HARAPAN DAFIN

5.1K 372 14
                                    


Happy reading guys....... :)

IG: nur_fitriyah20,heheh bisa di follow:v



_____________________________________







"A-ayah... A-aku... me-me-nyayangi-mu... Ayah... " lirih Dafin menyakitkan.

Plak

Pipi kirinya ikut memanas saat tangan besar ayah menamparnya. Sakit rasanya. Saat pengakuan sayangnya pada seseorang yang kau sayang dibalas dengan sebuah tamparan menyakitkan. Jika orang lain, Dafin tak apa. Tapi ini ayahnya. Ayah kandungnya. Ayah yang dulu adalah sosok yang selalu dibanggakannya.

Tapi nyatanya. Sosok yang dibangga-banggakannya ternyata pusat rasa sakitnya. Meskipun sudah lima tahun, tapi Dafin masih berharap ayahnya akan membuka hati. Berharap pelukan hangat itu kembali dirasakannya nanti.

Dafin. Tak pernah lelah untuk terus berharap. Ia yakin, jika harapan yang terus membumbung tinggi akan segera terjadi sesuai ekspetasi. Meskipun faktanya, banyak harapan yang pupus sebelum terwujud, mati sebelum hidup,dan hilang sebelum pelangi datang. Terkadang itu pantas disebut percuma.

Percuma hidup dengan harapan yang tak pernah nyata. Percuma berharap,jika sudah pasti harapan itu tak pernah menjadi fakta. Percuma.

Tapi, Dafin mengenyahkan kata percuma itu. Percuma menurutnya hanya untuk orang-orang yang mudah putus asa. Ia sangat-sangatlah yakin. Jikalau nanti atau pun suatu saat. Ayahnya akan kembali. Kembali dengan kasih sayang yang sejati. Ia yakin itu.

Nafasnya mulai melemah dengan rona pucat menghiasi wajahnya. Bibirnya pucat,keringat dingin menetes di pilipis dan dahinya, rambut? Rambutnya hitam legamnya sudah berantakan bak sarang burung. Dafin hanya bisa menatap sendu ayahnya.

Sanjaya melenggang pergi meninggalkan Dafin yang masih tergeletak lemas tak berdaya.

Biarkan. Biarkan Dafin di alam bawah sadarnya. Saat mimpi bisa membuatnya bahagia. Berbanding terbalik dengan dunia nyata. Tubuh kurus lemasnya masih tergeletak di ruang tamu. Kata bangkit untuk saat ini tak lagi ada. Dafin merasa tidak mampu hanya untuk berjalan menuju kamarnya. Biarlah tubuhnya beristirahat di lantai dingin rumah.

Kelopak dengan bulu mata lentik itu terpejam sempurna. Menyisahkan suara nafas yang masih tak teratur. Hening dan angin malam berhembus di celah rumah yang terbuka. Lantai dingin rumah bertambah dingin kala jarum jam terus berputar maju. Dafin...bahagia,bersama dengan mimpinya.












<P A T E R ?>


Pagi ini dengan ditemani arunika yang yang mengahangat, Dafin tengah menyapu halaman belakang. Menggiring lembar demi lembar daun yang kering berjatuhan agar terkumpul. Lalu membuangnya ke tempat sampah. Ia juga memotong dan merapikan tanaman. Tak lupa juga menyirami semua tanaman dengan air keran. Ia juga tak Melewatkan untuk menyeka keringatnya yang menetes dari pelipis.

Ini masih pukul enam pagi dimana biasanya orang-orang akan memulai hari dengan sarapan di meja makan. Berbeda dengan Dafin. Ini hari minggu. Hari untuknya menjadi pembatu di rumahnya sendiri. Mulai dari memasakkan sarapan, membersihkan rumah dari dalam hingga luar.

Semua pekerja dipecat oleh ayahnya kecuali satpam dan supir. Dafin tidak tau alasan ayahnya memecat semua pekerja. Yang Ia tau hanya Ia barus mengggantikan semua posisi pekerja di rumahnya dulu.

