Postmodernisme

253 29 58
                                    

"I'm so postmodern I bought a round the world plane ticket, and stuffed my clothes with eggplant and pretended it was me.

I'm so postmodern I recite Shakespeare at KFC drive thru, through a megaphone, in sign language.

I'm so postmodern I only go on dates that last thirteen minutes, via walky talky, while hiding under the bed.

I'm so postmodern I wrote a letter to the council. ... I think it was 'M.'"

(The Bedroom Philosopher, "I'm So Postmodern".)


Mencoba mendefinisikan postmodernisme (a.k.a. postmo) itu susah. Mencoba saja susah, apalagi mendefinisikan. Saat pengarang lain pusing mikir tentang karakter, plot, worldbuilding, author postmo mikir bagaimana pengarang lain mikir.  Mereka mikirin gimana penulis lain mikir, lalu mikir gimana dia mikir untuk membuat tulisan yang bikin orang lain mikir (@andrianchun, 2020).

Kendati demikian, pada kesempatan kali ini saya akan berusaha untuk menyampaikan mengenai topik tentang postmodernisme dengan sesimpel dan sejelas mungkin. Kalau ternyata tidak simpel dan tidak jelas, mohon ampuni saya. Namanya juga usaha.

Bismillahirrahmanirrahim ....

Pada awalnya, postmodernisme merupakan gerakan filsafat yang muncul di tengah-tengah kekacauan akibat Perang Dunia 2. Postmodernisme muncul sebagai kritik atas modernisme, yakni pemikiran bahwa rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan teknologi adalah hal terpenting dalam kemajuan umat manusia. Para pelopor postmodernisme ini adalah orang-orang yang pernah melihat sendiri horornya teknologi saat perang, jadi wajar kalau mereka bertanya-tanya, "Sebenarnya sains itu waras nggak sih?"

Kalau kamu mau tahu lebih banyak tentang sejarah post-modernisme, kamu beruntung, karena bukan di sini tempatnya. Postmodernisme adalah gerakan yang luas, mencakup ilmu sosial dan humaniora, saintek, filsafat, dan seni--termasuk kesusastraan. Karena ini adalah The Absurd Art of Writing, bukan The Sensible Science of Living, maka saya hanya akan membahas yang terakhir disebutkan.

Oh ya, sebelumnya saya minta maaf. Saya sama sekali tidak berniat untuk mendefinisikan postmodernisme lewat kata per kata. Sekadar definisi tidak akan membuat orang paham akan arti postmodern. Jadi, di sini bukan saya yang bakal merumuskan definisi, tetapi kamu. Iya, kamu. Postmodern, 'kan?

Biasanya, orang lebih mudah memahami sesuatu lewat skema, perbandingan, dan kategorisasi daripada cuma baca definisi. Saya suka kategorisasi. Karena itu, di sini saya membagi karya sastra dalam tiga periode, yakni: klasik, modern, dan postmodern (lihat gambar di pembukaan).

1. Periode Klasik

Periode klasik yang dimaksud di sini adalah karya-karya sastra yang muncul sejak manusia baru mengenal tulisan hingga revolusi industri. Karya sastra pada masa ini didominasi oleh kisah-kisah epos, legenda, religi, dan mitologi. Konsep-konsep seperti hero, villain, protagonis, antagonis, dan tritagonis mulai muncul, dan konflik ceritanya berpusat pada konflik orang dengan alam, orang dengan orang, atau orang dengan Tuhan.

Meskipun disebut periode klasik, banyak warisan dari karya sastra klasik yang menjadi dasar pembuatan karya sastra pada periode-periode berikutnya. Salah satu contoh yang terkenal adalah three-act structure, yakni pembagian alur cerita dalam tiga babak (babak 1 diisi pengenalan, eksposisi, dan rangsangan/incitement; babak 2 adalah rising action, krisis/penggawatan, dan klimaks; babak 3 adalah failing action, antiklimaks, dan denouement/penyelesaian). Teknik ini berasal dari drama Yunani Kuno, dan sampai sekarang banyak karya sastra mainstream dan film-film Hollywood yang menggunakannya.

The Absurd Art of WritingWhere stories live. Discover now