Cinta Subuh Part 22

7.4K 244 38
                                    


Hai! Assalamualaikum wa rahmah! teman-teman daring yang setia membaca novel Cinta Subuh! Alhamdulillah, Novel Cinta Subuh sudah berhasil terbit cetak. untuk teman-teman yang nggak sabar membaca Cinta Subuh sampai selesai, bisa langsung memesan di toko daring semacam Shopee, Tokped, dan kawan-kawan. atau kalau sedang jalan-jalan, bisa mampir ke toko buku kesayangan teman-teman untuk mendapatkan Novel Cinta Subuh!!

Oh iya, saya sedang menulis judul baru, "Mengejar Halal" dan "Terlambat" InsyaAllah akan saya tulis di Wattpad juga, mohon dukungannya.

sapa saya di akun instagram : @aliifarighi

Selamat membaca!!!


RATIH

Kaget, bingung, awkward, sebut apa saja, suara laki-laki yang muncul tiba-tiba dari belakangku membuatku bingung harus bereaksi bagaimana. Sempat curiga dia mengikutiku selama seminggu terakhir, tapi tentu saja tidak mungkin. Kegiatanku bersama Kak Arya dan Kak Lubna hari ini bukan sesuatu yang kubicarakan pada orang lain, kecuali Bang Sapta dan Kak Septi. Itu pun hanya untuk meminta izin.

"Ratih, Kan? Ya Tuhan, bisa ya begini, jodoh banget, nggak nyangka kita bisa ketemu di sini, kayak takdir, Ra!" Cerocosnya tanpa ada rem.

"hm" jawabku singkat, sejujurnya sempat terbersit dalam pikiranku bahwa mungkin saja pertemuan ini memang takdir.

"abis seminar juga ya?"

"iya," jawabku berusaha tidak menggubris.

"Ra, aku tu nungguin balesan terus, lho, kirain kamu kenapa-kenapa"

"kenapa-kenapa?"

"iya, kuotanya habis, gak bisa bayar wi-fi, gak ada sinyal, gitu, lah!"

Aku hampir-hampir tertawa mendengar selorohnya, "jadi itu maksudnya kenapa-kenapa?"

"iyalah, kan gak mungkin dong kamu kenapa-kenapanya sakit parah, ketabrak tukang ojek, ketabrak tukang nasi goreng, jatuh dari jurang, mati, gak mungkinlah!"

"kenapa gak mungkin?"

"Tuhan nggak akan biarin hal buruk terjadi sama kamu sebelum kita nikah!" jawabnya sambil tersenyum penuh percaya diri.

Aku tertawa, "kamu terbiasa ya?"

"apanya?"

"deketin perempuan begini?"

"ah, nggak, sama sekali nggak!"

"kayaknya terbiasa banget"

"cuma kayaknya, aslinya nggak"

Aku mengangguk, bukan percaya, malas berdebat saja.

"tapi aku beneran yakin, lho kita jodoh"

"aku nggak,"

"belum," Angga tersenyum lebar sampai deretan giginya terlihat, Hampir-hampir aku ngamuk setelah dia menjawab, laki-laki ini jago sekali bermulut manis. Harus kuakui.

"kenapa yakin banget?" tanyaku, entah bagaimana mulai terseret arus gombalan Angga.

"nama panjangmu siapa?"

"apa hubungannya?"

"ada hubungannya, siapa?"

"Radinka Atika Wafiah"

"Aku Rizky Anangga Wijayanu!" jawabnya sambil memukulkan kepalan tangan ke dadanya, kelihatannya dia bangga sekali dengan namanya. "tuh, inisial nama kita sama!, RAW!" dia melanjutkan.

"kebetulan," jawabku, masih diketus-ketusin. kebetulan yang menyebalkan.

"RAW itu kalau di bahasa Inggris, artinya mentah gitu, murni, jadi ya, kita tuh murni jodoh," dia menjawab sambil kelihatan gelagapan. Dari cocokloginya yang garing kupastikan dia tidak merencanakan gombalan tentang inisial nama kami.

Melihatnya yang seperti itu, aku tak kuasa lagi menahan tawa. Ah, biarlah.

"kamu tu..."

"lucu?" dia memotong

"nggak, bukan.."

"unik?"

"bukan..ih, biarin aku selesai dulu, sih!"

"menarik!?" katanya dengan nada menggoda, tidak terlihat ingin menungguku menyelesaikan kalimat. Dia tersenyum. Manis.

Aku mulai merasa berdebar. Sebelum makin menjadi, aku mengalihkan pembicaraan.

"ke sini sama siapa?" kuucapkan dengan cepat dan hanya satu tarikan nafas, berharap kegugupan berhasil kusembunyikan.

"ha?"

"iya, ke seminar juga kan?"

"oh, iya, sama Ghani tadi, temen, kamu?" dia mengambil posisi duduk di sebelahku, tapi tidak berdekatan. Sepertinya dia cukup sopan untuk menjaga jarak.

"sama Kakak tingkat"

"laki-laki?" aku tidak melihat ekspresinya, tapi kedengaran dari nadanya seperti sedang cemburu. Mungkin aku kege-eran.

"laki-laki dan perempuan," jawabku

"pacar?"

"aku nggak pacaran" nggak tahu kapan mulainya, aku mengganti "saya" dengan "aku" seakan menerima Angga masuk ke dalam lingkungan kehidupanku. Aku melihat ke arah Angga, dia tersenyum.

"kenapa?"

"gapapa, seneng aja ketemu jodoh," hampir aku lempar kepalanya dengan pot bunga milik Pemprov, sayang aku tidak sekuat Wonder Woman.

"kamu nunggu apa di sini?" tanya Angga, aku tidak menjawab, "susah ya dapet driver?" lanjutnya seperti tahu masalahku. Dan dia benar, susah.

Angga berdiri, kemudian tersenyum.

"aku anter, yuk!" Katanya penuh percaya diri, seakan aku pasti menerima ajakannya.

*****

Ini bukan pertama kali aku dibonceng naik motor besar, dulu almarhum Abah juga punya motor antik, kalau nggak salah namanya Royal Enfield atau semacamnya. Tapi dijual untuk biaya melanjutkan biaya kuliah Bang Sapta. Biarpun sudah pernah dan cukup sering dibonceng motor besar, tentu dibonceng Abah dan dibonceng Angga benar-benar berbeda.

Kalau dibonceng Abah, aku bebas merangkul dan menjambak Abah demi mengamankan posisi duduk ketika Abah sedikit ngebut. Dibonceng Angga? Dengan susah payah aku memegang body bagian belakang, di bawah jok, ngeri. Untungnya Angga cukup pengertian sehingga sangat menjaga kecepatan. "kalau terlalu kenceng bilang, ya! Nanti aku pelanin," katanya.

"iya, makasih," jawabku sambil terus mengarahkan Angga menuju rumahku melalui jalur tercepat yang diarahkan peta google.

"kamu gak takut aku culik?" tanya Angga

"kalau kamu macam-macam aku tinggal loncat aja" jawabku

"jangan, nanti kalau kamu loncat terus kenapa-kenapa aku sedih!" katanya sedikit berteriak

"makanya jangan macam-macam!" aku juga sedikit berteriak. Senang.

Kami menyusuri Jakarta di hari Sabtu, kadang ada kemacetan yang membuat kami melambat, kadang jalanan kosong seperti merestui perjalanan kami.

Cinta SubuhWhere stories live. Discover now