Dafin sekarang sudah tak bekerja. Entahlah. Sejak dirinya dipecat dari restoran waktu itu, kini Ia sangat kesulitan mencari pekerjaan baru. Sudah dua minggu lamanya Ia menyelusuri sudut kota. Mencari pekerjaan yang sekiranya tersisa. Tapi semua sia-sia. Tak ada satu pun tempat yang mau menerimanya bekerja. Alasannya hanya satu,hanya karena Ia belum lulus sekolah dan tidak memiliki ijazah SMA. Tapi, bukankah sebelumnya sangat mudah baginya untuk mencari pekerjaan. Walaupun hanya sebagai tukang cuci piring. Haruskah pekerjaan seperti itu memakai ijazah SMA? Bahkan semua orang bisa melakukannya. Maybe.

Dafin membersihkan tangannya yang kotor sehabis mencabuti rumput liar di halaman belakang rumah. Selesai. Semua pekerjaan di halaman belakang sudah Ia selesaikan.

Hghrhhrhrrh

Dafin meringis saat merasakan parutnya yang berbunyi. Ia baru sadar jika Ia belum makan dari kemarin. Rasanya makan aja Ia sudah lupa. Dilangkahkan kakinya ke dalam rumah lewat pintu belakang yang langsung ke dapur.

Sepi. Tidak ada siapa-siapa di sini. Biasanya di dapur akan ada bi Siti yang beberes mencuci piring bekas sarapan keluarganya. Dafin membuka tudung makan dan tidak mendapati apa-apa kecuali botol kecap. Ia menghela nafas. Apakah tidak ada sebulir nasi pun untuknya?

Dafin memegangi perutnya yang mulai kembali berdemo. Ia bingung. Apa yang harus dimakannya agar perutnya tidak berulah seperti sekarang. Akhirnya Dafin memutuskan untuk kembali ke dapur, mencari apa saja yang bisa dimakannya.

Kosong. Di lemari makan tidak ada apa-apa. Bahkan sekedar mie instan yang biasanya disediakan bundanya tidak ada. Roti? Itu pun tidak ada. Mungkin ayahnya yang kini tidak menyediakan roti di lemari makan. Ia jadi ingat kejadian dimana Ia mengambil satu bungkus roti dan berakhir dengan luka yang membekas di tubuhnya.

Saat Dafin ingin kembali menuju kamarnya. Ia melewati tempat cuci piring. Tunggu. Tempat cuci piring? Di sana,di tempat cuci piring terdapat tumpukan piring kotor. Dafin memperhatikan tumpukan itu. Ia melihat sisa makanan di tumpukan kedua. Kemudian Dafin mendekati tempat cuci piring itu. Diperhatikannya lebih jeli jika itu benar-benar makanan sisa keluarganya pagi tadi.

Dafin mengangkat piring di tumpukkan pertama. Di sana, di tumpukan kedua tadi,ternyata benar ada sisa makanan. Nasi yang tinggal separuh tapi dengan kondisi yang tidak beraturan. Atau lebih tepatnya bekas pukulan sendok. Lauk? Terdapat lauk di pinggiran piring dan titik lain piring itu, ada juga paha ayam yang hanya tersisa tulangnya dan sedikit daging menempel pada tulang.

Dafin membasahi bibirnya. Sungguh, Ia sangat lapar dan membutuhkan sesuatu untuk dimakannya. Sajian di hadapaannya ini terlihat sangat lezat di matanya. Perlahan tangan Dafin terulur untuk mengambil piring tersebut.

Piring tersebut sudah berada di tangannya. Dafin mengambil sendok dan mengambil posisi duduk di lantai dapur. Punggungnya bersandar pada meja patri. Matanya memperhatikan makanan di depannya. Dafin tersenyum kecil. Setidaknya ayahnya telah menyisahkan sedikit makanan untuknya. Betapa sayang ayahnya itu.

"Terima Kasih ayah... "

Detik selanjutnya suapan pertama masuk ke dalam mulutnya. Dengan riang dan penuh semangat Dafin memakan makanan sisa itu yang seperti sengaja disisakan hanya untuknya.






Update lagi guys:)
Semiga suka sama part ini. Oh iya kok dari kemaren gak ada komenet gitu:v ramaikan dungs...

Bintangnya mbak, mas jangan lupakan klik bintangnya setelah baca:)

Aku gak bisa janjiin mau update beberapa hari sekali atau satu minggu sekali. Aku gak bisa janjiin. Soalnya aku nulis aja kalo lagi pengin pkus kalo ada ide nyangkol hahaha:)

Oke, terima kasih readers yang kau baca dan ninggalin jejaknya:)



P A T E R ? [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang