🦑 三 | Ujian yang Menegangkan (2) 🦑

38 1 0
                                    

"Win, gimana ujiannya?" tanya Anggita ketika putri sulungnya muncul dari pintu utama.

"Ya gitu, deh, Ma. Biasa aja," jawabnya malas-malasan.

"Makan dulu. Nanti ajarin tuh adikmu. Bentar lagi kan dia juga mau ujian kelulusan."

"Ah, bodo amat. Biarin aja dia belajar sendiri. Biar mandiri. Mama jangan manjain Nisa terus, dong. Kapan dia mau sadarnya?" protes Winda tidak setuju.

Sebelum Anggita sempat menjawab pertanyaan Winda, gadis itu sudah pergi ke kamarnya di lantai dua.

Winda dan Nisa memang tidak akur sejak dulu. Nisa yang lebih kekanak-kanakkan dan manja itu berbanding terbalik dengan Winda. Mungkin karena anak bungsu jadi lebih dimanja. Orang tuanya pun akan mengabulkan apa yang diinginkan Nisa dengan mudah, misalnya ponsel baru, laptop, tas, sepatu, dan lain sebagainya.

Nisa juga lebih suka main ponsel ketimbang belajar. Berbanding terbalik dengan Winda yang rajin belajar dan punya target tinggi. Ia ingin kuliah di Jepang jurusan kedokteran. Dan ia ingin mendapatkan beasiswa.

Ngomong-ngomong soal keinginannya untuk kuliah ke luar negeri belum ia diskusikan dengan orang tuanya. Rencananya, ia akan mengutarakan keinginannya saat Papanya pulang ke rumah.

Danish, papa Winda kerja di Jakarta, dan jarang sekali pulang. Yang pasti bisa pulang saat libur panjang. Dan Winda sangat menantikan hari itu tiba. Ia sudah sangat merindukan sosok pahlawannya itu.

***

Sudah beberapa bulan ini Ayah Winda tidak pulang. Kesibukan dalam pekerjaan, Winda tahu itu pasti alasan mengapa Ayahnya betah berada di Ibukota. Apalagi Ayahnya adalah direktur perusahaan di dunia entertainment membuat Ayahnya jarang sekali berada di rumah.

"Halo, assalamualaikum, Pa," sapanya saat teleponnya tersambung.

"Waalaikumussalam. Oh iya, hari ini kamu ujian kan? Gimana, bisa ngerjainnya?"

"Bisa dong, Pa. Winda gitu, lho. Oh iya, Papa kapan pulang? Winda kangen."

"Insyaallah seminggu lagi Papa pulang, kita diskusikan semuanya sama-sama. Yang penting kamu fokus sama ujian kamu dulu, jangan banyak pikiran. Dan satu lagi...," Danish menggantungkan ucapannya, "jangan pacaran ataupun mikirin cowok," tambahnya kemudian.

"Ih, Papa. Enggaklah, Pa." Winda mencebikkan bibirnya kesal. Lalu mengubah posisinya menjadi duduk dari yang semula berbaring di kasur.

"Win, udah dulu, ya. Papa mau ada meeting."

"Oh ya udah, Pa."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Baru saja diletakkan di nakas, ponsel kembali berdering.

Cowok nyebelin is calling, begitu tulisan yang tertera di layar.

"Ngapain nelepon-nelepon?" tanyanya seketika saat tombol hijau digeser.

"Jangan kuliah di luar negeri."

Sejurus kemudian sambungan sudah dimatikan sebelum Winda sempat mengomel panjang lebar.

Pelik AnantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang