PUNGGUNG RINGKIH DAFIN

4.3K 326 28
                                    

Assalamualaikum....

Selamat pagi semuanyah huuuu....

Sebenarnya aku nggak mau up dulu, tapi karena takut kaleannya pada nunggu yodah aku up heheh 😂

Aku mau bikin tantangan nih buat kalean-kalean semuanyah. Jadi, tantangannya adalah 30 vote dan 15 koment untuk part ini. Kalau sudah mencapai target, aku nanti up lagi 😁

Terserah kalean pada mau apa kagak, tapi kalo kalean mau, aku bisa up setelah target tepenuhi. Pokoknya secepatnya setelah mencapai target 😉

Nggak maksa aku mah, terserah kalean aja. Aku cuma mau absen readers aku yang sukanya diem-diem bae 😂 tapi kalo gak mau yodah, gak maksa aku. Jadi vote dan koment harus ikhlas dari lubuk hati kalean yg paling dalam:)

Oke itu saja basa-basi dari aku yang kebanyakan basinya yak 😂




Happy Reading guys 😉





P A T E R ?







Tubuh ringkihnya meringkuk di atas tikar kusam. Sesekali suara mengigau yang terdengar menyakitkan itu keluar dari mulutnya. Disekitar keningnya terdapat bercak darah yang sudah mengering. Sisa semalam, dimana keningnya terbentur sisi lemari makan.

Dafin sadar, bahkan dia tidak tidur sejak semalam setelah kejadian itu. Udara kosong dibiarkannya menguasai atmosfer kamar kecilnya. Tidak ada kain untuk menghangatkan tubuhnya. Hanya ada tikar kusam yang menjadi pembatas tubuhnya dengan lantai dingin kamar. Bunyi gemeletuk gesekan gigi Dafin terdengar ngeri, dengan tubuh yang gemetar menahan dingin yang menusuk kulit pucatnya.

Bahkan sekedar untuk membuka kelompak matanya saja, Dafin merasa tak berdaya. Pening di kepalanya membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Terlebih napasnya mulai terdengar berat.

Tanpa diketahui Dafin, sepasang mata mengintipnya di sela pintu kamar yang sedikit terbuka. Senyum miring tercetak di wajah pria yang berdiri di balik pintu kamar kecil itu.

Tak berselang lama, pintu kamar Dafin terbuka,menampilkan sosok tinggi tegap dengan netra yang menajam. Dia Sanjaya, ayah yang sangat disayangi Dafin. Di belakang Sanjaya ada Anjar dan Bundanya Melani.

Dafin sadar pintu kamarnya terbuka, dia juga sadar ada seseorang yang masuk ke kamarnya. Dengan berat, dan  sakit yang ditahannya, Dafin perlahan membuka kelopak matanya. Meski pandangannya kabur, akan tetapi Dafin tahu betul siapa yang berdiri di depannya.

"A-ayah.... " lirih Dafin dengan suara lemahnya.

"Bagun! " Ayahnya menatap tajam Dafin.

Dafin tak menghirukan ucapan ayahnya, atensinya beralih pada sosok pria seusinya yang berdiri di belakang ayahnya dengan senyum miring yang ditampilkannya. Dafin menatap ke samping Anjar yang menatapnya tanpa ekspresi. Lantas kembali netranya menatap sang ayah yang masih memperlihatkan raut kebencian itu.

"Bangun!"

Dafin ingin sekali menuruti perintah ayahnya, tapi tubuhnya sekarang tak bisa diajak untuk bekerjasama. Untuk bernapas saja, dia kesusahan. Seakan udara pun tak sudi untuk masuk ke parunya.

"BANGUN BODOH! "

Sedetik napas Dafin tercekat. Bodoh? Meski nilai raportnya tak sebagus Mei, tapi setidaknya dia selalu masuk sepuluh besar. Buktinya dia bisa sekolah dengan bantuan beasisiwa, itu berarti dia masih tergolong berprestasi, bukan? Ah, memang dirinya selalu terlihat bodoh, bukan? Dimata sang ayah. Perlahan Dafin mengangkat kepalanya, menengadah menatap wajah sang ayah dari bawah.

P A T E R ? [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang