HURT

3.8K 310 17
                                    

Assalamualaikum...

Aku kembali dengan part yang mungkin kalian tunggu sebagai penyambung untuk part sebelumnya.

Aku bersyukur karena PATER? semakin bertambah readersnya, itu membuat si tokoh utama jadi semakin ingin muncul ke permukaan hehe...

Dan aku juga minta maaf sama kalian, karena nggak bisa menjanjikan jadwal update-nya. Jika kalian ingin tau,sebenarnya aku dari kemarin pengin banget nulis tapi nggak aga edi yang mampir. Jadi gak jadi, padahal udah ada sepuluh kata hahah

Dan hari ini, saat aku lagi rebahan dengan kemageran yang haqiqi , si edi tiba-tiba npngol dan jadilah part ini untuk kalian tercinya:)

Happy reading and sorry for typo

P A T E R ?

Bruk

Tubuh Dafin terjatuh di atas sofa ruang keluarga setelah sebelumnya Ryan mendorongnya. Dafin mendongak menatap wajah sang kakak yang berdiri di hadapanya
Terlihat jelas jika Ryan tengah menahan amarah,rahang pria itu menegas bersamaan dengan mata elang yang tajam amat terpancar untuknya.

Dafin menunduk, seperti dirinya berbuat hal yang memancing amarag sang kakak.

"Kakak nggak suka kamu berteman dengan dia."

Dafin kembali menatap kakaknya,dia?apa yang dimaksud Ryan adalah Farel temannya? Tapi, kenapa?

"Kakak harap kamu jauhi dia." Mata setajam elang itu menghunus tepat di manik Dafin.

"T-tapi kenapa, Kak?" tanya Dafin yang sebenarnya merasa takut.

"Kenapa kamu bertanya?" bukannha menjawab pertanyaan Dafin,Ryan lebih memilih untuk bertanya balik.

"Farel, Farel te-teman Dafin Kak," kata Dafin gugup.

Ryan meraih rahang Dafin dengab kasar. Mencengramnya dengab kuat, menghiraukan ringisan sakit dari bibir adiknya.

"Teman? Sejak kapan?"

Tak mendapat jawaban yang diinginkannya, Ryan mengencangkan cengkramnnya.

"Akhs...sa-kit Kak." Dafin memegang tangan kakaknya, berusaha mengurai cengkraman yang membuat rahangnya seakan ingin patah.

"Itu bukan jawaban!"

Ryan menghempaskan cengramannya begitu saja. Membuat kepala Dafin terhuyung ke belakang menhantam sandaran sofa.

"Jawab!" Ryan meraih rambut Dafin dengan kencang,menengadahkan wajah Dafin dengan paksa agar menatapnya.

"Da-Dafin nggak tau Kak akh..."

"Jujur!" Ryan menekan katanya.

Dafin merasa dirinya sudah jujur. Dia memang tidak ingat kapan hubungan pertemanannya dengan Farel resmi.

"Dafin ju-jur Kak akh...stsst sa-sakit..."

Dafin meringis menahan perih di kulit kepalanya dan pening di kepalanya.

"Akh...Dafin lupa K-Kak."

"Ikut Kakak!" Ryan menyeret tubuh Dafin mengikuti langkahnya.

"Ryan kenapa?" gumam Melani yang memang sedari tadi mengintip di balik tembok pembatas ruang tamu dan ruang keluarga.

Ryan membawa Dafin ke kamarnya. Kembali menghempaskan tubuh kurus itu di ranjangnya dan tak lupa mengunci pintu kamarnya.

"Kakak tidak suka kamu dekat dengannya!"

Dafin bangkit dna memilih duduk di tepi ranjang milik kakaknya. Tubuhnya menolak berkerjasama hanya untuk sekedar berdiri.

"Kenapa, Kak? Kenapa? " tanya Dafin menggebu.

"KAKAK TIDAK SUKA!"

