🦑 十二 | Keputusan Winda (2) 🦑

23 2 0
                                    

Keluar dari bimbel, Winda tidak langsung pergi. Gadis itu duduk di teras depan bimbel. Ia merogoh tasnya, mencari ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang. Sebab jam tangannya ketinggalan di meja belajar, ia lupa mengenakannya usai mandi tadi pagi.

Setelah ketemu, Winda langsung menyalakannya. Di layar tertulis 11.45. Sebentar lagi waktunya salat Zuhur.

Winda beranjak dari duduknya lantas berjalan ke jalan raya. Terik matahari di siang hari membuat alis gadis itu berkerut. Matanya juga disipitkan.

Winda menggerakkan tangan kanannya, lantas ditempelkan ke dahi untuk memayungi matanya. Winda mulai mengedarkan pandangan. Ia menoleh ke kiri, kemudian ke kanan.

Ketika menoleh ke kanan, matanya menangkap apa yang sedari tadi dicarinya. Tak jauh dari tempatnya, terlihat kubah masjid.

Sekitar lima belas menit berjalan kaki, Winda duduk di teras masjid sejenak. Napasnya masih terengah-engah. Bajunya pun masih basah oleh peluh, beberapa juga mengalir dari dahi ke pelipisnya. Bahkan ada juga yang jatuh ke bajunya. Jadi, ia akan mengambil wudu kalau keringatnya sudah kering.

***

Usai beribadah, beberapa orang memilih langsung pulang ke rumah masing-masing, ada juga yang kembali bekerja. Sedangkan beberapa orang lainnya masih di lingkungan masjid. Ada yang membaca Quran di dalam, ada juga yang mengobrol atau sekadar duduk-duduk di teras masjid seperti Winda.

Di pojok kanan teras, Winda duduk bersila. Gadis itu memainkan iPhone-nya.

Rencananya setelah dari sini, Winda akan main ke apartemen Ihsan. Ia ingin bercerita sekaligus mengucapkan rasa terima kasihnya pada pria itu karena sudah sering menolongnya di saat Winda butuh bantuan.

Winda mengirimi Ihsan pesan chat di WhatsApp. Ia mengatakan kalau akan berkunjung ke rumahnya nanti, setelah salat Ashar.

Setelah pesan terkirim, Winda melihat-lihat status orang-orang di WhatsApp-nya.

Ketika Winda ingin mengembalikan ke halaman chat, nama Hendra muncul di halaman status.

"Tumben sekali anak ini bikin status," kata Winda dalam hati.

Karena penasaran, gadis itu membukanya.

Akan berjaya pada masanya, dan akan lengser pada waktunya. Hanya tinggal menghitung hari saja. Mungkin, saat ini kau ada di atasku. Tapi suatu saat, aku yang akan menempati posisimu. Sedangkan kau akan jauh berada di bawahku.

Walaupun Winda membaca status Hendra berulang kali, tetap saja ia masih belum mengerti makna terselubung dari kata-kata pria yang dicapnya sebagai orang aneh itu.

"Apa sih maksudnya? Mana pakai di-bold segala lagi. Nggak di-bold juga aku bisa baca kali!" celoteh Winda.

Sekali lagi Winda membacanya, tapi masih saja belum paham apa maksudnya.

Kesal, Winda mematikan data selulernya. Lantas kembali ke dalam masjid untuk membaca Quran sembari menunggu azan Ashar.

***

"San, bener tebakan lo kalau gue pasti keterima di bimbel itu. Ngomong-ngomong makasih, ya, udah bantuin gue nyari jalan keluar dari masalah gue kali ini," ucap Winda ketika bokongnya mendarat di sofa apartemen Ihsan.

"Sama-sama, Win. Gue juga seneng bisa bantu lo. Lain kali kalau ada masalah, cerita aja ke gue. Jangan sungkan-sungkan. Kalau misalkan gue bisa bantu, dengan senang hati pasti gue bantu kok."

Winda tersenyum. "Gue bersyukur banget, San, bisa kenal akrab sama lo. Gue dari dulu mengidam-idamkan temen yang bisa ngertiin gue. Alhamdulillah sekarang udah dapat."

"Lah, si Hanifah sama Hendra memangnya nggak bisa ngertiin lo?"

Winda menggeleng. "Enggak, San. Hanifah punya temen baru dan gue dibuang gitu aja. Sedangkan Hendra ... ah, dia cowok aneh."

Berhubung hari sudah sore dan Winda sudah cukup banyak bercerita, akhirnya gadis itu pamit pulang. Awalnya Ihsan menawari untuk mengantarnya pulang, tapi ia menolak dan beralasan kalau Ihsan belum istirahat sejak pulang kuliah.

Padahal dalam hati Winda ingin sekali diantar pulang sama Ihsan, tapi ia tidak enak hati pada pria itu. Sudah cukup ia mengganggu waktunya hari ini. Winda tidak mau terlalu merepotkan orang lain, apalagi ia masih bisa pulang sendiri.

Pukul 17.41 Winda tiba di rumah. Usai membersihkan tubuhnya dan salat Magrib, ia rebahkan tubuhnya di ranjang.

Nikmat. Itulah yang dirasakan Winda ketika tubuhnya terbaring. Sejak pagi ia keluar rumah, dan baru pulang menjelang Magrib. Mana sempat ia istirahat, sampai-sampai tubuhnya terasa letih sekali.

***

Nisa sudah berulang kali meneriaki kakaknya untuk makan malam, sesekali gadis itu memukul-mukul pintu dengan kuat. Tapi tetap saja tidak ada sahutan dari dalamnya.

"Kak, Kak Winda. Disuruh makan malam sama Mama. Kak," teriak Nisa, tangannya masih saja menggedor-gedor pintu kamar kakaknya. Ia mulai geram.

"Kak Win, lo tidur, ya? Kak, Nisa hidupin petasan lho kalau nggak bangun juga. Kak buka pintunya do―," Nisa menghentikan teriakannya. Tangan yang sedari tadi menggedor pintu hampir saja mengenai wajah kakaknya.

"Ada apa, sih, ribut banget. Ganggu orang lagi tidur aja." Winda baru saja ingin membalikkan tubuhnya, tapi tangannya dicekal oleh Nisa.

"Ih, enak aja mau tidur lagi," protes Nisa. "Mama nyuruh makan malam dulu tuh. Ayo turun." Nisa menarik paksa tangan kakaknya.

Ogah-ogahan Winda mengikuti adiknya, padahal matanya masih terasa lengket. Gara-gara Nisa mencegahnya masuk lagi ke kamar, sampai-sampai rambutnya seperti orang gila, acak-acakan sekali. Padahal tadi niatnya ia ingin menguncir rambut, cuci muka, sikat gigi, baru turun buat makan malam.

"Dek, gue belum sikat gigi," ucap Winda ketika mulai menuruni anak tangga.

"Ah, udahlah nggak usah sikat gigi. Kelamaan. Nisa udah laper banget, nih. Salah sendiri lama banget dibangunin."

"Wah, anak Papa kayaknya lelah banget ini sampai-sampai jam segini udah tidur aja," goda Danish.

"Iya, Pa. Capek banget, badan pegel-pegel. Dari pagi belum istirahat soalnya," balas Winda. Kemudian gadis itu menguap.

"Pa, Winda ke kamar dulu, ya. Mau nguncir rambut, cuci muka, sama sikat gigi. Nanti Winda ke sini lagi. Nggak lama kok."

"Lho, kamu belum sikat gigi?" tanya Anggita.

"Belum, Ma. Nisa sih nggak sabaran, main tarik-tarik aja."

"Soalnya Kak Winda susah banget, Ma dibangunin. Kan Nisa keburu laper ini."

"Ya udah, Nisa makan duluan aja. Kak Winda biar sikat gigi dulu." Danish menengahi.

"Iya, Win. Sana kamu sikat gigi dulu," ujar Anggita.

Winda mengangguk lantas meninggalkan meja makan.

"Jangan lupa ikat rambutmu biar nggak berantakan!" teriak Anggita ketika Winda sedang menaiki tangga.

Pelik AnantaWhere stories live. Discover now