¹ HER

879 101 85
                                    

ㅡALL OF MY WONDER, YOU ARE
THE ANSWER. I CALL YOU HER.
'CAUSE YOU'RE MY TEAR.ㅡ

˖⋆࿐໋₊


dia bukan tipikal gadis makmur yang lahir bersama sendok emas di mulutnya. bukan juga gadis yang namanya kerap melejit di sela-sela kesibukan lingkungan sekolah. atau gadis berpotongan busana hypebeast yang dari ujung surai sampai ujung jari kaki tembus harga dengan nol menderet panjang, tentu saja bukan.

senangnya aku memandang dia yang tetap bersahaja, kendati sama saja dengan gantung diri di atas periode modern. kadang giginya mengeluh gatal ingin keluarkan serapahan atas dunia yang mempermainkan dia. lantas aku akan jadi loyal di sisinya, sembari menyimak apa-apa saja yang melubangi pikirannya. sesekali kuajak kencan kecil-kecilan di taman ditemani lelehan es krim yang berlepotan di bibir hingga pipi.

ini bukan cinta, menurutku. kami masih kelewat labil dan hipokrit jika harus menyebutnya begitu. faktanya, kami cuma sepasang anak adam yang jenuh sebab pening gara-gara diperbudak kurikulum. kami butuh setidaknya satu atau dua, hiburan dan motivasi dari suatu konteks timbal balik. namun aku bukannya tak hirau jika mengenai perkara jasmani. tampang setaraf monalisa di sini lebih utama, 'kan? aku tak menampik itu. dia manis menawan, aku berbahagia. aku mengaku.

kemudian sore pertemukan kami di selasar kelas arah jam dua. rambut yang tutupi lanskap sedikit dia selip ke belakang cuping telinga. malu-malu tundukkan kepala dan itu membuatku berdisko tak keruan dalam dadaku sendiri. yakini aku, aku masih hidup.

"um... hoseokie, bagaimana harimu?"

hariku menakjubkan, sayang, tentu saja.

"baik, baik, dan semakin baik."

dia masih diam tersenyum selagi aku tanya balik, "kau sendiri, bagaimana?"

kami meniti langkah seirama, tak terasa sore semakin tenggelam disedot gravitasi. ada dua punggung tangan di bawah sana, saling sentuh namun ragu untuk menaut.

"ya, aku juga baik."

retinaku selalu tumpahkan madu banyak-banyak kalau dia adalah objek utama dalam tinjauanku. ikatan kami baru jadi benih, sekecil biji semangka. dia makan apa sampai aku sebegini gila?

kuncup bunga di jalan acapkali beri jalan bagi kami. seolah membisik pada daunnya untuk menepi; 'minggir semua! pasangan muda tengah bersemi, bahkan sebelum musim semi itu sendiri terbit'.

˖⋆࿐໋₊

"seok, kadang aku ingin jadi ikan. berenang sepuas mereka tanpa masuk angin dan mual. mulut mereka juga lucu, seperti ingin mencium. jadi kalau ingin saling cium, mungkin mereka langsung menyosor, 'kan? haha, itu menggemaskan."

kau lebih menggemaskan, tahu?

yang dilempar dari jejak mulutnya selalu out of the box. langka. dan itu menambah kesan lugunya yang aku suka.

malam juga sering jadi waktu terbaik kami untuk berkoar. entah itu di rumahku, rumahnya, atau minimarket 24 jam yang terang benderang saat semua orang terpejam. bertukar cakap tentang banyak misal, seraya berteman pada dua mangkuk sterofom berisi ramen dan dua kotak susu stroberi dingin.

"aku rindu musim dingin, tapi aku benci kedinginan."

"tidak masalah, seok. aku akan jadi selimut yang membungkusmu di depan perapian saat musim dingin itu mampir ke teras rumah kita."

lalu ada pula satu kuriositas yang sempat dia himpun dan dipertanyakan. terlampau krusial. aku mau mati kalau dia mulai dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan sarat sanksi yang membumbung di otaknya.

"menurutmu, seok. apa kita bisa terus bertahan jadi 'kita' sampai nanti?"

sungguh, aku benci kalimat tanya yang satu itu.

monchéri [on hold]Where stories live. Discover now