"Kakak tidak suka? Tapi asal kakak tau, Dadin suka. Setelah sekian lama Dadin sendiri, terasingkan, dikucilkan, direndahkan, bahkan dihina oleh ayah sendiri! Akhirnya Dafin punya seseorang yang siap kapan saja untuk Dafin."

Dafin lepas, dadanya sesak tak kala kakaknya dengan seenaknya memutuskan dirinya untuk tidak dekay dengan Farel. Seluruh kata yang terkunci saat di ruang keluarga lepas sudah, dia sakit, sangay sakit saat kakak memperlakukannya tak jauh berbeda dari ayahnya.

Sementara itu Ryan terdiam di tempatnya. Memandang Dafin dalam diamnya dan memilih untuk bungkam.

"Kakak tau,Dafin sakit Kak! Sakit! Ayah tidak pernah lembut sama Dafin, yang ayah berikan selama hanya sakit dan lara untuk Dafin!"

"Kakak lihat tubuh ini?!" Dafin menunjum badannya sendiri,"Tubuh ini sudah rusak Kak, banyak warna merah,biru, ungu bahkan hitam menghias di balik seragam ini. Semua itu bukti kasih sayang ayah sama Dafin, kasih sayang yang bahkan tak pernah tercipta untuk Dafin."

Isak tangis Dafin pecah, air mata yang memenuhi pelupuk mata tumpah sudah seiring dengn pilu yang menghantam hatinya berkali-kali.

Hati Ryan sakit saat melihat mata basah karena air mata itu menatapnya dengan sendu. Seperti mengirim beribu-biru tombak yang menghamtam relung hatinya. Menghancurkan benteng keras yang menghitamkan hatinya selama bertahun-tahun. Tak bisa dipungkiri olehnya, Ryan pun merasa sakit dengan perlakukannya kepada adik kandungnya sendiri. Adik yang dulu dia janjikan sesuatu hal yang plaing berharga. Berjani akan selalu mnemani sosok ringkih yang kini tengah menunduk dalam. 

"Maaf." lirih Ryan bersama dengan tangannya yang meremat kuat.

Dafin mengangkat pandangnya, menatap sosok yang dinanti kehangatannya, sosok yang dirinya anggap sebagai pelindung setelah bundanya meninggal. tapi apa? sosok itu bagi Dafin telah hilang meski raganya kini berdiri di hadapannya. Memandangnya seolah rasa kasing sayang itu masih ada tapi tetap menguar.

Dafin beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu kamar melewati kakaknya yang masih berdiri mematung. Beruntung kunci kamar tidak di cabut, jadi Dafin hanya memutar kunci itu lantas menarik knop pintu lalu keluar dari kamar kakaknya. Dafin tidak ingin mmeperkeruh suasana. meski masih banyak kata yang belum terucap, beribu kalimat yang tak sempat meneriak, dan berjuta paragraf yang masih tersimpan denagn apik dalam hatinya meski denagn bungkus yang telang usang.

Sementara itu di dalam kamar masih ada Ryan yang masih bergelung dengan keterdaimannya sambil mengrungi masa lalu yang begitu kelam dan sakit untuk diingat. Masa di mana dirinya kehilangan satu per satu orang terkasihnya. Tapi bukan dirinay yang menjadi tokoh utama dalam kesedihan dan kehilangan ini. Sosok adiknya yang kini begitu rapuh menjadi tokoh yang patut meras sangat bersedih. dan itulah faktanya.

"Kakak janji ya sama Dafin, akan selalu ada buat Dafin."

"Kakak janji."

"Beneran?gak akan seperti ayah,kan?" Dafin kecil mengangkat jari kelingkingnya.

"Kakak janji, seperti janji kakak di makam bunda." Ryan mengaitkan kedua jari kelingking mereka, lantar saling menukar senyum.

***

20 vote aku up:v

P A T E R ? [Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora