gue sama polisi masuk si bibi lagi ada di depan kamar lu. Terus mukanya kek tegang gitu pas gue liatin, tapi gue gak tau dia gitu karena ada polisi atau karena majikannya lagi kena musibah." jawab Ginting.

"Kalo misalkan bi Ijem terlibat, pasti maling itu bakal ngakuin di depan polisi." kata Fajar yang langsung dibalas dengan gelengan.

"Gak juga kalo maling itu udah di suap duluan sama bi Ijem, itung-itung buat tutup mulut." sanggah Ginting.

"Tapi uang dari mana?" Fajar sukses membuat Ginting bungkam.

Kini mereka berpikir kembali, malam ini sungguh sangat memeras otaknya. Seketika Fajar merindukan pikirannya yang digunakan untuk mengerjakan soal ulangan dibandingkan harus menjadi detektif abal-abal seperti ini.

"Lu gak pernah kehilangan sesuatu?" tanya Ginting berusaha untuk menuntaskan semuanya dengan cepat.

"Kagak, selama ini rumah gue aman-aman aja. Tapi urusan keuangan gue serahin sebagian ke bibi buat belanja, kadang juga Aya ngasih uang tambahan." jelas Fajar.

"Nah!" Ginting menjentikan jarinya, "Dugaan gue bi Ijem make uang dari situ buat bayar tu maling." papar Ginting yang membuat Fajar harus berpikir kembali.

"Lu mau bantuin gue buat nyelidikin ini?" tawar Fajar.

Ginting mengangguk mantap, biarlah kali ini liburannya dia habiskan untuk membantu teman seperjuangannya. Lagi pula akan sangat menyulitkan bagi Fajar jika harus bekerja sendiri, terlebih sebentar lagi mereka harus kembali ke pelatnas untuk melakukan latihan. Sangat disayangkan Rian tidak dapat mengikuti latihan yang akan membawanya ke ajang pertandingan lain, jika sudah begini sudah dipastikan Fajarpun harus melewatkan pertandingan yang sangat dia nantikan.

"Saran gue kita ke kantor polisi dulu Jar, takut ada apa-apa." kata Ginting langsung dibalas dengan anggukan.

"Besok pagi kita langsung kesana, gue gak mau nunda-nunda semuanya." Fajar berkata mantap.

Pintu ruangan telah terbuka, terlihat Soraya yang sedang keluar ruangan dengan wajah pucat. Efek dari donor darah selalu membuat orang lemas, bahkan seorang Soraya yang petakilanpun dapat menjadi seorang yang pendiam.

Baru saja Fajar menghampiri Soraya, berniat untuk menanyakan keadaannya namun...

Brugh!

Soraya pingsan seketika.

°°°

Sesuai janji, author up lagi cerita yang di hapus. Happy reading! Jangan lupa vote dan komennya❤️

Dibalik Bulu Angsa [✓]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin