🦑 十九 | Malaikat Penolong untuk Winda (1) 🦑

238 15 0
                                    

Dengan langkah berat, Winda meninggalkan rumahnya. Ia tidak menduga sebelumnya kalau Danish akan mengusirnya dari rumah. Ini kali pertama ia melihat ayahnya murka.

"Tuhan apa tidak ada kesempatan sekali saja buatku untuk merasa bahagia? Aku tidak sanggup menerima cobaan yang begitu berat ini, Tuhan. Bukankah Kau menguji hamba-Mu sesuai kesanggupannya? Aku sudah tidak sanggup, tapi kenapa masih saja Kauberi ujian seberat ini padaku?" Winda terus berjalan tanpa tujuan sambil terus menumpahkan apa yang ada di dalam hatinya, berharap Tuhan mendengarkan keluh-kesahnya.

Mega di langit berubah semakin menghitam. Tak lama kemudian, rintik-rintik lembut yang turun dari langit mulai terlihat. Orang-orang yang berjalan mulai berlarian mencari tempat berteduh, para pengendara roda dua juga mempercepat laju motor mereka. Sedangkan Winda tidak bergegas mencari tempat untuk berteduh. Dan sekarang baju Winda sudah basah kuyup.

Tiba-tiba Winda tersadar, ia tidak punya baju untuk ganti. Ia juga tidak punya tempat untuk berpulang. Ia bingung nanti malam akan tidur di mana. Tidak mungkin juga bajunya saat ini ia pakai sampai kering, bisa-bisa Winda sakit seketika.

"Pulang ke rumah dan minta maaf sama Papa?" ujarnya dalam hati. Sedetik kemudian ia sudah menggelengkan kepalanya.

"Nggak mungkin! Papa pasti masih marah besar sama gue. Mana mungkin Papa maafin gue dengan mudah. Mengkhayal lo kejauhan, Win!" ujarnya, lantas membersihkan air yang membasahi wajahnya.

Sekilas, ingatannya tertuju pada pria yang akhir-akhir ini baik padanya. Ya, itu Ihsan. Bagaimana bisa Winda melupakan orang yang selalu menolongnya itu.

***

Setelah Ashar, Winda sampai di depan apartemen Ihsan. Beberapa kali dipencetnya bel, tanpa menunggu lama pintu sudah terbuka, menampilkan Ihsan dengan wajah bingungnya.

"Lho, kok lo basah kuyup gini, sih, Win? tanya Ihsan panik. Kenapa lo hujan-hujanan?"

"G-gue diusir bokap dari rumah, San. Winda menahan air matanya agar tidak jatuh, namun kedipannya membuat air hangat itu meluncur bebas ke pipinya. Bokap gue udah tahu kalau gue pernah bolos. Parahnya, dia juga tahu kalau gue nggak bayar uang kuliah."

"Lho, lo nggak bayar uang kuliah? Kuliah lo nggak lo lanjutin?"

"Lo kan tahu alasan gue ngelakuin semua itu karena apa, San."

Kemudian Ihsan mengajak Winda masuk.

Melihat baju yang Winda kenakan basah, Ihsan kemudian pergi ke kamarnya untuk mengambil baju.

"Nih, pake." Ihsan menyodorkan kaus lengan pendek, celana trainning, dan jaket.

Melihat Winda malah diam saja sambil memandangi baju yang ia sodorkan, Ihsan langsung membuka suara lagi.

"Buat sementara. Nanti malam kita beli baju." Ihsan mengambil tangan Winda dan meletakkan baju, celana, dan jaket tersebut ke tangan Winda. Kemudian Ihsan berjalan ke dapur, meninggalkan Winda yang masih mematung.

Di dapur, Ihsan hanya membuat dua gelas cokelat panas. Setelah selesai, lelaki itu membawanya ke arah ruang tengah untuk diletakkan di meja.

Ihsan terkejut bukan main. Ia kira setelah menyuruh Winda ganti, gadis itu mematuhi perintahnya. Nyatanya, saat keluar dari dapur, matanya mendapati Winda masih diam saja di tempatnya.

"Udah, pakai aja. Daripada lo sakit." Ihsan memperingatkan Winda sambil memindahkan gelas dari nampan yang dibawanya ke meja.

"Lo nggak perlu takut pakai baju itu, Win. Itu bajunya baru kok. Belum pernah gue pakai," kata Ihsan lagi sebelum kembali ke dapur untuk mengambil roti tawar.

***

Hujan masih belum reda sampai malam hari. Hendra sudah mencari Winda ke mana-mana tapi belum juga berhasil menemukan gadis itu.

Hendra merasa punya tanggung jawab untuk menemukan Winda, sebab ia sendiri yang bilang ke ayah Winda kalau akan mencarinya sendirian.

Hari ini Hendra merasa lelah sekali. Rencananya ia mau pulang dulu dan lanjut mencari Winda kalau hujan sudah reda.

Namun, sebelum pulang, ia akan mampir ke rumah Winda dulu. Memastikan Winda sudah pulang atau belum. Lelaki itu benar-benar khawatir. Ini sudah malam, tapi Danish tidak juga mengabarinya. Ah, mungkin saja Danish sudah menelepon, tapi tidak tersambung karena Hendra mematikan ponselnya saat menjelang hujan tadi.

Sesampainya di rumah Winda, ia langsung memencet bel beberapa kali seperti orang tidak sabaran. Dari dalam terdengar suara gadis mengomel-ngomel sendiri. Hendra tersenyum mendengar suara itu.

Ketika pemilik rumah muncul dari balik pintu, senyum Hendra memudar. Raut wajahnya berubah datar.

"Kakak cari siapa, ya?"

Ya, itu suara Nisa, adik Winda. Hendra pikir, suara tadi milik Winda. Pasalnya, suara Nisa hampir sama dengan Winda.

"Papanya ada, Dek?"

"Oh, ada, Kak. Sebentar, Nisa panggilkan."

Beberapa menit kemudian, Danish datang bersama Nisa juga Anggita. Anggita menyuruh Hendra masuk, tetapi pria itu menolak. Bajunya basah, itu alasan yang keluar dari mulutnya.

"Udah, masuk aja Nak Hendra, pakai bajunya Om Danish nggak apa-apa." Danish menyahut. "Bibir kamu sampai biru kayak gitu, lho, gara-gara kedinginan."

"Ah, nggak apa-apa, Om. Hendra di sini nggak lama, kok," ucapnya seraya melihat-lihat ke dalam rumah.

"Hmm, Winda belum pulang juga, ya, Om?"

Mendengar itu, mimik muka Danish berubah seketika.

"Dia tadi udah pulang," jawab Danish datar. Ia menjeda ucapannya sejenak untuk mengambil napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Dia udah bohongin, Om, Nak Hendra. Winda menghentikan kuliahnya dengan cara tidak bayar uang kuliah."

Tenggorokan Hendra seperti dicekik. Ia tidak menyangka Winda akan berbuat nekat seperti ini.

"Ini pasti gara-gara hasutan Ihsan!" Hendra menduga dalam hati. Tangannya sudah mengepal ingin sekali melayangkan pukulan ke pria kurang ajar itu. Namun, ia berusaha tenang dulu. Kini yang ada di hadapannya bukanlah Ihsan, melainkan ayah Winda.

Setelah emosinya mereda, Hendra langung bertanya lagi. Pasalnya ia heran, kenapa sekarang Winda tidak ada. Padahal tadi Danish bilang kalau Winda sudah pulang.

"Terus Winda sekarang ada di mana, Om? Kok nggak kelihatan."

"Om ngusir dia. Soalnya Om udah emosi banget. Baru kali ini Winda berani bantah. O-om ... Om menyesal, Nak."

***

Pelik AnantaWhere stories live. Discover now